Kamis, 29 Desember 2011

We're on Staycation!

Inilah sedihnya pilihan berlibur saat orang lain bekerja: saat masa liburan tiba, ya kami di rumah saja. Atau tepatnya, kami tidak keluar kota. Sesuai namanya yang lucu, staycation yang adalah penggabungan dua kata; stay dan vacation; berarti berlibur di rumah. Tapi, apa saja ya yang bisa dilakukan biar liburan di rumah tidak membuat bosan setengah mati?

Si genjik mulai libur tanggal 14 Desember dan baru akan masuk lagi tanggal 9 Januari. Hiks, horor nggak tuh buat orangtua? Kegiatan apa yang harus diciptakan untuk mengisi waktu yang biasanya diisi dengan pergi ke sekolah?

Hari Jumat minggu pertama libur, ibu-ibu di sekolah mengorganisir playdate. Sasarannya adalah The Playground di Kemang Dalam. Meskipun sangat merekomendasikan tempat bermain sejenis ini, saya sebetulnya jarang-jarang main ke tempat-tempat seperti itu. Ternyata The Playground sangat oke untuk direkomendasikan. Tempat bermainnya outdoor (tapi ditudungi tenda) dan cukup luas. Ada mainan yang bisa dipanjat-panjat, meniti/keseimbangan, juga perosotan. Ada jungkat-jungkit dan ayunan. Dan the star of the day: flying fox. Waduh, anak-anak senang sekali naik flying fox ini, tapi mamah-mamahnya sampe gempor narikin tali dari bawah ke atas berulang-ulang. Lalu ada juga tempat main air yang terdiri atas semprotan air mancur, ember curah, dan perosotan (Mika takut naik perosotannya yang tinggi banget), juga kolam cetek tempat anak bisa melempar bola-bola plastik ke keranjang (seperti basket mini) dan pipa sedot, tempat anak bisa meletakkan bola yang akan tersedot lalu disemburkan di bagian atas pipa. Di hari kerja itu The Playground lumayan sepi, jadi anak-anak nggak sampai harus rebutan mainan. Harga tiket masuknya pun cukup masuk akal, Rp60.000 per anak dengan dua pendamping. Mainan variatif dan terawat. Minusnya mungkin kurangnya pengawas dari The Playground-nya sendiri (mungkin karena itu satu anak boleh bawa dua pendamping dewasa), dan makanan yang wajib dipesan dari kantin di situ---meskipun samosanya enak tenan sih... hehehe...

Minggu berikutnya terpaksa sebagian besar dihabiskan di rumah, karena si kecil batuk akibat kelamaan main air di The Playground (sementara teman-temannya kepalanya tetap kering, si Mika basah kuyup dari atas sampai bawah). Kebetulan saya sendiri juga ada urusan yang membuat harus ke kantor, plus ada acara ketemuan dengan teman-teman. Sementara teman-teman Mika di playgroup membuat playdate lagi, kali ini di Lollypop Gandaria City---yang berlangsung dari jam 12 siang sampai jam 5 sore!). Hari Natal diisi dengan ke gereja, lalu mencoba restoran beken yang belum pernah kami coba: Pepenero di Teras Kota. Wah, pilihan tepat untuk hari raya! Makanannya superenak, sementara harganya menengah. Setelahnya, Mika tentu mau main di Fun City, jadi kami mampir sebentar sebelum istirahat sejenak mengumpulkan tenaga untuk acara malamnya.

Kumpul keluarga sudah jadi kewajiban di hari raya. Keluarga besar kami kumpul di rumah sang buyut di Pamulang. Nyaris komplet, hanya kurang oom nomor tiga dan tante nomor sepuluh yang bernatalan di daerah. Selain makan-makan enak, kami juga sedikit gila-gilaan saat merekam pesan untuk sepupu yang akan menikah di luar negeri. Apa lagi yang paling menyenangkan selain terbahak-bahak bersama keluarga besar?

Senin acara liburan dalam kota dilanjutkan ke mal berikut: PIM yang nggak ada matinya. Mika dan tiga tante, satu oom, plus satu teman, dan dua oma, serta tentu saja si mama, nonton Alvin and the Chipmunks: Chipwrecked di PIM 1. Meski disebut tante dan oma, jangan salah, mereka masih muda-muda loh. Tante-tante dan oom ini umurnya paling tua kelas 1 SMA saja. Maklum, karena keluarga besar, akhirnya si mama hanya terpaut tiga tahun dari tante yang paling kecil, sementara si Mika hanya terpaut dua tahun dari oom yang paling kecil. Sementara itu, belum ada tanda-tanda bakal ada cucu/cicit lain sebagai teman si Mika, jadilah dia main sama tante-tante dan oom-oomnya saja. Acara nonton diawali dengan makan dulu di Es Teler 77 (yang kehabisan nyaris semua makanan dan tidak menyediakan es teler, es nangka, dll, kecuali es kelapa muda... Aneh sekali...). Mika mogok makan, jadi akhirnya Mama terpaksa membelikan kentang goreng waffle Wendy's, yang untungnya dihabiskannya sambil nonton bioskop. Usai nonton, kami ke Gramedia lumayan lama. Emang dasar ya, udah mendarah daging kesukaan baca di keluarga kami. Dan setelahnya, kami makan es krim di Mama's Gelato di dekat pintu belakang mal. Selesai? Belum... si Mika masih kepengin mampir ke rumah Tante Alice, jadilah kami ke Pamulang, bukannya pulang.

Hari berikutnya jadi hari bongkaran rumah. Segala macam buku yang sudah tidak mau dibaca, pakaian yang sudah tidak muat, dll dsb, kami kumpulkan untuk disumbangkan ke panti asuhan. Mika sibuk ikut menyedot debu. Dia excited sekali menemukan fungsi alat penyedot debu, yang jarang-jarang saya keluarkan. Lumayan, dengan tumpukan sumbangan yang menggunung, rumah mini kami jadi kelihatan agak lega sedikit, debu-debu juga keluar dari persembunyiannya.

Rabu, tadinya hari ini akan jadi hari pergi ke panti asuhan, eh... si oom yang janjinya mengantar malah membuat janji lain dengan orang lain. Jadilah, si kecil dan mamanya menghabiskan seharian penuh di rumah saja. Kami bahkan tidak jalan-jalan sore ke taman karena tidur siang yang kesorean. Hari diisi dengan nonton film dan main dalam kamar, saking panasnya hawa di luar.

Kamis, si kecil dan mamanya ngungsi ke rumah opa, biar ada pergantian suasanya. Mika kembali membuat donatnya yang “terkenal” itu. Didampingi Mbak Tri, dia mencampur-campur terigu, kentang, susu bubuk, dan kali ini sedikit improvisasi: cokelat bubuk. Demi menghabiskan cokelat bubuk yang dibeli di Paris setahun yang lalu (gini nih kalo belanja laper mata). Sementara ini rumah opa masih kosong melompong, karena si opa, oma, dan oom pergi ke Bandung. Sementara oom yang satu lagi kerja. Jadilah Mika dan mamanya penguasa rumah... hohoho...

Jumat akan jadi hari ke panti asuhan yang baru, Sabtu dan Minggu ada acara keluarga, dan mari kita lihat apakah ada acara staycation yang lebih kreatif di minggu terakhir liburan ini. Ciao!

Rabu, 30 November 2011

Day 4 Belitung November 2011

Bagian 4 dari 4 tulisan

Day 4: Last Day

Yaaah... hari terakhir liburan pun tiba. Rasanya masih pengin banget guling-gulingan lagi di pantai, tapi kami tidak sempat kembali ke Tanjung Kelayang.

Usai sarapan di hotel (tiap malam petugas hotel mengetuk kamar dan menanyakan pilihan sarapan kami: mi goreng, nasi goreng, atau roti), kami belanja kerupuk, terasi, dll di toko Keluarga. Pilihan oleh-oleh di toko Keluarga ini pun beragam banget jenisnya dan harganya pun tidak mencekik, terutama bagi kami yang keluarganya besaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaar sekali sehingga yang mesti diberi oleh-oleh banyaaaaaaaaaaaaaak sekali. Berbagai jenis kerupuk (ikan, cumi, udang) dalam kantongan ukuran SML dengan harga sesuai ukuran bisa dipilih. Kalau mau ngasih banyak orang, bisa dipilih kantong ukuran S atau M, jadi harganya pun tidak terlalu mencekik. Selain oleh-oleh, saya juga beli terasi untuk konsumsi sendiri dan rusip. Rusip ini adalah teri yang sudah difermentasi, terbayang nikmatnya makan rusip dengan kucuran jeruk nipis plus irisan cabai, sebagai teman nasi hangat. Nyam! Para petugas di toko Keluarga ini juga rupanya sudah piawai menghadapi pelanggan yang kalap belanja, dan sudah menyiapkan kardus bekas sebagai tempat belanjaan. Saya pun menitipkan manggis yang dibeli kemarin dalam kardus. Kardus dipak rapat dengan selotip dan diikat tali plastik keras. Tak lupa diberi nama dan alamat biar tidak diambil orang. Oya, belanja di sini juga bisa dilakukan dengan debit BCA (dan kartu debet lain yang biasa dengan mesin EDC BCA), sehingga sangat memudahkan.

Usai belanja, kami mampir di Musium Belitung. Museum yang lokasinya dekat pantai Tj. Pendam ini kecil saja, tapi koleksinya tertata rapi, bersih, dengan keterangan yang cantik. Penataan harta karun kapal karam sangat modern dan menarik. Di bagian belakang museum terdapat kebun binatang mini (yang agak kotor) dan beberapa mainan anak. Meskipun agak kotor, tapi binatang-binatang yang ada di sana lumayan menakjubkan seperti buaya superbesar dan kura-kura yang juga besar-besar, oh, dan lele yang besar-besar juga... hehehe.... Halaman depan museum memajang meriam dan ranjau bekas Belanda.

Kami juga sempat mampir di rumah Belanda dan rumah adat (yang dibuat khusus seperti di Taman Mini) dan foto-foto di sana. Tentu tak lupa mengambil kepiting isi dan otak-otak yang kami pesan semalam dari Sari Laut. Kak Neli pun mengantar kami ke bandara, dan kami berpisah baik-baik serta berjanji akan kembali lagi ke Belitung suatu hari nanti.

Sayangnya liburan sempurna ini ditutup dengan delay 2 jam di bandara Hanandjoedin, yang membuat mood drop banget.

Belitung adalah tempat yang worth visited banget. Tempatnya indah dan bersih. Harga-harganya masuk akal. Orang-orangnya ramah, jujur, dan sangat melayani. Mari ke sana, sebelum Belitung jadi terlalu ramai seperti Bali! Orang Belitung sendiri rupanya berharap pulaunya tidak akan terlalu ngetop, seperti kata bapak yang menyewakan kapal di Tj. Kelayang, “Aduh, Bu, segini aja, jangan lebih ramai lagi. Nanti rusak semuanya!”

Alamat-alamat
Tanjung Outlet
(kaus, suvenir)
Jl. Sudirman 48A, Tj. Pandan

Keluarga
(kerupuk, suvenir)
Jl. Yos Sudarso 32, Tj. Pandan
(0719) 22714
0812-8128974
uwe_n19@yahoo.com

Rumah Batik
(kaus, suvenir)
Jl. Tj. Kelayang
Batu Itam, Sijuk
0819 29085768

Hotel Pondok Impian 2
Jl. Pattimura, Tj. Pandan

Last but not least, budgeting

Ini dia pengeluaran untuk trip Belitung 4 hari 3 malam untuk satu orang (anak saya tetap hitung satu kepala, jadi semua harga total sudah saya bagi 3), tanpa belanja-belanja (yang jatuhnya bisa sejuta sendiri... eh, maksudnya tergantung seberapa banyak oleh-oleh yang mau dibawa... hehehe):
pesawat pp: Rp890.000
hotel: Rp350.000 (satu malam 350rb tapi krn nginep 3 malam, dibagi 3 kepala, jadi...)
mobil: Rp400.000 (sama kasusnya kayak hotel, catatan tambahan, seharusnya mobil bisa @350rb per hari kalau pesan langsung ke rental, tidak via hotel)
makan 7x: Rp150.000
kapal: Rp120.000
tip tukang kapal: Rp30.000
tip driver: Rp50.000
total: Rp1.990.000

Day 3 Belitung November 2011

Bagian 3 dari 4 tulisan

Day 3: Laskar Pelangi

Pagi-pagi kami berangkat ke Belitung Timur. Perjalanan memutar dulu ke utara, via Bukit Berahu yang belum sempat kami kunjungi kemarin. Di tengah jalan kami memotret pohon unik yang cabangnya membentuk siku-siku, sehingga pohon seperti trisula atau garpu. Kak Neli heran, apa lucunya memotret pohon begitu, tapi kami sih antusias melihat pohon unik seperti itu. Kami bahkan lebih antusias lagi saat diberitahu itu pohon durian. Sedang musim durian di Belitung, yihaaa!!! Sedang musim manggis dan rambutan juga. Sayangnya, sampai pulang akhirnya kami tidak sempat makan durian, karena tiap kali selesai makan rasanya kenyaaaaang sekali... Perut tidak muat lagi untuk disisipi durian. Tapi, saya sempat membeli 4 renteng manggis isi 10 buah untuk dibawa pulang ke Jakarta. Satu rentengnya Rp6.000 saja!

Kami juga sempat mampir di Rumah Batik. Butik kecil ini menjual batik-batikan ala Jawa, jadi harapan kami menemukan tekstil asli Belitung pupus sudah. Ada batik print motif daun simpor, tapi itu kain modern hanya motifnya saja yang mengambil benda khas Belitung. Akhirnya kami membeli kaus saja (Rp60.000), gantungan kunci, dan kartu pos---yang fotonya dibuat oleh kakak si penjaga toko.

Bukit Berahu ternyata tidak terlalu cantik. Tapi teluk ini mempunyai cottage yang lokasinya persis di depan pantai. Tapi pantainya sendiri ombaknya agak besar dan airnya dalam, jadi kurang seru juga buat main. Selain itu pohonnya rimbun, sehingga sampah meskipun hanya daun kering, rasanya agak mengganggu. Sebetulnya seru juga sih membayangkan menginap di sana (hanya Rp250rb per malam), tapi kata Kak Neli, pelayanan di cottage itu kurang bagus, ada tangga tinggi dan lumayan terjal yang menghubungkan barisan kamar dengan kantor dan restoran di atas tebing, dan pelayan katanya malas turun ke bawah sana. Utamanya karena masalah UMR juga sih, kata Kak Neli. Tante bilang, kalau tamu mau kasih tip tiap pesan sesuatu dari atas mungkin pelayan tidak malas turun-naik. Tapi saya bilang, kalo tiap pesan minum atau handuk saja mesti ngetip bisa bangkrut si tamu, bukan begitu?

Jalan dari dan ke Bukit Berahu melewati kampung penduduk, tempat dibuat penganan oleh-oleh seperti kerupuk, pilus, dan terasi. Tapi kami tidak mampir. Jalanan ini juga melewati kampung nelayan Bugis. Selanjutnya perjalanan sungguh panjang dan agak monoton. Kami melewati hutan (Kak Neli menunjukkan pohon ini dan itu, termasuk pohon simpor yang daunnya untuk bungkus makanan, sukun, durian, dll. Kami juga ketemu monyet.), tambang timah yang masih aktif maupun yang sudah mati, kampung Bali yang komplet dengan pura dan para dewa yang gede-gede banget. On and on and on... Ditingkahi soundtrack, “Mika mau ke pantai... Mika mau ke pantai...” yang membuat perjalanan jadi terasa makin panjang.

Hampir jam satu siang, kami baru sampai di Manggar. Saya sudah hampir pengsan kelaparan. Kak Neli membawa kami makan di warung-restoran nasi ayam. Hidangan sederhana nan unik ini hanya terdiri atas nasi gurih diberi taburan ayam suwir dan bawang goreng serta acar, dengan pelengkap kuah isi 3 bakso ikan. Entah karena lapar, entah karena memang gurih banget, hap-hap-hap, nasi ayam yang nikmat itu pindah masuk perut dengan cepat.

Kami lalu keliling-keliling Manggar. Kak Neli menunjukkan sekolahnya Yusril Ihza Mahendra, sekaligus rumahnya. Kami juga sampai ke Pantai Manggar, tapi karena Kak Neli bilang airnya dalam, dan kami tidak mau mengambil risiko anak jongkok di pasir lagi, kami tidak turun.

Oya, sebelumnya kami sempat mampir di Vihara Dewi Kwan Im. Vihara ini sebenarnya biasa saja, dan kami bahkan tidak berhasil menemukan patung si dewi. Di belakang vihara juga terdapat pantai, dan kami juga tidak turun di sana.

Setelah pantai Manggar, kami mendaki Bukit Satam. Di puncaknya, kata riset internet dan bacaan, ada rumah Belanda yang dijadikan restoran. Tapi saat sampai on the spot, rumah itu sudah tidak berbentuk rumah Belanda lagi. Gak seru ah! (Mungkin dalam hati Kak Neli bilang, “I told you so! Gak percaya seeh...” hehehe.)

Turun bukit, kami langsung menuju Gantong, lokasi LP. Tiba di Gantong, Kak Neli membawa kami ke tempat bangunan sekolah Muhamadiyah yang untuk syuting (bangunan baru). Lahan luas di sekeliling bangunan sekolah rupanya diperuntukkan untuk tanam ulang atau reboisasi karena pohonnya masih muda-muda. Di lahan itu juga ada dua rumah kayu berbentuk rumah adat Belitung (nb: di mana-mana di Belitung masih ada rumah adat kayu ini loh...) yang kata Kak Neli diperuntukkan bagi perpustakaan yang janji Andrea Hirata akan didirikannya dengan royalti LP.

Setelah foto-foto, kami lanjut ke Bendungan Pice. Di bendungan bangunan Belanda ini, saya tidak ikut turun sampai ke bendungannya. Biasa, takut kecebur... hehehe... Foto-foto sebentar, kami melanjutkan perjalanan. Kak Neli menunjukkan rumah Andrea Hirata, tapi kami tidak turun. Kami berhenti di lokasi bangunan sekolah Muhamadiyah LP yang asli. Bangunan ini pun sudah dipindahkan dari lokasi aslinya. Bangunan tampak doyong dan tidak terawat. Bahkan kotor. Sayang juga ya, kok tidak dirawat, padahal mungkin banyak fans LP yang pengin melihat sekolah LP yang asli.

Tidak lama di sana, kami lanjut perjalanan pulang. Perjalanan pulang lebih cepat karena langsung menuju Tanjung Pandan, tidak memutar lagi. Sebagai catatan, jalanan seputar Pulau Belitung ini beraspal mulus, bahkan di wilayah yang supersepi sekalipun. Jalanan pun sepi dari kendaraan lain, jadi serasa pemilik pulau deeeeh... hehehe...

Tiba di Tanjung Pandan, memenuhi keinginan anak, kami singgah di Tanjung Pendam, pantai yang berada dalam kota Tj. Pandan. Sayangnya, ini satu-satunya pantai yang mengecewakan di Belitung. Pantainya kotor, banyak sampah, WC-nya bau. Dan meskipun airnya sedang surut, tapi luasan pantai dipenuhi lubang sarang kepiting-kepiting mungil. Saat saya melangkah ke arah air, kepiting-kepiting itu keluar semua dari liangnya dan berlarian panik di depan saya. Hiiii geliiii... Selain kepiting, banyak juga kerang kerucut dan gundukan sarang ulat. Hiiiii geliiiii...

Usai sunset yang tidak terlalu spektakuler karena mendung, kami kembali ke hotel untuk mandi. Ealah, mendung berubah jadi hujan luar biasa besar. Sialnya, satu-satunya kekurangan hotel kami, tidak ada telepon di kamar! Sampai jam 7 lewat kami terjebak di kamar. Akhirnya saya benar-benar mau pengsan kelaparan lagi, dan Tante menelepon Kak Neli untuk minta tolong agar dipinjamkan payung dari hotel.

Ealah, begitu masuk mobil, hujan jadi rintik lalu berhenti. Karena saya ingin makan kepiting (yang terbayang sih kepiting rebus atau goreng mentega gitu...), Kak Neli membawa kami ke Diva, warung-restoran Cina yang menyediakan kepiting. Menunya sih standar rumah makan Cina di mana-mana, tumis-tumisan, goreng-gorengan. Akhirnya kami memesan sup jagung kepiting, pampi goreng kepiting, dan sapo tahu. Pampi ini unik, kata Kak Neli, pampi itu kwetiaw. Terbayang dong kwetiaw tipis-tipis seperti yang di Jakarta, taunya bentuknya adalah bakmi tebal seperti udon. Kepiting yang disertakan dalam pampi goreng ini masih dalam bentuk capit utuh, sehingga puas menggigitnya. Kokinya juga tidak pelit memberi capit kepiting ini, mungkin ada sekitar selusin capit dalam pampi goreng ini. Sayangnya, seperti umumnya resto Cina, ada sedikit aroma dan rasa gosong yang datang dari wajan yang digunakan memasak berbagai makanan bergantian tanpa dicuci bersih terlebih dulu. Sup jagung kepitingnya juga enak, segar, dan panas. Saya sama sekali tidak mencicipi sapo. Sekali ini pun makanan porsi raksasa ini tidak habis disantap 3 dewasa dan 1 anak, sehingga sapo mesti dibungkus bawa pulang, dan langsung diserahterimakan ke Kak Neli untuk dihibahkan ke tetangganya.

Kami lalu mampir ke Tanjung, outlet oleh-oleh. Outlet ini oke banget karena menyediakan kaus mulai dari superkecil sampai superbesar (5L), desain dan bahannya pun oke. Harga pun oke, antara Rp20.000-60.000. Selain itu outlet ini juga menyediakan berbagai suvenir liburan standar lain seperti magnet kulkas, gantungan kunci, gelang-gelang pantai (biasa aja sih), tas pantai, dll. Saya memilih suvenir-suvenir yang ada tulisan Belitung-nya dong. Sesudah pilih kanan-kiri dan beli-beli, kami beranjak lagi. Sayangnya malam itu pusat oleh-oleh kerupuk dll sedang penuh, jadi kami ke Sari Laut untuk pesan kepiting isi dan otak-otak untuk dibawa pulang ke Jakarta. Lalu kami balik badan dan kembali ke hotel.

Day 2 Belitung November 2011

Bagian 2 dari 4 tulisan

Day 2: It's Islands Hoping Day

Mengikuti saran Pak Neli, kami menukar itinerary LP hari ini dengan islands hoping. Hari cerah, langit biru agak berawan. Kami kembali ke Tj. Kelayang, spot pemberangkatan untuk islands hoping. Pak Neli sudah memesankan kapal untuk kami sedari kemarin sore, tapi rupanya kami harus menunggu agak lama demi life jacket kecil untuk anak saya. Bersama kami satu per satu rombongan berangkat, ada sekitar 5 rombongan yang menjelajah laut hari itu. Ada yang bersama anak-anak kecil juga. Ada juga yang membawa ibu hamil 7 bulan!

Akhirnya si life jacket datang, dan kapal kami pun menepi. Kami diperkenalkan dengan Pak Taufik yang akan memandu perjalanan kami hari itu. Masuk kapal kayu bermesin diesel itu, anak saya langsung duduk di dasar kapal, berpegangan erat-erat pada bangku kayunya. Duileh, takut nih anak. Masalahnya, mamanya juga jeri! Hahaha... membayangkan mengarung laut dengan kapal kayu yang kayaknya ringkih aja udah sakit perut, apalagi melakukannya sendiri! Waktu naik tangga kayu ke atas kapal saja kapal sudah goyang-goyang teterpa ombak... Oh, no! Saya ikut duduk di dasar kapal dan berpegangan pada bangku dudukan. Kayaknya yang tetap semangat '45 cuma si tante... hehehe... Kapal mundur untuk keluar dari pantai, lalu maju. Wah, salah arah nih duduknya... Saya dan si kecil beringsut memutar pantat dan haluan duduk. Yak, brangkat!

Pertama-tama, kapal dilewatkan pada Batu Burung. Senyum! Cekrik! Senyum! Cekrik! Tante sibuk foto-foto, bahkan minta tolong difotokan oleh saya. Sambil mesem-mesem sakit perut takut, saya fotokan juga. Sambil tetap berpegangan erat-erat, saya mengagumi kebesaran Tuhan, kok bisa ya batu-batu sebesar-besar itu tumpuk-menumpuk kayak begitu? Ajaib banget!

Dan kapal merapat ke pulau pertama; Babi Kecil. “Di sini ngapain nih, Pak?” tanya saya setelah susah payah turun ke pantai dari kapal yang oleng. “Foto-foto!” kata Pak Taufik santai. Di sini mulai terungkaplah rahasia Pak Taufik! Rupanya dia sering membawa rombongan fotografer, jadinya dia tahu spot-spot cantik untuk mengambil foto. Bukan hanya itu, rupanya dia piawai megang kamera. Kamera profesional saja pernah dipegangnya, jadi gak usah tanya kamera pocket digital kami... Ah, yang begini mah gampiiilll... Gitu kali, katanya... hehehe... Tante langsung memanfaatkan keterampilan plus-plus Pak Taufik ini dong untuk mengabadikan pemandangan yang hular bizaza itu. Anak saya? Jongkok di pasir lagi dong ah!

Kami naik kapal lagi untuk pindah ke Pulau Kepayang. Si kecil mulai santai dan tidak lagi berpegangan erat-erat. Mamanya masih. Turun di Pulau Kepayang, kami melihat peradaban... hehehe... Maksudnya, di situ ada warung/restoran sederhana, fasilitas outbound, tempat bilas/WC yang bersih dan sama sekali gak bau (Catatan: rata-rata WC di Belitung ini bersih dan gak bau loh! Ini penting banget! Kecuali yang di Pantai Tanjung Pendam, itu bener-bener hoeeeek dah!)). Di pulau ini juga disediakan cottage untuk penginapan, dan ada tempat penangkaran penyunya juga. Batu-batunya juga besar-besar dan cantik-cantik. Tante foto-foto lagi, sambil menggandeng Pak Taufik sebagai fotografer dadakan. Anak saya jongkok lagi di pasir, sementara saya agak garing jomblo soalnya bingung mau ngapain. Akhirnya, saya foto-foto juga pemandangannya (habis kalo foto diri sendiri akhirnya gayanya itu lagi-itu lagi), ikut bikin istana pasir, dan sekali-sekali masukin kaki ke ombak. Air di antara batu-batunya agak dalam (boong ding, palingan sepaha) jadi saya cuma berani maju selangkah-dua asal airnya kena mata kaki gitu... hehehe...

Setelah dengan susah payah membujuk si kecil supaya mau pindah pulau dan membilas serta menggantikan baju dia, kami kembali naik kapal ke Pulau Lengkuas. Pulau Lengkuas pasirnya juga putih dan cantik, sayangnya agak kotor. Di pulau bermercusuar ini juga kami menyaksikan tragedi: rombongan si ibu hamil 7 bulan itu meninggalkan berbotol-botol Aqua yang masih setengah/tiga perempat berisi di atas meja yang disediakan di depan mercusuar. Padahal tempat sampah ada di samping meja itu!!! Botol-botol masih penuh air itu rasanya eman-eman banget! Minta ampun deh orang Indonesia! Akhirnya daripada eman-eman air bersih itu dan tidak ada yang memasukkannya ke tempat sampah, air itu kami gunakan untuk cuci tangan-kaki seusai makan. Botol air yang isinya sudah habis kami gunakan kami masukkan tong sampah. Apa susahnya sih jalan ke tong sampah? Huhuhu... menangiiiiis... Anak saya kembali jongkok ngorek-ngorek pasir, padahal meski putih pasir di P. Lengkuas ini kotor penuh sampah puntung rokok, potongan plastik dll. Kegembiraan si kecil makin bertambah saat teman-temannya kucing-kucing datang. Sayangnya di pulau ini tidak ada warung seperti di P. Kepayang tadi. Jadi kami harus puas dengan pop mie. (Sebenarnya tadi pagi sebelum brangkat, kami stop by di warung nasi uduk rekomendasi Pak Neli, sayangnya nasinya habis! Tinggal lauk-pauk. Terpaksalah kami hanya beli arem-arem dan sate ati-ampla serta sate telur puyuh di sana.) Usai sekadar mengganjal perut, Tante keliling-keliling pulau untuk foto-foto, sementara saya menemani si kecil. Lalu gantian, Tante menemani si kecil, dan saya keliling-keliling pulau. Ada beberapa plang penunjuk jalan seperti: kuburan Belanda, kolam bidadari, rumah tua, penangkaran penyu. Saya ikuti plang arah ke rumah tua. Rumah itu sebenarnya tidak tampak tua sama sekali karena sepertinya baru dicat. Tapi pemandangan di depan rumah... Ya Tuhanku dan Allahku, sungguh sepotong surga di bumi! Indah, indah, indah, dan damai. Langsung saya ceprat-cepret di sana. Pantai berpasir putih bersambungan dengan lapangan berumput hijau dengan aksen pohon kelapa menjulang. Luar biasa! Yap, tapi agak creepy juga sih karena sendirian, jadi usai ceprat-cepret, saya langsung kabuuuurrr! Saya masuk ke dalam mercusuar buatan tahun 1882 yang menjulang 18 tingkat. Naik sampai lantai 1, saya langsung turun lagi, baru satu lantai saja rasanya kok tinggi amat yak? Tapi, pasti seru kalau datang ke sana bawa Bos Ade Purnama dari Sahabat Museum. Pasti ceritanya banyak, dan kehidupan zaman Belanda di P. Lengkuas ini bisa terbayangkan lebih semarak.

Lanjut ke Pulau Burung. Sekali ini kami serasa punya pulau pribadi. Anak saya langsung duduk (bukan jongkok lagi) di pasir putih, dekat speedboat parkir dan sibuk dengan perangkat main pasirnya. Saya dan Tante menggunakan bakat terpendam Pak Taufik sebagai fotografer dadakan dan foto lompat-lompatan. Setelahnya, Tante ikut Pak Taufik melihat rumah pemilik pulau (yap, pulau yang ini memang pulau milik pribadi), sementara saya ikut main pasir dan celup-celup kaki. Lumayan lama juga kami di pulau “pribadi” yang ini. Di depan pantai tempat kami ngejogrok di pasir terdapat beberapa keramba. Sebetulnya saya tertarik juga ke sana. Tapi kata Pak Taufik, keramba ikan itu dijaga anjing galak. Terbukti saat ada rombongan kapal yang merapat di sana, gonggongan anjing langsung bergema.

Akhirnya, naik kapal lagi. Oya, dari yang tadinya pegangan erat-erat, ibu dan anak sekarang sudah jadi anak laut. Mamanya sudah naik pangkat dari dasar kapal ke bangku kayu, sementara anaknya berkembang lebih cepat dengan menolak pakai life jacket. Ealah... Selain itu, yang patut diceritakan dan sering dilupakan adalah perjuangan si nakoda kapal. Tiap merapat di suatu pulau, Pak Taufik pertama-tama melempar jangkar di buritan. Jangkar nyangkut, mesin dipelankan. Lunas kapal mencium pasir. Byur! Pak Taufik lompat ke air, meraih jangkar haluan, jangkar dipancangkan ke pasir, kapal ditarik sampai lunasnya lebih masuk pasir. Pak Taufik lari lagi ke belakang, menyetir kapal sampai pas berhenti, lari lagi ke depan menurunkan tangga. Ngeliatnya aja capek, gimana ngelakuinnya? Apalagi seharian bisa ke 5-6 pulau coba... Oya, pas di Pulau Babi Kecil, kapal sempat kabur terbawa ombak. Tentu Pak Taufik ikut kabur mengejar kapalnya. Sementara saya sakit perut membayangkan yang tidak-tidak karena ransel berisi bekal (dan duit!!!) ada di kapal. Tapi, puji Tuhan, orang Belitung memang jujur-jujur, Pak Taufik ya balik lagi dong ah dan mengulangi lagi proses lempar jangkar, tarik kapal, dll dsb itu.

Nah, kali ini kapal membawa kami ke pulau pasir. Tempat ini lenyap bila air pasang, dan muncul bila air surut. Di gundukan pasir kecil ini merapat 3 kapal dan turun sekitar 20an turis---dan beberapa kapal lain yang datang dan pergi tanpa menurunkan penumpangnya. Semua berfoto narsis, juga berfoto sama bintang laut. Patrick di sini warnanya pink kecokelatan dengan tanduk-tanduk cokelat tua kehitaman. Baru kali ini saya lihat bintang laut begitu loh. Cantik banget. Atraksi paling afdol di pulau kecil ini adalah memiliki laut dan menikmati ombak. Kita bisa jalan ke tengah laut sampai cukup jauh karena pasirnya datar banget. Bisa juga cuma masuk laut beberapa langkah terus jongkok, duduk, atau tengkurap. Byur! Ombak menerpa dari kanan-kiri depan-belakang! Seru banget! Ombaknya pun nggak gede, jadi rasanya aman-aman saja. Saya dan anak saya sibuk main ombak. Sudahlah kami basah kuyup gak keruan. Rasanya ogah deh naik lagi begitu sudah masuk air. Rombongan lain pada ada yang snorkeling di spot ini. Sebetulnya Pak Neli dan Pak Taufik mengusulkan supaya kami snorkeling juga. Tapi saya ogah, takut sama air dalam soalnya... hehehe... jadi sejak dari Tj. Kelayang pun saya sudah bilang saya ogah snorkeling. Satu per satu kapal beranjak pergi. Kapal kami termasuk yang terakhir pergi. Saya sempat melihat rombongan yang snorkeling dan full berkostum selam memunguti lagi bintang-bintang laut yang dipakai foto-foto narsis tadi. Mereka dengan panduan seorang bapak berkaus seragam (gak tau seragam apa, pokoknya kayak seragam aja) memasukkan bintang-bintang laut itu ke air, menekan-nekan sana-sini. Mengetes apakah si bintang laut mengapung atau tenggelam. Setelah tenggelam, si bintang laut dilempar jauh-jauh ke tengah laut. Rupanya bintang laut itu kemasukan angin saat dipegang-pegang dan berada di luar air. Akibatnya mereka tidak bisa tenggelam ke dasar laut, melainkan mengapung menantikan kematian. Ah, kasihan... Selalu alam tak berdosa harus jadi korban manusia.

Pindah dari pulau pasir, kami singgah di Pulau Kelayang. Di sana, kami hanya foto-foto dan main air lagi. Kami bahkan tidak berusaha menjelajah masuk hutan yang memagari teluk berpasir putih tempat kapal kami merapat. Tidak lama, rembang petang dan mendung makin menggantung, kami buru-buru kembali ke kapal untuk menuju pulang.

Kembali ke Tj. Kelayang, si kecil kembali jongkok di pasir, ogah disuruh berbilas. Hmm... dasar anak-anak, kalau sudah ketemu kesukaannya saja, sulit sekali bergeming. Akhirnya kami berbilas juga. Tersedia kamar bilas dan wc sederhana yang relatif bersih dan tidak bau, tapi airnya berwarna merah meski tawar. Nafsu berbilas jadi agak lenyap. Dengan pikiran akan mandi di hotel saja, kami membersihkan diri sekadarnya. Cuma si kecil yang bersabun, itu pun tidak keramas.

Usai berbilas dan ganti pakaian, Tante menyambangi kios sewa perahu untuk membayar sewa. “Pak, mau bayar kapal pesanan Pak Neli,” kata si tante. “Hah? Siapa, Bu?” tanya bapak di kios. “Pak Neli,” tegas si tante. “Oh, gak papa, Bu. Dia senang kok dikira laki, pasti nanti dia bakal bangga deh,” kata si bapak sambil senyum-senyum. Haaa... langsung si tante merasa nggak enak. Di mobil, Tante langsung meng-SMS saya---emang deh, sekarang zamannya SMS-an, bukan tuker-tukeran potongan kertas kecil lagi... hehehe---”the driver is female,” bunyi pesan singkatnya. Saya mesem-mesem saja. Jadi “Pak” Neli berganti menjadi “Kak” Neli deh... hehehe...

Kami kembali ke Tj. Tinggi untuk makan seafood. Kami memesan gangan kepala ikan ketarap---hidangan khas Belitung yang bentuknya seperti ikan masak nanas, cumi bakar (soalnya saya ngiler ngeliat pesanan orang di P.Lengkuas siangnya), sayur genjer, dan ikan terisi goreng kering. Gangannya ternyata pedas, jadi saya kurang suka. Cumi bakarnya enak tapi agak biasa aja. Ikan terisi goreng keringnya yang wokeh banget. Sayur genjer cah terasinya juga oke banget. All in all meskipun diawali dengan lapar sampai kalap, ternyata hidangan itu terlalu banyak untuk dihabiskan 3 dewasa dan 1 anak. Lauk yang sisa pun dibungkus dan dibawa pulang ke hotel.

Si kecil lelap di mobil dan tidak terbangun lagi sampai esok paginya. Yang dewasa mandi lagi, cuci baju, lalu leyeh-leyeh. Saya ngemil cumi bakar sambil nonton TV, sebelum akhirnya bergabung dengan alam mimpi.

Belitung November 2011

Bagian 1 dari 4 tulisan

Diawali dengan trip keluarga yang mreteli satu per satu, kami---saya, anak saya, dan tante saya---akhirnya berangkat ke Belitung. Sudah sejak sekitar tahun 2004 saya ingin ke pulau yang satu ini. Waktu itu saya melihat foto-foto Mariana Renata di pulau ini dalam suatu majalah tamasya. Sekitar waktu itu juga iklan sabun yang dibintangi Dian Sastro mengambil lokasi di pulau ini. Jadi saya sudah naksir pantainya lumayan agak jauh sebelum demam Laskar Pelangi melanda. Setelah Laskar Pelangi, urmm... jadi makin pengin sih. Tapi kebetulan saya belum baca dan nonton Laskar Pelangi. Sampai sekarang. Sekarang, sepulang dari Belitung, dvd-nya sudah saya pinjam, tapiii entah kapan sempat menontonnya... hehehe...

Anyway, kisah Belitung saya bisa dimulai dari...

The Hassles of Preparation...
Yap, persiapan memang perlu. Mulai dari menentukan siapa saja yang ikut, sampai akhirnya hanya tersisa tiga nama itu saja prosesnya lumayan panjang. Berikutnya, menentukan mau ikut tur atau jalan sendiri. Ikut tur... Awalnya saya merasa tidak pede merambah daerah yang tidak dikuasai kalau tidak ikut tur. Tapi di sisi lain, tur customized untuk kami sendiri jatuhnya jadi mahal banget. Kalau mau yang agak murah, campur sama orang lain. Nah, dengan bawa anak kecil, kalau si anak rewel, capek, mogok, dll dsb yang menyebalkan itu, apa kami gak jadi ruined other people's fun? Tapi awalnya kami toh mendaftar ke sebuah tur. Tapi, rupanya tante saya yang kreatif dan energik itu tiada pantang mundur untuk menghubungi juga beberapa hotel di Tanjung Pandan. Tak kurang dua hotel di-booking-nya. Plus sewa mobil. Tentu saja si tante juga mem-book pesawat. Jadi, saya yang tadinya berpangkat tour organizer tinggal ongkang-ongkang kaki lah. Sungguh boljug untuk jalan lagi sama tante yang satu ini... hehehe... Tentu karena Tante yang sibuk ini-itu dan telepon sana-sini, sampai detik akhir pun dia yang sibuk, dan saya akhirnya tinggal angkat ransel dan angkat si kecil, siap berangkat.

Oya, setelah menimbang kanan-kiri, maju-mundur, telepon sana-sini, akhirnya kami memutuskan jalan sendiri tanpa tur. Jadi, booking yang kami gunakan adalah hotel Pondok Impian 2, dan mobil pun di-book via hotel.

Day 1: Tempat Syuting Laskar Pelangi
Sulitnya ke Belitung adalah hanya ada dua maskapai penerbangan yang melayani rute Jakarta-Tanjung Pandan pp. Dua-duanya (sebenarnya semua maskapai lokal seeeh) raja delay. Jadi akhirnya kami pilih raja delay yang lebih murah dan lebih mudah cara pemesanan online-nya.

Namanya juga raja delay, tentu saja keberangkatan kami tertunda satu setengah jam. Untunglah sekarang terminal 1C SHIA udah keren dengan jendela yang besar-besar, sehingga anak saya terhibur dengan pemandangan segala macam pesawat itu. Oya, patut dicatat, rennaisance terminal 1 ini lumayan terasa loh, bukan hanya di bagian fisik bangunan saja (terutama WC!!!), tapi juga di pelayanan dengan banyaknya petugas kebersihan dan petugas informasi. Dan mereka bekerja loh... Seringnya kan kita melihat petugas banyak tapi sibuk gosip, bukan kerja... hehehe...

So, penerbangan lumayan lancar. Mendarat di Tj. Pandan hampir 13.30, kami serasa jadi punya bandara pribadi. Yang ada di landasan cuma pesawat kami. Bandara pun lengang, dengan hamparan pegunungan di belakang landasan. Hasrat foto-foto gila pun langsung tersalurkan, sampai ada panggilan, “Bu, Bu, cepetan! Penumpang ke Jakarta udah mau boarding!” Hehehe... Keluar dari pintu kedatangan, kami (hampir) langsung ketemu sama penjemput kami. Mobil Avanza pesanan pun meluncur ke lobi bandara untuk mengangkut kami. Saat menanyakan nama sopir, saya jadi agak wagu. “Namanya siapa, Pak?” “Saya? Neli,” jawab si sopir. “Hah? Siapa?” tegas saya. “Neli!” Saya diam. Si sopir penampilannya cowok dengan rambut cepak, kemeja lengan pendek, plus rokok di sakunya. Suaranya pun berat-berat gimana gitu. Tapi kok namanya Neli? Saat mobil berhenti untuk isi bensin, saya bertanya pada tante saya, “Sopirnya cewek ya?” Tante saya membantah, “Ah, enggak ah! Gak mungkin!” Ya sudah, saya diam lagi.

Kami berhenti untuk beli mie Belitung yang diulas di mana-mana itu di warung Mie Atep. lokasinya di dekat bundaran tengah kota. Lalu langsung meluncur ke hotel. Sembari jalan Pak Neli bertanya-tanya tentang jadwal acara kami. Dari Jakarta, hasil riset internet dan baca sana-sini, saya sudah membuat itinerary hari pertama kami eksplorasi sekitar hotel saja (karena perhitungan saya kami akan tiba sore hari---menghitung delay *uhuk*), hari kedua ke Laskar Pelangi (LP) di Manggar-Gantong, lalu hari ketiga island hoping, dan hari keempat belanja oleh-oleh sebelum pulang ke Jakarta. Rupanya Pak Neli kurang setuju kami ke LP, “Gak ada apa-apa di sana, tapi yah, kalau Ibu mau...” Pak Neli juga mengusulkan kami langsung saja ke pantai sore itu. Akhirnya kami memutuskan merem aja deh, ngikut aja... hehehe... Puji Tuhan, itu keputusan yang benar. Karena ada kan ya yang merem aja ikut aja akhirnya malah gak senang atau gak puas. Tapi dalam kasus kami rupanya Pak Neli ini tidak menyesatkan.

Sesungguhnya, selama 4 hari saya di Belitung, saya melihat budaya mereka sangat menjunjung tinggi kejujuran dan sangat berusaha menjaga kepercayaan. Mau nangis kan, sementara di Jakarta orang sudah sangat sulit untuk tidak mencurigai orang lain. Di Belitung, kami mau kasih dp hotel, “Nanti aja, Bu, kita percaya kok.” Mau dp sewa kapal, “Nanti aja, Bu, kita percaya kok.” Tapi bukannya kejujuran dan kepercayaan warga Belitung ini tidak pernah disalahgunakan. Pak Neli cerita, pernah juga mobil sewaan dilarikan sampai Jakarta oleh si penyewa. Tapi katanya, “Itu kan emang niatannya udah nggak benar. Nggak semua orang begitu, kan?”

So, back to cerita Day 1. Kami makan si mie Belitung superlezat di kamar hotel. (Oya, kamar hotelnya pun sangat memuaskan, dengan twin bed yang ukurannya besar, AC yang sudah siap menyala, kamar mandi dalam ber-water heater. Memadai banget lah.) Mie ini unik banget karena dibungkus daun simpor khas Belitung. Bentuknya adalah mie kering campur irisan tahu goreng, kentang goreng, bakwan udang, ketimun, dan dimakan dengan siraman kuah udang yang kental gurih manis udang. Kuah ini yang nendang banged. Top dah pokoknya! Kami juga membeli nasi tim ayam untuk ransum anak saya. Nasi tim ini pun dahsyat rasanya. Apalagi saya memakannya dengan diikuti sesuapan kuah udang dari mie. Slurufs, nyam!

Usai makan, sedikit bongkar bawaan dan ganti baju, kami siap berangkat. To the beach we go! Yeah!

Yeah, indeed! Tanjung Tinggi yang pertama kami singgahi penuh batu granit raksasa. Mantap bana buat foto-foto. Saya dan Tante langsung sibuk jeprat-jepret. Anak saya? Dia langsung jongkok begitu melihat pasir! Yeah, pasir, yeah! Di Jakarta mana bisa dia main pasir?

Tapi rupanya, bagi Pak Neli, pantai yang ini kurang oke, lebih oke yang di sonoan dikit. Kebetulan yang sonoan dikit itu jadi tempat syuting film LP. Ada prasastinya segala loh, “Pantai ini pernah menjadi lokasi syuting film LP.” Pantainya juga berbatu-batu granit raksasa yang tumpang tindih membentuk labirin-labirin yang menggoda untuk dijelajahi. Puji Tuhan, ada Pak Neli! Anak saya kembali langsung jongkok begitu melihat pasir dan bergeming main pasir, ditemani Pak Neli. Saya dan Tante langsung foto-foto lagi dong ah! Hehehe... Saat kami kembali dari mblusukan di antara batu-batu, gundukan kue pasir sudah tercipta di depan kedua orang yang setia main pasir itu. Sayangnya gerimis mulai turun, jadi foto-foto di situ harus diakhiri.

Selesai? Tidak dong ah! Kami pindah pantai lagi ke Tanjung Kelayang. Pantai ini surga dunia banget dah! Kebetulan hujan juga stop, jadi kami bisa turun ke bibir air. Pasirnya luar biasa putih. Airnya biru. Dan ini yang terpenting: tidak ada sampah sama sekali. Catat! Tidak ada sampah! Yah, daun-daun kering gitu sih ada, tapi sama sekali tidak ada sampah bawaan manusia seperti puntung rokok atau bungkus permen. Jelang senja itu suasananya sepi, airnya pun tenang nyaris tidak berombak. Gileee... saya mau tuh tinggal di situ selamanya! Anak saya? Jongkok di pasir lagi dong ah! Habis makan sereal bekalnya, dia lalu kembali membuat istana pasir. Setengah mati saya minta dia turun ke air, dia tidak mau. Meskipun akhirnya mau juga siiih... Maklum, anak malang, baru lihat pantai sekali ini, belum kenal ombak dia... Begitu ombak kecil datang berdebur dan menyerbu mukanya, dia teriak-teriak, “Asin! Asin!” Oya, notabene lagi, air asin di perairan Belitung ini nggak amis sama sekali. Bau lautnya pun nggak amis. Mungkin karena semua masih bersih tanpa sampah. Semoga kondisi ini bisa terjaga selamanya, amin!

Kami kembali ke hotel, mandi, lalu keluar lagi untuk makan. Restoran Sari Laut kayaknya wajib kunjung karena disebut di mana-mana. Pak Neli membawa kami ke sana, dan sepertinya sudah kenal sama semua orang di sana. (Kemudian hari terbukti tidak semua rekomendasi yang kami dapat dari internet maupun bacaan berkenan di hati Pak Neli. Bahkan ada beberapa spot yang langsung dia bilang, “Ah, di situ makanannya gak enak!” Tapi memang terbukti tempat yang menjadi rekomendasi dia memang enak-enak makanannya.) Kami memesan ikan ketarap bakar, kepiting isi (@5rb), otak-otak (@2rb), dan toge cah ikan asin. Minumnya es jeruk kunci. Rasa makanannya semua mantaf! Ikan ketarapnya tidak dibakar sampai kering, tapi masih moist. Rasanya gurih manis, kaldu ikannya itu yang enak banget karena bakarnya gak sampai kering. Kepiting isinya juga enak. Dan yang paling oke justru otak-otaknya, ikan semua, bow! Menurut Tante yang sudah coba otak-otak seluruh Indonesia, termasuk otak-otak Bangka dan Palembang, otak-otak Belitung inilah yang paling mantap. Sayang ukurannya sedang menuju mini, jadi dalam dua suap lenyap.

Seusai makan kami masih belanja air minum dan susu. Lalu langsung pulang ke hotel. And that's it for today, nite-nite!

Kamis, 17 November 2011

Editor dan Pengarang

Suatu hari dulu, waktu saya masih bekerja penuh waktu di kantor penerbitan, saya pernah diminta tolong “mengajari” seorang mahasiswa. Bukan pekerjaan yang aneh sebetulnya, karena kantor kami sering menerima mahasiswa magang atau mahasiswa yang membuat skripsi. Jadi, sesekali para editor diminta mendampingi mahasiswa-mahasiswa seperti ini.

Yang agak spesial, kali ini yang meminta bukan bos saya langsung, melainkan seorang rekan editor yang rupanya mendapat titah langsung potong kompas. “Mahasiswa ini anaknya temannya si bapak yang di lantai enam,” kata rekan saya itu. Oh, oke, bukan masalah (sedikit membuat sakit perut sih...). “Dia mahasiswa Harvard loh!” Oh, wow, what an honor! Mahasiswa Harvard mau belajar sama saya? Oh, wow! Siapalah saya ini?

Dan datanglah si mahasiswa. Mungil, mungkin baru dua puluh tahun, kelihatan malu-malu juga.

Saya dengan penuh semangat memulai pembicaraan---tentu setelah basa-basi, sudah berapa lama di Harvard, senang nggak di Amerika, dll dsb---jadi, apa yang bisa saya bantu?

“Saya mau jadi editor, Mbak,” katanya.

“Menarik!” kata saya, tentu senang mendengar orang mau jadi editor seperti saya. Masalahnya, profesi editor kan bukan profesi yang ngetop seperti dokter, pilot, polisi, guru, atau presiden. Tapi, kalau ini bukan profesi ngetop, jadi, “Kenapa mau jadi editor?”

“Supaya bisa marahin pengarang, Mbak! Kayaknya seru tuh,” katanya dengan bersemangat.

Hah, apa? Maaf, coba diulang? – Serius, saya mengatakan itu!

Dengan santai si mahasiswa Harvard mengulanginya, “Supaya bisa marahin pengarang, Mbak!”

Saya terdiam. Segala semangat ingin mengajar (kalau naskah diterima di sini prosesnya gini, gini, terus diedit gini, gini, lalu kita desain cover gini, gini, blablabla dst dsb) lenyap.

“Ooo... gitu ya?” Lalu percakapan jadi tersendat-sendat, dan kaku, dan aneh. Sampai akhirnya si mahasiswa Harvard dijemput oleh teman yang menitipkannya pada saya.

Oke, ketika saya mulai mencari kerja di tahun 2000 duluuuu... cita-cita saya adalah menjadi pengarang. Kenapa saya ingin jadi pengarang? Karena saya sangat suka sekali banget membaca. Jadi, ketika kemudian terbuka kesempatan untuk menjadi editor—which is sebenarnya waktu itu saya juga kurang mengerti apa pekerjaannya, selain bahwa saya akan membaca novel setiap hari—langsung saya meraihnya. Bukan pekerjaan tanpa minus. Yang pasti pekerjaan saya sebelumnya memberi saya gaji dua kali lipat daripada pekerjaan menjadi editor ini (capeknya juga dua kali lipat). Tapi rupanya panggilan hati itu tidak salah. Sebelas tahun kemudian saya tetap menjadi editor, dan terus belajar.

Langkah saya menjadi editor tidaklah mulus. Benar saya lulus tes penerimaan, yang artinya penguasaan bahasa Indonesia saya lumayan lebih bagus daripada rekan-rekan pelamar lain. Tapi, saya sungguh belum memahami esensi mengedit. Tugas pertama saya yang diperiksa rekan senior mendapat bisik-bisik merdu ke telinga bos, “Kayak belum diedit saja!” Syukurlah bos saya bijaksana, “Namanya juga baru belajar. Kamu dong ngajarin dia.” Berkas naskah pertama dan kedua dan terus sepanjang tahun pertama selalu kembali ke tangan saya dengan penuh coretan. Mungkin bisa dibilang coretan para senior pada berkas naskah yang saya kerjakan baru agak sedikit berkurang di tahun keempat saya menjadi editor. Sedemikian sulitnya tugas seorang editor, sedemikian tingginya tuntutan akan ketelitian bagi seorang editor.

Pun demikian saya tidak luput dari kesombongan. Dalam suatu rapat redaksi pernah saya berkomentar tentang para editor junior saya, “Yah, saya saja mencapai tahap ini, bisa seperti ini setelah sekian tahun!” Untunglah rekan editor, Hetih Rusli, cepat menyergah saya, “Dan kita masih terus belajar kan, Don?” Ehem. Benar. Saya masih harus terus belajar menajamkan mata melihat selipan-selipan huruf yang salah, menemukan kalimat-kalimat yang aneh. Saya juga masih harus terus mengikuti perkembangan bahasa (dulu memperhatikan, kemarin memerhatikan, dan hari ini kembali jadi memperhatikan!).

As for the editor-author relationship? Saya sungguh beruntung tahun 2005, kantor tempat saya bekerja mengadakan lomba novel remaja. Dari sanalah saya kemudian menjadi sangat terlibat dengan para pengarang lokal. Indahnya bekerja sama dengan pengarang lokal sangat banyak.

Pertama, saya harus berhubungan langsung dengan mereka. Mulai dari yang manis, ramah, sopan, dan penurut, sampai yang sombong, bebal, dan hanya mementingkan diri sendiri. Sungguh, ilmu kehidupan saya teruji saat harus berhubungan dengan aneka pengarang ini—terutama mereka yang karakternya sulit. Bila harus berhubungan dengan mereka-mereka yang sulit ini, terkadang saya menunda-nunda-nunda sampai tidak bisa ditunda lagi, dan akhirnya menghubungi mereka dengan sakit perut.

Kedua, saya bisa ikut membentuk naskah. Terkadang naskah yang tiba di tangah saya dari pengarang lokal masih mentah, masih harus dipoles kanan-kiri. Memikirkan usulan-usulan apa saja yang bisa diberikan untuk memperbagus suatu novel merupakan proses kreatif tersendiri yang sangat menarik dan membangkitkan semangat. Sungguh seru. Menemukan naskah rapi yang sudah jadi pun menjadi keasyikan tersendiri, karena sama seperti bos saya dulu menemukan Marga T. dan mengangkat Karmila, saya seolah menemukan mutiara terpendam pada novel-novel yang sudah rapi.

Ketiga, proses hubungan antara editor dan pengarang tidak berhenti pada urusan naskah. Proses berlanjut dengan bentuk setting dan tampilan cover, dan tentu juga proses promosi dan penjualan. Sering kali alasan menemani pengarang talkshow di radio anu atau di mal itu jadi alasan yang tokcer untuk keluar kantor... hehehe...

Lalu, masalah marahin pengarang, sesuai cita-cita si mahasiswa Harvard itu. Sepanjang sejarah saya menjadi editor, saya rasa saya belum pernah berkonfrontasi terbuka dengan pengarang. Alias saya belum pernah marahin para pengarang yang bekerja sama dengan saya. Sejauh ini saya masih berhasil mengomunikasikan apa yang saya inginkan, sehingga si pengarang bisa menerima dan mengerti. Ada memang beberapa pengarang yang... ya ampun, susahnya dihadapi. Saya pun pernah dimarahi pengarang senior akibat pekerjaan saya kurang sempurna. Tapi saya rasa sikap menghargai pengarang ini merupakan salah satu ajaran almarhum bos saya, Listiana Srisanti. Meskipun saat menghadapi pengarang yang sulit saya merasa “kenapa sih gak boleh balas marah ke pengarang ini, wong dia yang sombong kok!” tapi saya rasa dasar menghargai pengarang itu ada benarnya. Pertama, hukum emas: hargailah orang lain seperti kamu menghargai diri sendiri. Kedua, si pengarang yang punya ide dan tulisan. Ketiga, editor mungkin ensiklopedia berjalan atau menguasai empat bahasa, tapi tetap saja editor berfungsi membantu pengarang. Keempat, hubungan tanpa marah-marah pasti lebih enak, bukan? Sesungguhnya bukankah editor dan pengarang saling membutuhkan?

Kamis, 03 November 2011

Dalam Negeri? Hmmm...

Ngenes, ngenes, ngenes... Barusan di Kompas hari ini (3 November 2011), saya melihat iklan pariwisata... Thailand! (!!!) Negara yang minggu-minggu belakangan ini tenggelam dalam banjir yang sampai merenggut ratusan korban jiwa. Dan dinas pariwisatanya masih bisa mengiklankan negerinya? Dalam iklan itu diinformasikan bahwa Bandara Suvarnabhumi tetap buka, transportasi tetap berjalan seperti biasa di Bangkok, dan oh, jangan lupa... Thailand kan bukan cuma Bangkok, tapi juga ada Chiang Mai, Phuket, Pattaya, dll dsb.

Oke, Dinas Pariwisata Indonesia... Indonesia kan bukan cuma Baliiiiiiiiiiiiiii... Plus, Indonesia juga tidak kebanjiran. (Paling tidak belum di musim banjir ini, kecuali yang di Pondok Labu itu... hehehe...)

Sebelum Dinas Pariwisata Thailand ini, saya juga pernah melihat contoh kegigihan dinas pariwisata negara lain: Turki. Beberapa bulan lalu, hampir semua majalah wisata menulis tentang satu hal: Turki. Tiba-tiba negara ini menjadi sangat hip, menjadi tujuan yang hot. Oke deh, Turki memang asyik. Lokasinya yang berada di dua benua itu eksotik banget. Tapi pada saat bersamaan semua majalah menulis tentang Turki? Mencurigakan gak siiiih???

Kejadian yang hampir sama dengan Turki ini berulang dengan India. Hampir pada saat bersamaan majalah-majalah mengulas tentang India. TV-TV kabel menayangkan ulasan tentang India.

Dengan gencarnya promosi wisata luar negeri begitu, gimana kita nggak males berwisata di dalam negeri? Oh-oh, ditambah dengan sekarang banyak penerbangan murah, plus kemudahan-kemudahan lain sehingga mengatur perjalanan sehingga benar-benar customized sesuai keinginan kita sangat mungkin dilakukan. Plus-plus lagi bepergian ke seputaran Asia Tenggara ternyata lebih murah meriah dan hemat daripada bepergian dalam negeri sendiri.

Jadi, apa dong yang kita dapat dengan bepergian dalam negeri? Mahal? Sudah pasti. Susah? Sudah hampir pasti. Pelayanan standar atau bahkan di bawah standar? Sudah hampir pasti jugaaa....

Hhhh (menghela napas).

Tapi ya, ini yang kita dapat kalau bepergian dalam negeri: pengalaman otentik yang belum tentu sudah diperoleh orang lain. Tempat-tempat rahasia yang belum tentu diketahui orang lain. Ketabahan dan kesabaran. Cerita unik segudang yang bisa dibagikan untuk orang lain. Mau jadi backpacker? Taklukkan dulu Indonesia. Saking repotnya jalan-jalan dalam negeri, jalan-jalan ngere di luar negeri sudah hampir pasti bisa dilalui dengan tabah dan manis berbuah.

Mungkin kuncinya jalan-jalan dalam negeri adalah jangan takut, jangan manja, buka mata, buka telinga, buka diri (tapi jangan telanjang, bo. Berabe!). Kebanyakan orang Indonesia kan penakut. Naik pesawat jelek, takut. Naik pesawat delay, manyun. Dapat hotel kutuan, enak aja wong udah bayar! Memang sih gak enak, tapi sebagai orang Indonesia mungkin kita mesti menerima ya beginilah keadaan pariwisata negara kita. Dan kalau bukan kita yang mulai jalan-jalan di negara kita, siapa lagi?

Minggu, 30 Oktober 2011

Bahasa-bahasa

Daysann McLane, penulis National Geographic Traveler versi Amerika, membuat artikel tentang pentingnya bahasa ketiga dalam perjalanan. Maksudnya bahasa ketiga adalah bahasa asing lain selain Inggris. Jadi kayak kita di Indonesia ini, bahasa pertama kita ya Indonesia, kedua Inggris (tapi bisa juga bahasa Jawa, Sunda, Melayu, dll, jadi dengan begitu bahasa Inggris jadi bahasa ketiga), dan ketiga (atau keempat) adalah bahasa asing lain itu. Dalam kasus saya, saya sungguh beruntung pernah kursus bahasa Prancis dan Spanyol. Jadi apes-apesnya saya bisa bilang “Saya lapar!” dalam kedua bahasa itu... hehehe...

Kenapa bahasa ketiga itu penting? Ternyata kadang-kadang di negara asing, kita tidak bisa bahasa lokal, penduduk lokal tidak bisa bahasa Inggris, tapi... ajaibnya terkadang kita bisa bahasa ketiga ini dan si penduduk lokal itu pun bisa bahasa tersebut! Komunikasi pun lancar terjalin.

Daysann McLane mengalaminya di Jepang. Kala berada dalam bus, dia berusaha mengobrol dengan cewek Jepang yang duduk di sebelahnya. Sialnya si cewek tidak bisa bahasa Inggris. Nyengir-nyengir kudalah mereka berdua. Entah bagaimana, tiba-tiba terlontar ungkapan bahasa Spanyol dari mulut si cewek Jepang. Lho kok pucuk dicinta ulam tiba, si Daysann pun aktif berbahasa Spanyol. Jadilah mereka bisa nyambung dan ngobrol seru.

Hampir sama seperti pengalaman Daysann, wartawan senior Kompas juga pengarang buku perjalanan berjudul Sekali Merengkuh Dayung, Diah Marsidi, juga punya pengalaman bahasa ketiga (baginya) ini. Di Italia, dia bepergian ke daerah pegunungan. Di dalam bus yang penuh celoteh bahasa Italia, telinganya menangkap percakapan bahasa Spanyol. Tak ragu-ragu dia menyapa para remaja Spanyol yang sedang belajar di Italia itu. Para remaja itu senang sekali ada yang bisa berbahasa Spanyol, dan heran kok bisa-bisanya orang Asia yang menguasai bahasa itu. Sebenarnya mereka rindu juga berbahasa Spanyol, karena pada masa tinggal mereka di Italia itu, tidak ada yang bisa mereka ajak bicara bahasa Spanyol.

Pengalaman para remaja Spanyol yang senang betul mendengar bahasa negaranya di tanah asing itu pernah saya alami di Paris. Saat duduk di kolam di samping piramida Louvre yang kesohor itu, tiba-tiba saya mendengar suara-suara berbahasa Indonesia, “Foto juga dong di sebelah sini...” Tidak buang waktu, saya langsung nembak, “Dari Indonesia yaaaa...” Cowok-cowok yang sedang sibuk foto-foto itu tentu tergirang-girang ketemu orang awak. Ternyata mereka dikirim kursus oleh kantor mereka. Langsung kami bertukar tempat-tempat wisata mana saja yang pernah kami datangi. Lucunya, saya mengkhususkan diri ke Louvre saat itu karena tiketnya gratis, ternyata mereka yang sudah lebih lama berada di Paris, malah tidak tahu (mungkin karena fokus ikut kursus kali ya...). Jadi begitu saya beritahu hari itu tiket masuk museum gratis, mereka langsung kabur meninggalkan saya untuk memburu jam buka museum yang sudah akan tutup.

Pengalaman menggunakan bahasa ketiga saya peroleh juga di Paris. Tentu saja dengan terbata-bata, menggunakan bahasa Prancis saya dengan para native speakers-nya. Kata orang, Parisians dan orang Prancis pada umumnya ogah berbahasa Inggris. Kata saya, nggak tuh! Banyak kok orang Paris yang baik hati mau jawab kalau ditanya dengan bahasa Inggris. Tapi ada juga sih yang ogah berbahasa Inggris. “Non, non, non, en francais, s'il vous plait!” Terbata-batalah saya menjelaskan saya ingin roti plus cokelat panas. Lain kalinya, dengan pede saya menanyakan judul DVD yang saya inginkan, “Excusez-moi, s'il vous plait, vous savez 'Epouse-moi'?” Para penjaga toko DVD itu menatap saya dengan intens lalu membalas, “C'est un proposition, Madam?” Lalu mereka meledak terbahak-bahak, sementara saya jadinya tersipu-sipu malu, soalnya judul DVD itu memang, “will you marry me?” hehehe...

Paling pede jaya berbahasa Prancis (dikompori oleh sedikit kekesalan karena kena todong ibu-ibu Cina untuk menolong membelikan tas Louis Vuitton buat dia) adalah di gerai Louis Vuitton di Champs Elysees. Keren banget gak tuh? Louis Vuitton, Champs Elysees. Trully on top of the world. Sialnya saya cuma turis miskin yang tiket ke Eropa pun dibayarin kantor (tapi puji Tuhan, udah nyampe Eropa... hahaha...). Dengan pede jaya (dicampur sedikit kesel), saya berderap masuk gerai LV itu, langsung mendatangi manajernya yang menyapa dengan bahasa Inggris, “May I help you?” dan saya jawab dengan bahasa Prancis (keren, gak tuh?), “Oui, vous savez ce sac blablabla (jenis tasnya).” Langsung si manajer jadi lebih ramah, “Oui, Madam.” Dia pergi mengambilkan tas itu. Saat transaksi, dia bertanya saya dari mana, saat saya bilang dari Indonesia, dia tidak percaya. “Je pense-que, vous-etes Philipine, Madam,” katanya. Wah ya deketan sih. Tapi lebih sedih lagi pas dia gak percaya saya belajar bahasa Prancis di Jakarta. “Emangnya ada les Prancis di Jakarta?” tanyanya. Gak sopan!

Soal bahasa ketiga, saya pernah gagal total memakainya---jelas saya tidak seberuntung si Daysann McLane. Di Bologna, Italia, saya ingin menanyakan jam keberangkatan kereta api. Masuklah saya ke konter informasi di stasiun, yang terdapat dalam suatu ruangan tersendiri. Bule-bule Italia di sana menatap dengan angker. “No English!” kata salah satu di antara mereka. Gleks. Saya pikir bahasa Italia mirip bahasa Spanyol, jadi meskipun bahasa Spanyol saya celemotan, saya beranikan diri untuk menggunakannya. Masalahnya kalau kita tidak yakin bahwa diri kita akan dimengerti, kita cenderung bicara dengan suara keras dan penekanan pada tiap kata. Plus gugup, jadilah celemotan meningkat ke belepotan. “Tengo que volver aqui...” Maksudnya, saya (tepatnya teman saya sih) mesti kembali ke Bologna situ setelah melawat ke Firenze beberapa jam, dan saya ingin menanyakan kereta balik dari Firenze jam berapa aja. Reaksinya, bapak-ibu Italia itu terdiam beberapa detik, lalu meledak terbahak-bahak. Reaksi saya? Merasa terhina, terhina, terhina.

Anyway, meskipun bahasa ketiga itu kayaknya perlu, apalagi kalau sampai kita ketemu situasi seperti yang dihadapi si Daysann McLane, tapi ada lho bahasa universal yang laku di mana-mana: nyengir kuda dan senyum manis. Asal sudah tersenyum manis, orang-orang yang kita ajak bicara pasti berusaha membantu. Selain itu, jangan lupa bahasa universal lain yang juga laku di mana-mana: bahasa Tarzan! Auooooooooooooo...

Kamis, 27 Oktober 2011

Nikmatnya jalan-jalan bersama batita

Jalan bareng batita tuh cihui banget loh! Soalnya mayoritas orang suka anak kecil. Anak kecil cukup tersenyum atau bersikap malu-malu, orang-orang langsung meleleh hatinya. Keuntungan dari hati yang meleleh itu banyak banget!

Yang paling sederhana aja, senyum lebar dan hangat dari orang-orang yang kita temui di jalan. Tangan-tangan yang terulur ingin bersalaman dengan anak kita. Ooo... bagaimana kita sebagai ibu si anak tidak ikut hangat hatinya? Mulai dari pramugara-pramugara ganteng sampai opa-opa gendut, semua jatuh cinta pada Mika dalam perjalanan kami ke Eropa dulu. (Sebenernya sih, mamanya yang pengin ikut salaman sama pramugara-pramugara ituuuuhh...) Mulai dari sekadar salaman, tiba-tiba Mika punya opa baru saat audiensi Paus di Vatikan. Mika bisa sampai tidur-tiduran di perut gendut si opa brewok. “Opa!” kata Mika. Si opa manggut-manggut senang, dan dengan bahasa Inggris terbata-bata berkata, “Yes, I'm Opa!” Maklum, si opa cuma bisa bahasa Jerman, dan tentu saja waktu itu Mika baru bisa bahasa bayi.

Bantuan-bantuan yang tidak diminta pun berdatangan. Saat audiensi Paus itu misalnya, seorang gadis Italia tiba-tiba mendekati saya dan bertanya, “Do you want an umbrella? For your baby?” Dipinjami payung saat matahari terik di atas kepala? Mau lah yaw! Di Paris lain lagi, dalam stasiun Metro, Mika tertidur dalam gendongan saya, sementara saya sendiri sudah capek dan ribet dengan bawaan lain. Tiba-tiba seorang noni Prancis yang baru saja melewati kami dengan langkah terburu-buru balik badan, lalu menjajari kami (juga dengan langkah terburu-buru). “Wait!” Dia memegang kaki Mika, lalu memperbaiki posisi kaus kakinya yang hampir copot. Lalu dia balik badan lagi dan berlalu begitu saja (tetap dengan terburu-buru).

Kebaikan hati ini merambah ke hal-hal yang menyangkut profesionalitas. Dalam antrean imigrasi di Dubai, petugas langsung memanggil saya, “Madam with the baby and the family!” Yes! Gak perlu antre panjang-panjang, kami langsung lewat imigrasi dengan mulus. Antrean lain yang kami potong juga adalah antrean peziarah di depan Gua Maria di Lourdes. “Madam with the baby!” Ahh... senangnya mendengar kata-kata wasiat itu! Di kantor pos di Roma kata-kata wasiat itu juga sempat terdengar, “Madam with the baby!” Dari segi profesional mungkin para petugas sudah dilatih untuk mendahulukan ibu-ibu dengan anak kecil, supaya si anak tidak rewel dan mengganggu orang lain, tapi dari hati... pasti para petugas itu juga tidak tega melihat si baby ikut mengantre lama-lama.

Tapi kebaikan hati yang benar-benar membuncah adalah saat pemilik toko bunga kering di Lourdes tiba-tiba berlari keluar dari tokonya yang baru kami tinggalkan sambil membawa boneka beruang. “Madam! Wait! It's for your baby!” Oooo... Padahal kami baru saja membuat dia terlambat menutup tokonya karena berbelanja begitu malam. Padahal kami cuma membeli dua kantong lavender. Hati bapak itu pasti selembut boneka beruang yang dia berikan untuk Mika. Semoga tokonya laris manis terus dan suatu hari nanti kami bisa bertemu kembali dengannya!

Makanan Surga

Omong-omong soal makanan... Makanan yang nggak pernah saya lupakan dalam perjalanan adalah burger. Sepotong burger jalanan yang kalau di Jakarta dijual oleh abang-abang dengan gerobak. Burger dahsyat ini sebenarnya bukan jatah saya, tapi suami saya, alhasil saya cuma kebagian segigit-dua gigit. Tapi, segigit itu sudah cukup untuk membuat saya ingin kembali ke Penang, Malaysia, sampai sekarang...

Penasaran?

Malam itu kami baru kembali dari Gurney Drive, yang digadang-gadang jadi pusatnya food stalls di Penang. Sayangnya, aneka makanan di sana kurang mengundang selera kami. Lokasi yang cukup jauh dari pusat kota tempat kami menginap, plus kondisi yang menurut selera kami agak jorok membuat makan di sana kurang nyaman. Apalagi ternyata porsi makanan yang kami pilih ternyata kurang besar. (Hehehe... jujur...)

Begitu turun dari taksi di depan hotel, suami melihat gerobak penjual burger itu, dan langsung memutuskan untuk memesan. Ada beberapa pilihan burger, tapi yang suami saya pilih adalah menu yang paling komplet, terdiri atas burger, telur, dan keju.

Maka mulailah abang burger menyiapkan hidangannya, sambil terus mengobrol seru dengan teman-temannya. Sebenarnya kalau di Jakarta menemukan abang jualan melayani kita sambil tetap mengobrol seru dengan teman-temannya, saya sering sebal. Rasanya si abang tidak melayani kita dengan sepenuh hati, gitu... hehehe... Tapi, cara si abang menyiapkan burgernya rupanya berhasil menghipnotis kami, sampai kami merasa obrolan si abang dengan teman-temannya sama sekali tidak mengganggu.

Daging burger yang dikeluarkan dari boks penyimpanan berbungkus plastik seperti daging burger di Jakarta. Tapi saat daging burger di Jakarta biasanya bulat tipis seperti ham (meski tidak setipis ham), daging di Penang ini gemuk, terbuat dari daging giling yang dicampur bumbu. Daging mulai digoreng di penggorengan dengan mentega banyak (membuat ngiler), langsung diberi bumbu kecap Inggris cukup banyak (semakin ngiler). Sementara menunggu bagian daging yang menyentuh penggorengan matang, si abang mengocok telur untuk telur dadar. Daging dipinggirkan dan di bagian penggorengan yang tersisa, telur dadar dibuat tipis seperti crepes. Daging lalu dibalik, dan kembali dikucuri kecap Inggris, garam, dan lada (aaaa... aromanya...). Daging yang matang lalu diletakkan di atas dadar, ditambahi keju, rajangan selada dan tomat, saus tomat dan sambal, lalu telur dadar dilipat menutup. Roti juga dipanggang sampai bagian putihnya menjadi kecokelatan. Lalu telur isi daging burger diletakkan di antara roti.

Sepanjang acara memasak dengan backsound obrolan itu, saya dan suami saya ngiler habis-habisan. Setelahnya, sambil tersenyum lebar, suami saya membawa kantong isi burgernya, menikmatinya sambil sengaja menggoda saya, dan pura-pura pelit waktu saya minta jatah. Tentu saja, saya jadi menyesal juga kenapa tidak sekalian memesan satu porsi tadi. Apalagi malam itu malam terakhir kami di Penang.

Rasa burgernya? Kalau proses memasaknya belum cukup untuk membayangkan rasa burgernya... Rasanya... surgaaaa... Dagingnya empuk, dengan gurih kaldu daging, sementara kecap Inggris-nya pas menambah rasa tidak berlebihan. Dadar telurnya tentu juga gurih dan nikmat. Mungkin satu-satunya masalah adalah burger ini benar-benar jatah makan besar, yang mengenyangkan. Nikmat dan mengenyangkan. Sayang juga, malam itu kami sudah makan lebih dulu di Gurney Drive...

Sabtu, 15 Oktober 2011

Makan Balita dalam Perjalanan

Salah satu penghambat utama saat mengajak anak balita jalan-jalan adalah makanan. Tidak semua lokasi wisata menyediakan makanan yang cocok bagi perut dan selera balita. Lebih repot lagi, tidak semua balita---kalaupun ada makanan yang cocok---mau makan! Bukan hanya si picky eater, tapi balita yang biasanya pemakan segala pun bisa saja mogok makan karena terlalu excited melihat tempat baru atau karena perjalanan yang lama dan jauh demi mencapai tempat wisata.

Anak saya lebih sering sulit makan karena terlalu excited itu tadi. Saat bepergian, saya mengusahakan membawa beberapa macam roti dan biskuit, alias kering-keringan yang bisa dipegang tangan kecilnya. Jadi sambil melihat-lihat ini-itu, tangannya terus bergerak ke mulut dan mulutnya terus mengunyah. Pemberian snack begini memberi dilema, karena saat jam makan besar, si anak jadi ogah makan karena perutnya penuh snack. Tapi... kita lagi liburan, kan? Yang penting perutnya ada isinya... hehehe...

Membawa perbekalan snack komplet pernah menyelamatkan liburan saya saat ternyata makanan yang tersedia di lokasi sama sekali tidak cocok buat anak kecil. Puji Tuhan, saya membawa sereal favorit si kecil, plus susunya sekalian. Jadilah acara makan anak di kamar hotel, bukan di ruang makan. Justru kebetulan yang pas, karena si kecil jadi bisa duduk diam makan sambil menonton acara TV kabel anak-anak, yang tidak ada di rumah.

Perbekalan ini juga jadi resep beberapa bunda yang saya wawancarai untuk buku-buku saya, Traveling with Tots (panduan untuk jalan-jalan bersama balita) dan Traveling with Kids (panduan untuk jalan-jalan bersama anak SD). Bunda yang “nekat” masih mau membawa kompor dan panci untuk memasak sendiri bagi anaknya. Tapi bunda yang lebih praktis juga membawa segala macam minuman sehat dalam kemasan, serta snack kecil dan berat. Utamanya agar perut si kecil tidak kosong. Dan kembali lagi, jangan terlalu keukeuh bahwa si kecil harus makan pada jam-jam tertentu. Longgarkan sedikit aturan di rumah, yang penting perut si kecil ada isinya! (Penting banget nih, sudah diulang sampai tiga kali... hehehe...)

Berikutnya, soal makanan sehat. Kalau di rumah mungkin kita punya aturan harus makan buah, harus ada sayur, dll dsb. Kembali ke “yang penting perut ada isinya”, sekali-sekali saat liburan izinkan anak menikmati junk food. Biar bagaimanapun itu jenis makanan yang paling mudah ditemukan di tempat wisata. Bila meragukan junk food sembarangan, ya kembalilah ke gerai junk food yang sudah tepercaya seperti burger A atau piza B. Salah satu bunda yang saya wawancarai pasrah memberi makan anak-anaknya piza saat liburan. Sebetulnya si bunda sedih juga tidak bisa wisata kuliner dan mencoba menu-menu unik daerah yang dia sambangi, tapi mau apa lagi... mau membiarkan anak kelaparan?

Bila ternyata tidak ada gerai junk food, justru pilihlah restoran rumahan. Atau pokoknya restoran yang kelihatan memasak makanannya langsung begitu dipesan. (Ada kan restoran prasmanan yang menyajikan makanan siap santan tinggal sendok.) Ada dua keuntungan restoran jenis ini: 1. Makanan disajikan fresh dari atas kompor, bukan entah dimasak kapan, 2. Kita bisa minta tolong dibuatkan menu sederhana khusus untuk anak. Menu sederhana ini bisa berupa sekadar telur dadar, pasta rebus, atau kentang goreng. Pengalaman saya paling keren saat makan di kawasan St. Germain di Paris. Waiter yang guaaaanteeeng dengan dagu biru itu mengangguk antusias, “It can be done!” (coba bahasa Inggris dengan aksen Parisian... aaaah), saat saya bertanya bisa nggak mereka membuatkan pasta rebus plus keju saja untuk anak saya. Sepiring (besar) pasta kerang muncul, ditambah saus tomat buatan sendiri, lagi! Membuat saya jadi merasa agak bersalah saat ternyata pasta itu nggak habis. (Iyalah... piring ukuran besaaaaar... sementara anak saya paling cuma makan tiga sendok!)

Terakhir, jangan lupa soal kebersihan! Bawa selalu hand sanitizer dan biasakan si kecil memakainya sebelum makan. Ingat, tempat wisata belum tentu menyediakan lokasi untuk bersih-bersih yang memadai (sering kali lokasi bersih-bersihnya justru kotor), belum tentu juga tersedia air bersih yang mengalir. Kalau hand sanitizer tidak ada, bisa juga gunakan tisu basah.

Oya, selain snack, jangan lupa juga selalu sediakan air putih, entah dalam botol yang dibawa sendiri (lebih ramah lingkungan) atau air mineral kemasan. Selain untuk diminum, air putih ini juga bisa untuk cuci tangan, sekiranya tidak tersedia air di lokasi wisata.

So, all in all tip-tip untuk memberi makan anak saat jalan-jalan:
* jangan maksa, tema utamanya adalah... Yang Penting Perut Ada Isinya
* bawa snack kecil dan besar
* bawa air minum
* jangan anti junk food
* minta tolong restoran untuk membuatkan menu sederhana
* jangan lupakan kebersihan

Happy traveling and eating with your kids!

Kamis, 06 Oktober 2011

Referensi Liburan

Buku-buku yang baik bisa jadi teman yang paling oke untuk mencari ilmu tentang liburan, tentu selain ranah maya yang sekarang ini telah menyediakan segalanya. Belakangan saya sempat membaca tiga buku tentang jalan-jalan yang meskipun gaya jalan-jalannya agak tidak mungkin untuk diterapkan dengan membawa anak-anak, tapi bisa juga memberi inspirasi.

Flashpacking Keliling Indonesia
Deedee Caniago
Gramedia Pustaka Utama

Berisi cerita sang penulis keliling Indonesia, gaya buku ini hip, gaul, dan modern banget. Deedee banyak menghadapi kesulitan saat bepergian, tapi rupanya bukan Deedee kalau lalu menyerah dan tidak bisa melihat sisi menyenangkan dari petualangannya. Sayangnya, pantai-pantai cantik yang diuraikan dalam buku ini agaknya memiliki jalan yang terlalu menantang bagi ibu beranak balita seperti saya. Pantai-pantai itu rata-rata dicapai dengan perjalanan berjam-jam dengan kondisi jalan yang ajaib, dan dengan fasilitas yang minim. Meskipun saya penganut “jalan-jalan minim”, tapi tingkat keminiman pun ada batasannya bila membawa anak. Tapi buku ini tetap sangat berguna bagi saya dari segi: 1) cerita yang seru dan lucu, membuat ngiler pengin pergi ke tempat-tempat yang dikisahkan Deedee, 2) ada bagian referensi penyedia tur yang cukup lengkap di bagian belakang buku yang bisa saya hubungi untuk menanyakan customized tour bagi keluarga dengan anak kecil 3) bagi destinasi yang terlalu ekstrem tingkat kesulitannya, saya jadi tetap mempunyai impian dan harapan suatu hari nanti saat anak saya sudah lebih besar, lebih dewasa dalam cara pikir, dan lebih kuat secara fisik, dia mau diajak ke sana.

Meraba Indonesia
Ahmad Yunus
Serambi

Ada unsur mau meniru Che Guevara keliling Amerika Selatan dengan sepeda motornya (The Motorcycle Diaries, sudah difilmkan juga dengan bintang *oh* Gael Garcia Bernal *keterangan ini penting gak seh?*) dua wartawan, satu senior---Farid Gaban, dan satu setengah senior---Ahmad Yunus, berangkat keliling Indonesia naik dua sepeda motor tua. Diawali dari Jakarta ke arah barat ke Sumatera lalu melingkar ke Kalimantan, Sulawesi, Ambon, Papua, lalu berakhir di Nusa Tenggara, mereka berdua berusaha mencari titik-titik paling terpencil dan paling sulit dicapai di negara ini. Perjalanan kurang-lebih setahun ini (diselingi beberapa kali kembali ke Jakarta untuk mencari tambahan biaya), mereka menyisiri pelosok paling jauh di negeri ini, bertemu orang-orang yang paling kesulitan, menggunakan alat-alat transportasi yang paling merakyat (selain sepeda motor), menjumpai pemandangan yang paling indah dan pengalaman yang paling murni. The grand scheme-nya luar biasa. Siapa pun harus cukup gila untuk menjalani petualangan ini. Sayang sekali Ahmad kurang detail bercerita. Sering kali Ahmad hanya menyebutkan “kami menginap di rumah tetua kampung A, mengobrol, lalu tidur.” Saya sebagai pembaca merasa, “What? What's the fun of that? Di mana asyiknya? Di mana serunya? Ngobrol terus tidur mah di rumah juga bisa.” Ahmad kurang mengeksplorasi kekayaan pengalamannya. Demikian pula saat bercerita tentang pemandangan tertentu di pulau terpencil mana, Ahmad kurang mengeksplorasi tulisannya. Padahal bila digambarkan dengan lebih detail mungkin bisa membuat orang lebih terpacu untuk mengunjungi pulau itu, dus lebih mengenal Indonesia. Dan terakhir, maafkan saya bila naluri editor muncul, tapi ya ampun... buku ini banyak sekali miss-nya! Mulai dari tipo sampai ke kalimat yang nggak nyambung. Jadi ya sudah, mari kita berfokus pada the grand scheme-nya saja...

Wonderful Europe
Aloys Budi Nugroho
Gramedia Pustaka Utama

Setelah bersusah-susah keliling Indonesia, meskipun yang pertama sambil hura-hura dan bersenang-senang tiada tara, sementara yang kedua susah beneran dengan idealisme tinggi, mari kita melongok ke negeri seberaaaaaaaaaaaang sono. Saya tertarik dengan buku ini karena tempat-tempat yang didatangi si romo (penulis buku ini adalah seorang pastor Katolik) nyaris tepat sama dengan tempat-tempat yang saya datangi dalam perjalanan Eropa saya tahun lalu, yaitu Paris, Lourdes, Roma. Tentu dengan variasinya. Buku ini mengulas tentang perjalanan si romo menjadi pembimbing rohani sebuah tur. Senangnya membaca perjalanan dengan menggunakan jasa tur, saya makin yakin memang gaya perjalanan yang paling pas bagi saya adalah mengatur sendiri. Dengan demikian saya bisa puas menikmati apa pun yang ingin saya nikmati saat jalan-jalan itu. Sedihnya, tentu saja saya jadi tahu ada lumayan banyak juga yang miss dengan gaya jalan saya yang independen itu. Misalnya di Roma saja saya tidak sempat ke tiga basilika besar selain Basilika St. Petrus. Saya juga tidak sempat berputar mengunjungi biara St. Bernadet di Nevers. Meskipun demikian saya lumayan bangga bisa sampai ke Kapel Medali Wasiat di Paris, meski sambil menggendong anak dan pakai jalan 1,5 km, hohoho... Pelajaran dari buku ini bagi saya: sebelum berangkat ke satu tempat, riset riset riset riset lagi. Pastikan tempat-tempat menarik mana yang mau didatangi biar nanti pas pulang tidak menyesal!

Kamis, 08 September 2011

Ciater

Ini cerita perjalanan bulan Oktober 2010 lalu...

Ceritanya suami saya akhirnya memutuskan untuk cuti sejenak dari kantornya. Pilihannya, menginap dua malam di Ciater Resort & Spa. Pikirannya, enak toh semua sudah ada, baik taman rekreasi sampai ke kolam air panas.

Kami mulai perjalanan bermobil dari Jakarta sudah cukup siang, sekitar pukul 08.00. Si kecil duduk aman dalam carseat-nya, dan lumayan menikmati pemandangan. Sekitar pukul 11.00, kami berhenti di rest area dan brunch di salah satu restoran Padang di sana. Enak juga, meskipun mahal. Si kecil makan cukup banyak. Setelahnya si kecil tidur di carseat-nya, jadi perjalanan berlangsung aman terkendali. Masuk Bandung, kami mulai bingung mencari jalan. Suami selalu mengandalkan saya untuk jadi navigator di Bandung, dengan tuduhan saya kan sejak kecil bolak-balik ke sana. Penjelasan bahwa saya tinggal duduk enak dalam mobil tante/sepupu/adik, tidak pernah diterima suami * sigh *. Untung papan penunjuk jalan berwarna hijau itu masih bisa cukup diandalkan untuk memberi arah ke Lembang, lalu Ciater. Meskipun lebih banyak menunjukkan arah ke FO ini atau tempat outbound itu.

Alhasil, kami berhasil mencapai hotel sekitar pukul 14.30. Setelah meletakkan bawaan dalam kamar (kamar suite dengan tempat tidur queen, TV kabel, dan kamar mandi dalam---bersih meskipun agak basah), kami mengeksplorasi tempat. Tujuan utama ke Ciater adalah berendam air panas, jadi yang utama kami cari adalah lokasi kolam-kolamnya. Salah satu kolam (Cinangka) berhubungan dengan restoran tempat kami mendapat welcome drink. Jadi sembari menikmati welcome drink itu, kami menyusun rencana. Sempat juga si kecil (dan emaknya) naik kuda dulu keliling sampai ke resort sebelah. Sayangnya, rupanya si kecil (emaknya juga) agak takut juga naik kuda yang tinggi di jalanan yang kurang rata, jadi dia ribut minta kembali “ke papa”.

Usai naik kuda dan istirahat, kami langsung nyebur ke kolam Cinangka tersebut. Bwah, enaknya mencelupkan diri ke kolam berair panas alami itu! Otot dan tulang langsung lemas semua. Si kecil sibuk main mobil-mobilan (lampu mobil polisinya sempat pecah, untung bisa minta selotip ke resepsionis hotel!). Tapi tak lama kemudian si kecil mulai ribut. Rupanya matanya pedas kemasukan air berbelerang. Sibuklah mamanya menyuruh dia tidak mengusap mata. Sia-sia, wong mata perih kok nggak boleh dikucek!

Makan malam di restoran di dekat kolam tersebut, sayangnya kurang memuaskan. Antara rasa dan ukuran porsi sama sekali tidak sebanding dengan harga yang selangit. Untung kembali ke kamar, Mama bawa sereal dan susu berkotak-kotak. Jadi, si kecil duduk manis makan sereal sambil nonton saluran TV Jim-Jam. Cuaca kurang bersahabat.

Pagi setelah sarapan di restoran tersebut lagi (kembali sarapan gagal, dan si kecil makan perbekalan dari rumah), kami mengeksplorasi taman rekreasi. Sayangnya hujan rintik kembali turun. Akhirnya si kecil cuma naik kereta-keretaan. Kami lalu memilih naik mobil untuk mencari makan siang di luar hotel.

Waks! Si kecil muntah habis-habisan! Mungkin karena jalanan gunung yang meliuk-liuk. Mungkin juga karena perutnya kurang diisi dengan benar sejak semalam. Gawatnya, karena merasa hanya pergi sebentar, mamanya tidak bekal banyak baju ganti! Di restoran ayam goreng di Lembang pun, si kecil masih muntah-muntah. Setelah itu juga dalam perjalanan kembali ke hotel. Huaaaaaa... kasian kau, nak!

Malamnya, karena hujan terus, rencana kembali berendam di kolam air panas pun batal. Huaaa...

Keesokan paginya, kami mengisi perut si kecil kembali dengan sereal bekal dari rumah. Setelah itu, kami masih menyempatkan diri untuk kembali berendam di kolam. Rugi dong jauh-jauh ke Ciater kalau cuma berendam sekali! Sayangnya, cuaca yang justru panas membuat berendam rasanya jadi berbeda dengan waktu berendam sore-sore pertama datang itu. Berendam siang-siang ini panas dan kurang nyaman!

Perjalanan pulang, si kecil kembali muntah-muntah di jalan. Perut dan kaki sudah digosok minyak kayu putih, tapi rupanya tidak banyak membantu kondisinya. Saat akhirnya kami berhenti di rest area untuk makan, si kecil bisa makan. Tapi, kembali muntah begitu kami melanjutkan perjalanan. Huaaa... sedihnya...

Sampai di rumah, rasanya malah jadi capek. Trip kali ini membuktikan kata orang: pergi dengan anak kecil malah membuat orangtuanya merasa butuh liburan lagi begitu sampai di rumah. Huaaaaaaaa...

Road trip singkat bersama balita:
* Anak balita lebih baik naik kuda poni saja. Kalau yang tersedia kuda “biasa” yang tingginya sekitar 1,5 meter, lebih baik beri pengertian anak untuk tidak naik. Atau kalau anak memaksa atau menangis minta naik kuda, mintalah trayek yang singkat, tidak usah jauh-jauh. Atau pastikan mereka memang pemberani!

* Jangan pernah lupa bawa selotip. Multifungsi banget! Sama seperti tisu basah---errr... dengan fungsi-fungsi yang berbeda, tentu saja.

* Kalau kurang yakin dengan kualitas makanan yang disajikan hotel atau kemungkinan bisa kesulitan mencari makan, bawa bekal banyak-banyak.

* Selalu sedia minimal dua stel baju ganti anak balita di mobil untuk road trip.

* Biskuit kering, air putih, dan minyak hangat-hangat untuk anak yang muntah.

* Jangan paksakan untuk langsung melanjutkan perjalanan selesai makan. Jalan-jalanlah dulu sebentar untuk menurunkan makanan.

* Kalau perlu beri anak obat antimual seperti Antimo Anak atau Tolak Angin Anak.

* Cuaca, cuaca, cuaca. Selidiki betul cuaca yang akan dihadapi di tempat liburan. Hujan bisa merusak segalanya dan memaksa kita tinggal terus dalam kamar hotel. Hiks.

Rabu, 07 September 2011

Bersama anak di rumah

Libur Lebaran baru lewat. Apa saja kegiatan Anda bersama anak selain mengunjungi dan bersilaturahmi ke keluarga besar? Ke mal? Ke mal lagi? Absen mal di Jakarta? Memang sih sudah jutaan orang yang menyesali lanskap Jakarta yang tidak menyisakan ruang terbuka hijau atau hiburan murah-meriah bagi penduduknya, sehingga orangtua sering bingung mau membawa anaknya ke mana lagi selain ke mal. Bukan hanya saat libur Lebaran, tapi juga di tiap week-end. Tapi kalau tidak bisa keluar rumah, kenapa tidak di rumah saja?

Bukan berarti terus membiarkan anak njogrok di depan TV bersama saluran kabel, film DVD, ataupun game. Bukan juga terus membiarkan hidung anak menancap pada Ipod, dll.

Memang sih orangtua yang bekerja sering kali penginnya anak duduk diam dan tidak ngerecokin. Tapi, bukan berarti terus anak jadi diberi Ipod/TV dan dibiarkan diam saja, kan? Anak itu senang sekali kok kalau orangtuanya berkegiatan bersama dia, apa pun kegiatannya. Kalau kegiatan itu berbentuk bermain bersama dia dengan mainan dia, kesenangannya pasti berlipat-lipat. Tapi, bukan berarti anak tidak bisa diajak berkegiatan lain.

Berikut beberapa kegiatan di rumah yang mungkin agak aneh, tapi bisa dilakukan untuk menghabiskan waktu bersama anak, terutama saat liburan dan di akhir pekan:
1. Membersihkan rumah. Pembantu mudik dan tidak dapat infal? Jangan mau jadi upik abu sendirian, berdayakan anak! Kegiatan favorit anak adalah yang berhubungan dengan air, jadi ajari dia mencuci sepatunya sendiri (sandal/sepatu karet yang lagi ngetren sangat mudah dibersihkan dengan air dan sedikit sabun) atau ajak dia mencuci mobil. Berikutnya anak juga bisa diajari mencuci piring (mungkin mulai dengan piring melamin atau piring makannya sendiri dulu, bila takut perangkat makan pecah). Lalu ajak dia mencuci jendela. Kegiatan mencuci jendela dengan seember air dan koran bekas sangatlah menyenangkan. Biarkan anak mencuci jendela sebelah bawah, sementara Anda membersihkan sebelah atas. Masih bermain air, minta anak menyiram tanaman di halaman. Anak juga bisa diajari mengepel lantai. Bila kuatir hasilnya kurang bersih, bisa beri dia jatah “sepetak pel”, misalnya pojok kamar bermainnya sendiri. Mulailah dengan gaya ringan dan “bermain”, misalnya, “Hari ini kita main rumah-rumahan yok! Bantuin Mama cuci piring ya!” sehingga anak merasa kegiatan mengurus rumah menyenangkan. Jangan mulai dengan “Duh, kerjaan kok nggak ada habisnya sih! Ayo, sekarang tugas kamu bantuin Mama!” Siapa pun pasti malas bila ajakannya seperti itu. Pujilah hasil pekerjaan anak, sehingga dia senang serta bangga, dan lain kali tidak ragu-ragu untuk diminta bantuannya. Anak belajar soal kebersihan dan keteraturan rumah, tanggung jawab, dan harga diri serta kepercayaan diri.

2. Membuat kue. Carilah resep kue yang mudah dan tidak membutuhkan banyak alat, terutama untuk anak yang masih balita. Takutnya bila menggunakan peralatan seperti blender atau mixer, anak bisa terluka, padahal anak paling senang ikut mencampur bahan kue. Orangtua bisa saja melakukan mixing ini, tapi anak pasti kecewa. Jadi, carilah resep yang bisa dicampur dengan tangan atau dengan sendok/spatula. Salah satunya adalah resep bola-bola cokelat (biskuit marie dihancurkan, dicampur susu kental manis, dipadatkan lalu digulingkan pada meses) dan donat (mencampur bahan tidak perlu dengan alat, tapi diuleni dengan tangan saja, selain itu anak bisa mencetak bentuk-bentuk donat).

3. Bubur kertas. Berdayakan kertas bekas seperti tagihan kartu kredit, struk belanja, koran dan majalah bekas menjadi bubur kertas. Anak diminta merobek-robek kertas dan meremas-remasnya dalam air hingga menjadi bubur. Anak mengembangkan motorik halusnya lho. Hasilnya bisa dibuat kertas daur ulang (dicampur dengan lem) yang bisa digunakan sebagai kertas kado atau dibentuk bola-bola atau bentuk lain yang lucu sebagai mainan. (Ingat waktu SD pernah buat prakarya peta Indonesia dari bubur kertas dan cat minyak.)

