Rabu, 30 November 2011

Day 3 Belitung November 2011

Bagian 3 dari 4 tulisan

Day 3: Laskar Pelangi

Pagi-pagi kami berangkat ke Belitung Timur. Perjalanan memutar dulu ke utara, via Bukit Berahu yang belum sempat kami kunjungi kemarin. Di tengah jalan kami memotret pohon unik yang cabangnya membentuk siku-siku, sehingga pohon seperti trisula atau garpu. Kak Neli heran, apa lucunya memotret pohon begitu, tapi kami sih antusias melihat pohon unik seperti itu. Kami bahkan lebih antusias lagi saat diberitahu itu pohon durian. Sedang musim durian di Belitung, yihaaa!!! Sedang musim manggis dan rambutan juga. Sayangnya, sampai pulang akhirnya kami tidak sempat makan durian, karena tiap kali selesai makan rasanya kenyaaaaang sekali... Perut tidak muat lagi untuk disisipi durian. Tapi, saya sempat membeli 4 renteng manggis isi 10 buah untuk dibawa pulang ke Jakarta. Satu rentengnya Rp6.000 saja!

Kami juga sempat mampir di Rumah Batik. Butik kecil ini menjual batik-batikan ala Jawa, jadi harapan kami menemukan tekstil asli Belitung pupus sudah. Ada batik print motif daun simpor, tapi itu kain modern hanya motifnya saja yang mengambil benda khas Belitung. Akhirnya kami membeli kaus saja (Rp60.000), gantungan kunci, dan kartu pos---yang fotonya dibuat oleh kakak si penjaga toko.

Bukit Berahu ternyata tidak terlalu cantik. Tapi teluk ini mempunyai cottage yang lokasinya persis di depan pantai. Tapi pantainya sendiri ombaknya agak besar dan airnya dalam, jadi kurang seru juga buat main. Selain itu pohonnya rimbun, sehingga sampah meskipun hanya daun kering, rasanya agak mengganggu. Sebetulnya seru juga sih membayangkan menginap di sana (hanya Rp250rb per malam), tapi kata Kak Neli, pelayanan di cottage itu kurang bagus, ada tangga tinggi dan lumayan terjal yang menghubungkan barisan kamar dengan kantor dan restoran di atas tebing, dan pelayan katanya malas turun ke bawah sana. Utamanya karena masalah UMR juga sih, kata Kak Neli. Tante bilang, kalau tamu mau kasih tip tiap pesan sesuatu dari atas mungkin pelayan tidak malas turun-naik. Tapi saya bilang, kalo tiap pesan minum atau handuk saja mesti ngetip bisa bangkrut si tamu, bukan begitu?

Jalan dari dan ke Bukit Berahu melewati kampung penduduk, tempat dibuat penganan oleh-oleh seperti kerupuk, pilus, dan terasi. Tapi kami tidak mampir. Jalanan ini juga melewati kampung nelayan Bugis. Selanjutnya perjalanan sungguh panjang dan agak monoton. Kami melewati hutan (Kak Neli menunjukkan pohon ini dan itu, termasuk pohon simpor yang daunnya untuk bungkus makanan, sukun, durian, dll. Kami juga ketemu monyet.), tambang timah yang masih aktif maupun yang sudah mati, kampung Bali yang komplet dengan pura dan para dewa yang gede-gede banget. On and on and on... Ditingkahi soundtrack, “Mika mau ke pantai... Mika mau ke pantai...” yang membuat perjalanan jadi terasa makin panjang.

Hampir jam satu siang, kami baru sampai di Manggar. Saya sudah hampir pengsan kelaparan. Kak Neli membawa kami makan di warung-restoran nasi ayam. Hidangan sederhana nan unik ini hanya terdiri atas nasi gurih diberi taburan ayam suwir dan bawang goreng serta acar, dengan pelengkap kuah isi 3 bakso ikan. Entah karena lapar, entah karena memang gurih banget, hap-hap-hap, nasi ayam yang nikmat itu pindah masuk perut dengan cepat.

Kami lalu keliling-keliling Manggar. Kak Neli menunjukkan sekolahnya Yusril Ihza Mahendra, sekaligus rumahnya. Kami juga sampai ke Pantai Manggar, tapi karena Kak Neli bilang airnya dalam, dan kami tidak mau mengambil risiko anak jongkok di pasir lagi, kami tidak turun.

Oya, sebelumnya kami sempat mampir di Vihara Dewi Kwan Im. Vihara ini sebenarnya biasa saja, dan kami bahkan tidak berhasil menemukan patung si dewi. Di belakang vihara juga terdapat pantai, dan kami juga tidak turun di sana.

Setelah pantai Manggar, kami mendaki Bukit Satam. Di puncaknya, kata riset internet dan bacaan, ada rumah Belanda yang dijadikan restoran. Tapi saat sampai on the spot, rumah itu sudah tidak berbentuk rumah Belanda lagi. Gak seru ah! (Mungkin dalam hati Kak Neli bilang, “I told you so! Gak percaya seeh...” hehehe.)