4. Menata foto. Foto-foto liburan keluarga kemarin belum disusun? Ajak anak menempel foto pada album atau scrapbook dan menambahkan komentar-komentar atau cerita singkat pada foto itu. Anda melatih ingatan anak dan mengembangkan kecerdasan visual-spatial serta matematikanya (kronologi).

5. Kataloging. Masih soal menata dan merapikan, ajak anak menata buku-buku atau DVD yang dimilikinya, mencatat judul/pengarangnya dan menyimpannya dalam urutan tertentu, alias membuatkan katalognya. Kegiatan ini bisa terasa membosankan bagi anak yang aktif, jadi Anda harus mengira-ngira mood anak dan mengganti kegiatan bila si kecil terlihat bosan.

6. Piknik. Piknik di rumah, kenapa tidak? Sepetak kecil halaman atau carport pun bisa jadi lahan piknik yang asyik. Tidak usah belanja, tapi berdayakan isi kulkas dan sisa makanan. Hangatkan makanan sisa tadi malam dan masukkan dalam wadah-wadah lucu atau bila ada piring/gelas kertas. Tidak punya sirop? Buat saja es teh manis. Tidak punya tikar? Gunakan koran bekas sebagai alas duduk. Sambil piknik, orangtua bisa mengobrol santai bersama anak, atau memainkan permainan tanpa alat seperti cerita bersambung yang santai sampai petak umpet atau lompat tali yang lebih menguras tenaga.

Rabu, 24 Agustus 2011

Ke Museum Bareng Balita

Bisa kok! Tapi dengan catatan... hehehe... seperti biasa selalu ada udang di balik bakwan.

Sekarang temanya apa dulu nih? Ibunya mau menikmati karya seni dan benda sejarah atau anaknya mau diajak senang-senang?

Kalau temanya adalah “acara Ibu”, ya pilihlah saat pergi ke museum pas anak sudah beres semua. Artinya anak sudah makan, sudah tidur, dan kemungkinan besar tidak akan cranky dalam museum. Siapkan juga stroller atau gendongan untuk anak batita, sehingga si kecil gak keluyuran ke mana-mana dan ibunya bisa menikmati museum. Siapkan juga snack dan minuman buat si kecil, dengan catatan dinikmati di luar ruangan pajang museum, karena siapa tahu makanan yang dimakan di dalam ruang meninggalkan ceceran kue yang bisa membuat benda-benda pajang di sana jadi rusak. Siapkan juga kertas gambar dan pensil warna atau buku cerita, yang bisa menyibukkan si kecil sementara ibunya menyimak koleksi museum. Dan, biar bagaimanapun, mengajak balita ke museum tidak bisa lama-lama. Balita cepat bosan, dan belum bisa mengerti betul apa bagusnya sih keramik tua di pojokan itu?

Kalau temanya “acara anak”, ini dia serunya! Ibunya bisa mencari museum ramah anak. Artinya museum yang temanya menarik bagi anak, menyediakan pajangan yang bisa disentuh, juga menyiapkan kegiatan interaktif yang menarik. Jelas bukan jenis museum yang sekadar datang dan melihat saja. Anak balita kan senang untuk praktik langsung, dan memegang ini-itu.

Mika sudah memasuki beberapa museum, termasuk dua mahamuseum di dunia ini, Louvre dan Musei Vatikani (err... yang satu dia lari-larian di lapangannya, yang lain dia tidur di sepanjang museum). Tapi, dia justru paling gembira di dua museum di Jakarta ini: Museum Polisi dan Museum Layang-Layang. (Dia juga senang di Museum Bank Mandiri, tapi karena ada kuda-kudaan dan perosotan di halaman museum, jadi irelevan dengan tema museumnya.)

Tengah Juni 2011 lalu kami ke Museum Polisi. Begitu masuk halaman parkir Mabes Polri-nya saja Mika sudah heboh karena ada mobil polisi di mana-mana. Begitu sampai di depan museumnya, ada helikopter! Helikopter! Helikopter polisi asli, sodara-sodara! Bayangkan betapa pentingnya benda itu bagi anak laki-laki umur tiga tahun. Langsunglah si kecil naik untuk memegang langsung helikopter itu. Setelah memasuki ruang museum, kehebohan belum berakhir. Pertama-tama, kami ketemu sama ibu-ibu polisi yang ramah-ramah (polisi sungguhan, wow!), lalu ada mobil polisi yang boleh dimasuki! Mika langsung masuk mobil polisi itu dan memegang-megang semua peralatannya. Asyik! Di lantai dua, ternyata ada pojok khusus yang disediakan untuk anak-anak. Isinya permainan detektif-detektifan, mobil-mobilan (seperti mobil yang di kereta belanja Carrefour dan Giant), juga perangkat komputer. Akhirnya kami nguplek di sudut itu, karena Mika tidak mau turun dari mobil-mobilannya. So, dari sudut tema oke, pajangan boleh sentuh oke, kegiatan interaktif... mungkin anak umur tiga tahun belum bisa main detektif-detektifan, tapi tersedia, jadi oke. Yap, Museum Polisi adalah museum ramah anak.

Tengah Agustus 2011, kami ke Museum Layang-Layang. Penasaran dengan promosi dan cerita yang gencar, dan tidak sabar kalau harus menunggu ikut kunjungan sekolah, saya memutuskan berangkat sendiri bersama Mika. Jadi sepulang sekolah kami mampir ke sana. Begitu masuk, ternyata kami disuguhi dulu film tentang layang-layang. Mika tidak terlalu excited dan bolak-balik mengajak “lihat layang-layang”. Setelah masuk ke bangunan museum yang berupa rumah Jawa, Mika mulai gembira melihat-lihat berbagai bentuk layangan. Tapi tentu saja dia tidak sabar mendengarkan keterangan dari bapak guide. Jadi acara melihat-lihat bagian dalam museumnya hanya terjadi sekilas pandang saja. Mika baru benar-benar gembira saat praktik membuat layangan. Kertas yang sudah dicetak gambar bisa diwarnai oleh Mika, lalu si bapak guide yang baik hati itu memasangkan benang layangan dan rusuk layangan dari batang lidi. Mika juga diajari menerbangkan layangan kertas kecil itu. Senang sekali dia lari kian kemari di halaman museum yang lumayan luas. So, untuk museum ini untuk tema menarik bagi anak oke. Pajangan boleh sentuh... errrm... meskipun layangan yang tersedia boleh disentuh, tapi saya tetap melarang Mika pegang-pegang, takut badan layangan yang rata-rata dari kertas tipis itu jadi sobek, mengingat dia belum bisa mengukur tenaganya. Dan kegiatan interaktif... berhasil banget! Mika senang sekali membuat layangan dan mencoba menerbangkannya. Meskipun kecil dan terbuat dari kertas HVS yang cukup tebal, ternyata layangan praktik ini bisa terbang lho!

All in all, bisa kan anak-anak balita diajak ke museum? Yang penting pilih museum yang tepat, supaya si anak bisa menikmatinya juga.

Museum Polri: Mabes Polri Blok M, gratis
Museum Layang-Layang: Jl. H. Kamang, Pd. Labu, Rp10.000 (nonton film, guide, praktik membuat layangan. Terdapat berbagai paket menarik lain seperti membatik, membuat keramik, dll dengan harga bervariasi)

Senin, 15 Agustus 2011

Anak ilang

Nightmare semua orangtua: anaknya ilang. Bener loh, terkadang kalo si anak lagi berulah kita pengin banget anak itu ilang sekalian. Kalo ada orang lewat mau ngambil silahkeun, sumonggo, jangan malu-malu... Tapi, kalo ilang beneran? Wuih, nangis!

Waktu bikin buku “Traveling with Kids” (will be out soon, yay!) bareng Rully Larasati, tiap berapa alinea, gue menulis “dan jangan lupa lirik tip supaya anak nggak ilang di Bab 6”. Alhasil info tentang tip anak ilang ada di Bab 6 muncul di tiap bab, dan akhirnya supaya nggak bikin boring beberapa info ini dipangkas... hehehe... Tapi, kesimpulan kami (gue dan Rully) adalah kami takut banget anak kami ilang.

Mengingat memang banyak kejadian aneh bin mengerikan seperti anak yang udah cukup besar lagi nunggu di depan wc tempat mamanya pipis kok ya bisa ilang juga, anak yang lagi-lagi udah cukup besar ternyata dikerjain di dalem wc padahal papanya nunggu di pintu wc, anak yang ilang lalu ketemu lagi ginjalnya udah raib... dan semua itu terjadi di tempat-tempat wisata yang cukup kondang, gimana caranya kita jadi nggak males berwisata, coba?

Tapi, buat orang jenis gue, gimana gak berwisata, coba? Kalo udah lama gak jalan-jalan badan rasanya gimana gituuu... Di otak adanya cuma “pengin pergi, pengin pergi, pengin pergi...” (meskipun sering kali gak keturutan juga). Waktu diwawancara Cosmo itu, tip terakhir gue adalah “orangtua mesti berani dan fleksibel”. Tapi pas mendengar soal kehilangan anak-kehilangan anak ini, nyali siapa juga yang nggak ciut?

Mariii kita pompa lagi keberanian kita dengan pertama-tama berdoa! Kayaknya simpel, tapi masalah culik-menculik, hipnotis-menghipnotis, dan hal-hal jelek lainnya cuma bisa kita pasrahkan pada Tuhan. Tujuan kita jalan-jalan kan baik (bersenang-senang dong tentu saja! Tentu plus-plus mempererat tali kasih dalam keluarga, menambah pengetahuan, memberi pada masyarakat sekitar, menambah devisa negara, dsb dsb dll dll), pasti gak mau yang jelek-jelek dong. Jadi, asal kita udah well prepared, serahkanlah semuanya pada Tuhan.

Bagaimana dengan well prepared-nya? Berikut beberapa tip yang lengkapnya bisa dilihat di “Traveling with Tots” dan “Traveling with Kids”. Pertama-tama (seneng amat sih gue pake kata ini...) kita mesti udah riset soal tempat yang mau kita datangi. Tahu lokasinya kayak apa dan situasi kayak apa yang bakal kita temui di sana. Misalnya mau mengunjungi Dufan, kita mesti udah punya gambaran kira-kira luasnya bagaimana, syukur-syukur udah pernah ke sana dan bisa mengira-ngira petugas yang bisa dimintai bantuan ada di mana aja. Demikian pula kalau mau ke tempat wisata lain, misalnya pantai atau rumah ibadah. Kalau sukanya pergi ke off the beaten track, misalnya ke pantai yang sepi dan gak ada orang yang tahu, tetap sih kita udah mesti prepare kira-kira gambaran situasi yang bakal kita temui di sana gimana, siapa yang kira-kira bisa dimintai tolong. Soalnya pergi bawa anak, bo!

Kedua, kembangkan bakal narsis anak sejak dini: fotolah dia begitu sampai di tempat wisata itu. Jadi kita punya fotonya yang paling update hari itu, sehingga sekiranya dia terpisah dari kita, foto itu bisa ditunjukin ke orang lain untuk minta tolong.

Ketiga, untuk anak yang masih kecil (balita), boleh dipakaikan baju yang spesifik banget, misalnya warnanya norak atau kaus yang ada namanya. Kan sekarang banyak tuh tukang bordir nama atau jait kain felt di ITC. Bisa juga dipakaikan name tag, kalung, atau penanda lain yang berisi informasi nama anak dan ortu serta alamat. Atau kalau anak ogah dipakaikan benda-benda itu, kata Lonely Planet, tulis aja info tersebut di tangan atau perut si anak dengan spidol. Gue pribadi kurang setuju sih sama pemberian info detail ini, soalnya kalo ndilalah si anak beneran diculik, (knock on wood!!!) jangan-jangan info malah digunakan si orang jahat. Tapi, kembalilah ke step awal banget tadi kali ya: pasrah sama Tuhan dan ingat niatan kita baik... hehehe...

Tiga, jangan pernah lepaskan anak dari pandangan kita, dan suruh dia gak boleh jauh-jauh. Bagi tugas sama pasangan (atau siapa pun yang pergi sama kita) untuk menjaga anak. Jangan dua-dua orang dewasa sama-sama antre tiket atau beli makan dan si anak pecicilan ke mana-mana. Demikian pula kalau anak tiba-tiba ilang, bagi tugas dengan pasangan untuk mencari. Dan jangan dua-duanya mencari, tapi satu tunggu di meeting point, yang lain keliling. Kalau ada tempat berbahaya (jurang, sungai, kandang singa) carilah ke tempat-tempat itu dulu.

Empat, perhatikan keinginan anak dan sebisa langsung penuhi. Masalahnya gini, orangtua tuh sering ya bilang ke anak, “De, kalo mau pipis bilang Mama ya, nanti langsung Mama anterin ke wc.” Eh, pas si anak pengin pipis, mamanya lagi seru milih suvenir dan nyuruh anak nunggu. Padahal anak kecil biasa bilang mau pipis kalo udah kebelet banget, akhirnya dia memutuskan untuk pergi sendiri ke wc dan meninggalkan mamanya yang lama. Kalo takut si anak (balita) pergi sendiri, baik kenakanlah child safety harness kepadanya, jadi dia gak bisa ke mana-mana karena tali anjingnya dipegang si mama. Tapi, kalo takut dibilang gak berperi keanakan di Indonesia, yasud, lupakan dulu si suvenir dan antar si anak ke wc.

Dan akhirnya, untuk anak yang sudah besar terutama, tapi bisa juga untuk balita, kalau terpisah dari ortu, minta mereka menemui orang berseragam. Bisa seragam pelayan, bisa juga satpam. Biasanya mereka orang “benar” dan mau dimintai tolong.

Oh-oh-oh, dan ingat saran ortu kita dari jaman dulu yang mesti kita sampaikan ke anak-anak: jangan pernah ngomong sama orang asing!!! Kenalan sama orang asing itu asyik, tapi nanti kalau si anak udah punya KTP sendiri ya, alias sudah 18 tahun ke atas!

Jadi, mari kita pompa keberanian kita, berdoa, dan selamat jalan-jalan!