Turun bukit, kami langsung menuju Gantong, lokasi LP. Tiba di Gantong, Kak Neli membawa kami ke tempat bangunan sekolah Muhamadiyah yang untuk syuting (bangunan baru). Lahan luas di sekeliling bangunan sekolah rupanya diperuntukkan untuk tanam ulang atau reboisasi karena pohonnya masih muda-muda. Di lahan itu juga ada dua rumah kayu berbentuk rumah adat Belitung (nb: di mana-mana di Belitung masih ada rumah adat kayu ini loh...) yang kata Kak Neli diperuntukkan bagi perpustakaan yang janji Andrea Hirata akan didirikannya dengan royalti LP.

Setelah foto-foto, kami lanjut ke Bendungan Pice. Di bendungan bangunan Belanda ini, saya tidak ikut turun sampai ke bendungannya. Biasa, takut kecebur... hehehe... Foto-foto sebentar, kami melanjutkan perjalanan. Kak Neli menunjukkan rumah Andrea Hirata, tapi kami tidak turun. Kami berhenti di lokasi bangunan sekolah Muhamadiyah LP yang asli. Bangunan ini pun sudah dipindahkan dari lokasi aslinya. Bangunan tampak doyong dan tidak terawat. Bahkan kotor. Sayang juga ya, kok tidak dirawat, padahal mungkin banyak fans LP yang pengin melihat sekolah LP yang asli.

Tidak lama di sana, kami lanjut perjalanan pulang. Perjalanan pulang lebih cepat karena langsung menuju Tanjung Pandan, tidak memutar lagi. Sebagai catatan, jalanan seputar Pulau Belitung ini beraspal mulus, bahkan di wilayah yang supersepi sekalipun. Jalanan pun sepi dari kendaraan lain, jadi serasa pemilik pulau deeeeh... hehehe...

Tiba di Tanjung Pandan, memenuhi keinginan anak, kami singgah di Tanjung Pendam, pantai yang berada dalam kota Tj. Pandan. Sayangnya, ini satu-satunya pantai yang mengecewakan di Belitung. Pantainya kotor, banyak sampah, WC-nya bau. Dan meskipun airnya sedang surut, tapi luasan pantai dipenuhi lubang sarang kepiting-kepiting mungil. Saat saya melangkah ke arah air, kepiting-kepiting itu keluar semua dari liangnya dan berlarian panik di depan saya. Hiiii geliiii... Selain kepiting, banyak juga kerang kerucut dan gundukan sarang ulat. Hiiiii geliiiii...

Usai sunset yang tidak terlalu spektakuler karena mendung, kami kembali ke hotel untuk mandi. Ealah, mendung berubah jadi hujan luar biasa besar. Sialnya, satu-satunya kekurangan hotel kami, tidak ada telepon di kamar! Sampai jam 7 lewat kami terjebak di kamar. Akhirnya saya benar-benar mau pengsan kelaparan lagi, dan Tante menelepon Kak Neli untuk minta tolong agar dipinjamkan payung dari hotel.

Ealah, begitu masuk mobil, hujan jadi rintik lalu berhenti. Karena saya ingin makan kepiting (yang terbayang sih kepiting rebus atau goreng mentega gitu...), Kak Neli membawa kami ke Diva, warung-restoran Cina yang menyediakan kepiting. Menunya sih standar rumah makan Cina di mana-mana, tumis-tumisan, goreng-gorengan. Akhirnya kami memesan sup jagung kepiting, pampi goreng kepiting, dan sapo tahu. Pampi ini unik, kata Kak Neli, pampi itu kwetiaw. Terbayang dong kwetiaw tipis-tipis seperti yang di Jakarta, taunya bentuknya adalah bakmi tebal seperti udon. Kepiting yang disertakan dalam pampi goreng ini masih dalam bentuk capit utuh, sehingga puas menggigitnya. Kokinya juga tidak pelit memberi capit kepiting ini, mungkin ada sekitar selusin capit dalam pampi goreng ini. Sayangnya, seperti umumnya resto Cina, ada sedikit aroma dan rasa gosong yang datang dari wajan yang digunakan memasak berbagai makanan bergantian tanpa dicuci bersih terlebih dulu. Sup jagung kepitingnya juga enak, segar, dan panas. Saya sama sekali tidak mencicipi sapo. Sekali ini pun makanan porsi raksasa ini tidak habis disantap 3 dewasa dan 1 anak, sehingga sapo mesti dibungkus bawa pulang, dan langsung diserahterimakan ke Kak Neli untuk dihibahkan ke tetangganya.

Kami lalu mampir ke Tanjung, outlet oleh-oleh. Outlet ini oke banget karena menyediakan kaus mulai dari superkecil sampai superbesar (5L), desain dan bahannya pun oke. Harga pun oke, antara Rp20.000-60.000. Selain itu outlet ini juga menyediakan berbagai suvenir liburan standar lain seperti magnet kulkas, gantungan kunci, gelang-gelang pantai (biasa aja sih), tas pantai, dll. Saya memilih suvenir-suvenir yang ada tulisan Belitung-nya dong. Sesudah pilih kanan-kiri dan beli-beli, kami beranjak lagi. Sayangnya malam itu pusat oleh-oleh kerupuk dll sedang penuh, jadi kami ke Sari Laut untuk pesan kepiting isi dan otak-otak untuk dibawa pulang ke Jakarta. Lalu kami balik badan dan kembali ke hotel.

Tidak ada komentar: