Minggu, 30 Oktober 2011

Bahasa-bahasa

Daysann McLane, penulis National Geographic Traveler versi Amerika, membuat artikel tentang pentingnya bahasa ketiga dalam perjalanan. Maksudnya bahasa ketiga adalah bahasa asing lain selain Inggris. Jadi kayak kita di Indonesia ini, bahasa pertama kita ya Indonesia, kedua Inggris (tapi bisa juga bahasa Jawa, Sunda, Melayu, dll, jadi dengan begitu bahasa Inggris jadi bahasa ketiga), dan ketiga (atau keempat) adalah bahasa asing lain itu. Dalam kasus saya, saya sungguh beruntung pernah kursus bahasa Prancis dan Spanyol. Jadi apes-apesnya saya bisa bilang “Saya lapar!” dalam kedua bahasa itu... hehehe...

Kenapa bahasa ketiga itu penting? Ternyata kadang-kadang di negara asing, kita tidak bisa bahasa lokal, penduduk lokal tidak bisa bahasa Inggris, tapi... ajaibnya terkadang kita bisa bahasa ketiga ini dan si penduduk lokal itu pun bisa bahasa tersebut! Komunikasi pun lancar terjalin.

Daysann McLane mengalaminya di Jepang. Kala berada dalam bus, dia berusaha mengobrol dengan cewek Jepang yang duduk di sebelahnya. Sialnya si cewek tidak bisa bahasa Inggris. Nyengir-nyengir kudalah mereka berdua. Entah bagaimana, tiba-tiba terlontar ungkapan bahasa Spanyol dari mulut si cewek Jepang. Lho kok pucuk dicinta ulam tiba, si Daysann pun aktif berbahasa Spanyol. Jadilah mereka bisa nyambung dan ngobrol seru.

Hampir sama seperti pengalaman Daysann, wartawan senior Kompas juga pengarang buku perjalanan berjudul Sekali Merengkuh Dayung, Diah Marsidi, juga punya pengalaman bahasa ketiga (baginya) ini. Di Italia, dia bepergian ke daerah pegunungan. Di dalam bus yang penuh celoteh bahasa Italia, telinganya menangkap percakapan bahasa Spanyol. Tak ragu-ragu dia menyapa para remaja Spanyol yang sedang belajar di Italia itu. Para remaja itu senang sekali ada yang bisa berbahasa Spanyol, dan heran kok bisa-bisanya orang Asia yang menguasai bahasa itu. Sebenarnya mereka rindu juga berbahasa Spanyol, karena pada masa tinggal mereka di Italia itu, tidak ada yang bisa mereka ajak bicara bahasa Spanyol.

Pengalaman para remaja Spanyol yang senang betul mendengar bahasa negaranya di tanah asing itu pernah saya alami di Paris. Saat duduk di kolam di samping piramida Louvre yang kesohor itu, tiba-tiba saya mendengar suara-suara berbahasa Indonesia, “Foto juga dong di sebelah sini...” Tidak buang waktu, saya langsung nembak, “Dari Indonesia yaaaa...” Cowok-cowok yang sedang sibuk foto-foto itu tentu tergirang-girang ketemu orang awak. Ternyata mereka dikirim kursus oleh kantor mereka. Langsung kami bertukar tempat-tempat wisata mana saja yang pernah kami datangi. Lucunya, saya mengkhususkan diri ke Louvre saat itu karena tiketnya gratis, ternyata mereka yang sudah lebih lama berada di Paris, malah tidak tahu (mungkin karena fokus ikut kursus kali ya...). Jadi begitu saya beritahu hari itu tiket masuk museum gratis, mereka langsung kabur meninggalkan saya untuk memburu jam buka museum yang sudah akan tutup.

Pengalaman menggunakan bahasa ketiga saya peroleh juga di Paris. Tentu saja dengan terbata-bata, menggunakan bahasa Prancis saya dengan para native speakers-nya. Kata orang, Parisians dan orang Prancis pada umumnya ogah berbahasa Inggris. Kata saya, nggak tuh! Banyak kok orang Paris yang baik hati mau jawab kalau ditanya dengan bahasa Inggris. Tapi ada juga sih yang ogah berbahasa Inggris. “Non, non, non, en francais, s'il vous plait!” Terbata-batalah saya menjelaskan saya ingin roti plus cokelat panas. Lain kalinya, dengan pede saya menanyakan judul DVD yang saya inginkan, “Excusez-moi, s'il vous plait, vous savez 'Epouse-moi'?” Para penjaga toko DVD itu menatap saya dengan intens lalu membalas, “C'est un proposition, Madam?” Lalu mereka meledak terbahak-bahak, sementara saya jadinya tersipu-sipu malu, soalnya judul DVD itu memang, “will you marry me?” hehehe...

Paling pede jaya berbahasa Prancis (dikompori oleh sedikit kekesalan karena kena todong ibu-ibu Cina untuk menolong membelikan tas Louis Vuitton buat dia) adalah di gerai Louis Vuitton di Champs Elysees. Keren banget gak tuh? Louis Vuitton, Champs Elysees. Trully on top of the world. Sialnya saya cuma turis miskin yang tiket ke Eropa pun dibayarin kantor (tapi puji Tuhan, udah nyampe Eropa... hahaha...). Dengan pede jaya (dicampur sedikit kesel), saya berderap masuk gerai LV itu, langsung mendatangi manajernya yang menyapa dengan bahasa Inggris, “May I help you?” dan saya jawab dengan bahasa Prancis (keren, gak tuh?), “Oui, vous savez ce sac blablabla (jenis tasnya).” Langsung si manajer jadi lebih ramah, “Oui, Madam.” Dia pergi mengambilkan tas itu. Saat transaksi, dia bertanya saya dari mana, saat saya bilang dari Indonesia, dia tidak percaya. “Je pense-que, vous-etes Philipine, Madam,” katanya. Wah ya deketan sih. Tapi lebih sedih lagi pas dia gak percaya saya belajar bahasa Prancis di Jakarta. “Emangnya ada les Prancis di Jakarta?” tanyanya. Gak sopan!

Soal bahasa ketiga, saya pernah gagal total memakainya---jelas saya tidak seberuntung si Daysann McLane. Di Bologna, Italia, saya ingin menanyakan jam keberangkatan kereta api. Masuklah saya ke konter informasi di stasiun, yang terdapat dalam suatu ruangan tersendiri. Bule-bule Italia di sana menatap dengan angker. “No English!” kata salah satu di antara mereka. Gleks. Saya pikir bahasa Italia mirip bahasa Spanyol, jadi meskipun bahasa Spanyol saya celemotan, saya beranikan diri untuk menggunakannya. Masalahnya kalau kita tidak yakin bahwa diri kita akan dimengerti, kita cenderung bicara dengan suara keras dan penekanan pada tiap kata. Plus gugup, jadilah celemotan meningkat ke belepotan. “Tengo que volver aqui...” Maksudnya, saya (tepatnya teman saya sih) mesti kembali ke Bologna situ setelah melawat ke Firenze beberapa jam, dan saya ingin menanyakan kereta balik dari Firenze jam berapa aja. Reaksinya, bapak-ibu Italia itu terdiam beberapa detik, lalu meledak terbahak-bahak. Reaksi saya? Merasa terhina, terhina, terhina.

Anyway, meskipun bahasa ketiga itu kayaknya perlu, apalagi kalau sampai kita ketemu situasi seperti yang dihadapi si Daysann McLane, tapi ada lho bahasa universal yang laku di mana-mana: nyengir kuda dan senyum manis. Asal sudah tersenyum manis, orang-orang yang kita ajak bicara pasti berusaha membantu. Selain itu, jangan lupa bahasa universal lain yang juga laku di mana-mana: bahasa Tarzan! Auooooooooooooo...

Kamis, 27 Oktober 2011

Nikmatnya jalan-jalan bersama batita

Jalan bareng batita tuh cihui banget loh! Soalnya mayoritas orang suka anak kecil. Anak kecil cukup tersenyum atau bersikap malu-malu, orang-orang langsung meleleh hatinya. Keuntungan dari hati yang meleleh itu banyak banget!

Yang paling sederhana aja, senyum lebar dan hangat dari orang-orang yang kita temui di jalan. Tangan-tangan yang terulur ingin bersalaman dengan anak kita. Ooo... bagaimana kita sebagai ibu si anak tidak ikut hangat hatinya? Mulai dari pramugara-pramugara ganteng sampai opa-opa gendut, semua jatuh cinta pada Mika dalam perjalanan kami ke Eropa dulu. (Sebenernya sih, mamanya yang pengin ikut salaman sama pramugara-pramugara ituuuuhh...) Mulai dari sekadar salaman, tiba-tiba Mika punya opa baru saat audiensi Paus di Vatikan. Mika bisa sampai tidur-tiduran di perut gendut si opa brewok. “Opa!” kata Mika. Si opa manggut-manggut senang, dan dengan bahasa Inggris terbata-bata berkata, “Yes, I'm Opa!” Maklum, si opa cuma bisa bahasa Jerman, dan tentu saja waktu itu Mika baru bisa bahasa bayi.

Bantuan-bantuan yang tidak diminta pun berdatangan. Saat audiensi Paus itu misalnya, seorang gadis Italia tiba-tiba mendekati saya dan bertanya, “Do you want an umbrella? For your baby?” Dipinjami payung saat matahari terik di atas kepala? Mau lah yaw! Di Paris lain lagi, dalam stasiun Metro, Mika tertidur dalam gendongan saya, sementara saya sendiri sudah capek dan ribet dengan bawaan lain. Tiba-tiba seorang noni Prancis yang baru saja melewati kami dengan langkah terburu-buru balik badan, lalu menjajari kami (juga dengan langkah terburu-buru). “Wait!” Dia memegang kaki Mika, lalu memperbaiki posisi kaus kakinya yang hampir copot. Lalu dia balik badan lagi dan berlalu begitu saja (tetap dengan terburu-buru).

Kebaikan hati ini merambah ke hal-hal yang menyangkut profesionalitas. Dalam antrean imigrasi di Dubai, petugas langsung memanggil saya, “Madam with the baby and the family!” Yes! Gak perlu antre panjang-panjang, kami langsung lewat imigrasi dengan mulus. Antrean lain yang kami potong juga adalah antrean peziarah di depan Gua Maria di Lourdes. “Madam with the baby!” Ahh... senangnya mendengar kata-kata wasiat itu! Di kantor pos di Roma kata-kata wasiat itu juga sempat terdengar, “Madam with the baby!” Dari segi profesional mungkin para petugas sudah dilatih untuk mendahulukan ibu-ibu dengan anak kecil, supaya si anak tidak rewel dan mengganggu orang lain, tapi dari hati... pasti para petugas itu juga tidak tega melihat si baby ikut mengantre lama-lama.

Tapi kebaikan hati yang benar-benar membuncah adalah saat pemilik toko bunga kering di Lourdes tiba-tiba berlari keluar dari tokonya yang baru kami tinggalkan sambil membawa boneka beruang. “Madam! Wait! It's for your baby!” Oooo... Padahal kami baru saja membuat dia terlambat menutup tokonya karena berbelanja begitu malam. Padahal kami cuma membeli dua kantong lavender. Hati bapak itu pasti selembut boneka beruang yang dia berikan untuk Mika. Semoga tokonya laris manis terus dan suatu hari nanti kami bisa bertemu kembali dengannya!

Makanan Surga

Omong-omong soal makanan... Makanan yang nggak pernah saya lupakan dalam perjalanan adalah burger. Sepotong burger jalanan yang kalau di Jakarta dijual oleh abang-abang dengan gerobak. Burger dahsyat ini sebenarnya bukan jatah saya, tapi suami saya, alhasil saya cuma kebagian segigit-dua gigit. Tapi, segigit itu sudah cukup untuk membuat saya ingin kembali ke Penang, Malaysia, sampai sekarang...

Penasaran?

Malam itu kami baru kembali dari Gurney Drive, yang digadang-gadang jadi pusatnya food stalls di Penang. Sayangnya, aneka makanan di sana kurang mengundang selera kami. Lokasi yang cukup jauh dari pusat kota tempat kami menginap, plus kondisi yang menurut selera kami agak jorok membuat makan di sana kurang nyaman. Apalagi ternyata porsi makanan yang kami pilih ternyata kurang besar. (Hehehe... jujur...)

Begitu turun dari taksi di depan hotel, suami melihat gerobak penjual burger itu, dan langsung memutuskan untuk memesan. Ada beberapa pilihan burger, tapi yang suami saya pilih adalah menu yang paling komplet, terdiri atas burger, telur, dan keju.

Maka mulailah abang burger menyiapkan hidangannya, sambil terus mengobrol seru dengan teman-temannya. Sebenarnya kalau di Jakarta menemukan abang jualan melayani kita sambil tetap mengobrol seru dengan teman-temannya, saya sering sebal. Rasanya si abang tidak melayani kita dengan sepenuh hati, gitu... hehehe... Tapi, cara si abang menyiapkan burgernya rupanya berhasil menghipnotis kami, sampai kami merasa obrolan si abang dengan teman-temannya sama sekali tidak mengganggu.

Daging burger yang dikeluarkan dari boks penyimpanan berbungkus plastik seperti daging burger di Jakarta. Tapi saat daging burger di Jakarta biasanya bulat tipis seperti ham (meski tidak setipis ham), daging di Penang ini gemuk, terbuat dari daging giling yang dicampur bumbu. Daging mulai digoreng di penggorengan dengan mentega banyak (membuat ngiler), langsung diberi bumbu kecap Inggris cukup banyak (semakin ngiler). Sementara menunggu bagian daging yang menyentuh penggorengan matang, si abang mengocok telur untuk telur dadar. Daging dipinggirkan dan di bagian penggorengan yang tersisa, telur dadar dibuat tipis seperti crepes. Daging lalu dibalik, dan kembali dikucuri kecap Inggris, garam, dan lada (aaaa... aromanya...). Daging yang matang lalu diletakkan di atas dadar, ditambahi keju, rajangan selada dan tomat, saus tomat dan sambal, lalu telur dadar dilipat menutup. Roti juga dipanggang sampai bagian putihnya menjadi kecokelatan. Lalu telur isi daging burger diletakkan di antara roti.

Sepanjang acara memasak dengan backsound obrolan itu, saya dan suami saya ngiler habis-habisan. Setelahnya, sambil tersenyum lebar, suami saya membawa kantong isi burgernya, menikmatinya sambil sengaja menggoda saya, dan pura-pura pelit waktu saya minta jatah. Tentu saja, saya jadi menyesal juga kenapa tidak sekalian memesan satu porsi tadi. Apalagi malam itu malam terakhir kami di Penang.

Rasa burgernya? Kalau proses memasaknya belum cukup untuk membayangkan rasa burgernya... Rasanya... surgaaaa... Dagingnya empuk, dengan gurih kaldu daging, sementara kecap Inggris-nya pas menambah rasa tidak berlebihan. Dadar telurnya tentu juga gurih dan nikmat. Mungkin satu-satunya masalah adalah burger ini benar-benar jatah makan besar, yang mengenyangkan. Nikmat dan mengenyangkan. Sayang juga, malam itu kami sudah makan lebih dulu di Gurney Drive...

Sabtu, 15 Oktober 2011

Makan Balita dalam Perjalanan

Salah satu penghambat utama saat mengajak anak balita jalan-jalan adalah makanan. Tidak semua lokasi wisata menyediakan makanan yang cocok bagi perut dan selera balita. Lebih repot lagi, tidak semua balita---kalaupun ada makanan yang cocok---mau makan! Bukan hanya si picky eater, tapi balita yang biasanya pemakan segala pun bisa saja mogok makan karena terlalu excited melihat tempat baru atau karena perjalanan yang lama dan jauh demi mencapai tempat wisata.

Anak saya lebih sering sulit makan karena terlalu excited itu tadi. Saat bepergian, saya mengusahakan membawa beberapa macam roti dan biskuit, alias kering-keringan yang bisa dipegang tangan kecilnya. Jadi sambil melihat-lihat ini-itu, tangannya terus bergerak ke mulut dan mulutnya terus mengunyah. Pemberian snack begini memberi dilema, karena saat jam makan besar, si anak jadi ogah makan karena perutnya penuh snack. Tapi... kita lagi liburan, kan? Yang penting perutnya ada isinya... hehehe...

Membawa perbekalan snack komplet pernah menyelamatkan liburan saya saat ternyata makanan yang tersedia di lokasi sama sekali tidak cocok buat anak kecil. Puji Tuhan, saya membawa sereal favorit si kecil, plus susunya sekalian. Jadilah acara makan anak di kamar hotel, bukan di ruang makan. Justru kebetulan yang pas, karena si kecil jadi bisa duduk diam makan sambil menonton acara TV kabel anak-anak, yang tidak ada di rumah.

Perbekalan ini juga jadi resep beberapa bunda yang saya wawancarai untuk buku-buku saya, Traveling with Tots (panduan untuk jalan-jalan bersama balita) dan Traveling with Kids (panduan untuk jalan-jalan bersama anak SD). Bunda yang “nekat” masih mau membawa kompor dan panci untuk memasak sendiri bagi anaknya. Tapi bunda yang lebih praktis juga membawa segala macam minuman sehat dalam kemasan, serta snack kecil dan berat. Utamanya agar perut si kecil tidak kosong. Dan kembali lagi, jangan terlalu keukeuh bahwa si kecil harus makan pada jam-jam tertentu. Longgarkan sedikit aturan di rumah, yang penting perut si kecil ada isinya! (Penting banget nih, sudah diulang sampai tiga kali... hehehe...)

Berikutnya, soal makanan sehat. Kalau di rumah mungkin kita punya aturan harus makan buah, harus ada sayur, dll dsb. Kembali ke “yang penting perut ada isinya”, sekali-sekali saat liburan izinkan anak menikmati junk food. Biar bagaimanapun itu jenis makanan yang paling mudah ditemukan di tempat wisata. Bila meragukan junk food sembarangan, ya kembalilah ke gerai junk food yang sudah tepercaya seperti burger A atau piza B. Salah satu bunda yang saya wawancarai pasrah memberi makan anak-anaknya piza saat liburan. Sebetulnya si bunda sedih juga tidak bisa wisata kuliner dan mencoba menu-menu unik daerah yang dia sambangi, tapi mau apa lagi... mau membiarkan anak kelaparan?

Bila ternyata tidak ada gerai junk food, justru pilihlah restoran rumahan. Atau pokoknya restoran yang kelihatan memasak makanannya langsung begitu dipesan. (Ada kan restoran prasmanan yang menyajikan makanan siap santan tinggal sendok.) Ada dua keuntungan restoran jenis ini: 1. Makanan disajikan fresh dari atas kompor, bukan entah dimasak kapan, 2. Kita bisa minta tolong dibuatkan menu sederhana khusus untuk anak. Menu sederhana ini bisa berupa sekadar telur dadar, pasta rebus, atau kentang goreng. Pengalaman saya paling keren saat makan di kawasan St. Germain di Paris. Waiter yang guaaaanteeeng dengan dagu biru itu mengangguk antusias, “It can be done!” (coba bahasa Inggris dengan aksen Parisian... aaaah), saat saya bertanya bisa nggak mereka membuatkan pasta rebus plus keju saja untuk anak saya. Sepiring (besar) pasta kerang muncul, ditambah saus tomat buatan sendiri, lagi! Membuat saya jadi merasa agak bersalah saat ternyata pasta itu nggak habis. (Iyalah... piring ukuran besaaaaar... sementara anak saya paling cuma makan tiga sendok!)

Terakhir, jangan lupa soal kebersihan! Bawa selalu hand sanitizer dan biasakan si kecil memakainya sebelum makan. Ingat, tempat wisata belum tentu menyediakan lokasi untuk bersih-bersih yang memadai (sering kali lokasi bersih-bersihnya justru kotor), belum tentu juga tersedia air bersih yang mengalir. Kalau hand sanitizer tidak ada, bisa juga gunakan tisu basah.

Oya, selain snack, jangan lupa juga selalu sediakan air putih, entah dalam botol yang dibawa sendiri (lebih ramah lingkungan) atau air mineral kemasan. Selain untuk diminum, air putih ini juga bisa untuk cuci tangan, sekiranya tidak tersedia air di lokasi wisata.

So, all in all tip-tip untuk memberi makan anak saat jalan-jalan:
* jangan maksa, tema utamanya adalah... Yang Penting Perut Ada Isinya
* bawa snack kecil dan besar
* bawa air minum
* jangan anti junk food
* minta tolong restoran untuk membuatkan menu sederhana
* jangan lupakan kebersihan

Happy traveling and eating with your kids!

Kamis, 06 Oktober 2011

Referensi Liburan

Buku-buku yang baik bisa jadi teman yang paling oke untuk mencari ilmu tentang liburan, tentu selain ranah maya yang sekarang ini telah menyediakan segalanya. Belakangan saya sempat membaca tiga buku tentang jalan-jalan yang meskipun gaya jalan-jalannya agak tidak mungkin untuk diterapkan dengan membawa anak-anak, tapi bisa juga memberi inspirasi.

Flashpacking Keliling Indonesia
Deedee Caniago
Gramedia Pustaka Utama

Berisi cerita sang penulis keliling Indonesia, gaya buku ini hip, gaul, dan modern banget. Deedee banyak menghadapi kesulitan saat bepergian, tapi rupanya bukan Deedee kalau lalu menyerah dan tidak bisa melihat sisi menyenangkan dari petualangannya. Sayangnya, pantai-pantai cantik yang diuraikan dalam buku ini agaknya memiliki jalan yang terlalu menantang bagi ibu beranak balita seperti saya. Pantai-pantai itu rata-rata dicapai dengan perjalanan berjam-jam dengan kondisi jalan yang ajaib, dan dengan fasilitas yang minim. Meskipun saya penganut “jalan-jalan minim”, tapi tingkat keminiman pun ada batasannya bila membawa anak. Tapi buku ini tetap sangat berguna bagi saya dari segi: 1) cerita yang seru dan lucu, membuat ngiler pengin pergi ke tempat-tempat yang dikisahkan Deedee, 2) ada bagian referensi penyedia tur yang cukup lengkap di bagian belakang buku yang bisa saya hubungi untuk menanyakan customized tour bagi keluarga dengan anak kecil 3) bagi destinasi yang terlalu ekstrem tingkat kesulitannya, saya jadi tetap mempunyai impian dan harapan suatu hari nanti saat anak saya sudah lebih besar, lebih dewasa dalam cara pikir, dan lebih kuat secara fisik, dia mau diajak ke sana.

Meraba Indonesia
Ahmad Yunus
Serambi

Ada unsur mau meniru Che Guevara keliling Amerika Selatan dengan sepeda motornya (The Motorcycle Diaries, sudah difilmkan juga dengan bintang *oh* Gael Garcia Bernal *keterangan ini penting gak seh?*) dua wartawan, satu senior---Farid Gaban, dan satu setengah senior---Ahmad Yunus, berangkat keliling Indonesia naik dua sepeda motor tua. Diawali dari Jakarta ke arah barat ke Sumatera lalu melingkar ke Kalimantan, Sulawesi, Ambon, Papua, lalu berakhir di Nusa Tenggara, mereka berdua berusaha mencari titik-titik paling terpencil dan paling sulit dicapai di negara ini. Perjalanan kurang-lebih setahun ini (diselingi beberapa kali kembali ke Jakarta untuk mencari tambahan biaya), mereka menyisiri pelosok paling jauh di negeri ini, bertemu orang-orang yang paling kesulitan, menggunakan alat-alat transportasi yang paling merakyat (selain sepeda motor), menjumpai pemandangan yang paling indah dan pengalaman yang paling murni. The grand scheme-nya luar biasa. Siapa pun harus cukup gila untuk menjalani petualangan ini. Sayang sekali Ahmad kurang detail bercerita. Sering kali Ahmad hanya menyebutkan “kami menginap di rumah tetua kampung A, mengobrol, lalu tidur.” Saya sebagai pembaca merasa, “What? What's the fun of that? Di mana asyiknya? Di mana serunya? Ngobrol terus tidur mah di rumah juga bisa.” Ahmad kurang mengeksplorasi kekayaan pengalamannya. Demikian pula saat bercerita tentang pemandangan tertentu di pulau terpencil mana, Ahmad kurang mengeksplorasi tulisannya. Padahal bila digambarkan dengan lebih detail mungkin bisa membuat orang lebih terpacu untuk mengunjungi pulau itu, dus lebih mengenal Indonesia. Dan terakhir, maafkan saya bila naluri editor muncul, tapi ya ampun... buku ini banyak sekali miss-nya! Mulai dari tipo sampai ke kalimat yang nggak nyambung. Jadi ya sudah, mari kita berfokus pada the grand scheme-nya saja...

Wonderful Europe
Aloys Budi Nugroho
Gramedia Pustaka Utama

Setelah bersusah-susah keliling Indonesia, meskipun yang pertama sambil hura-hura dan bersenang-senang tiada tara, sementara yang kedua susah beneran dengan idealisme tinggi, mari kita melongok ke negeri seberaaaaaaaaaaaang sono. Saya tertarik dengan buku ini karena tempat-tempat yang didatangi si romo (penulis buku ini adalah seorang pastor Katolik) nyaris tepat sama dengan tempat-tempat yang saya datangi dalam perjalanan Eropa saya tahun lalu, yaitu Paris, Lourdes, Roma. Tentu dengan variasinya. Buku ini mengulas tentang perjalanan si romo menjadi pembimbing rohani sebuah tur. Senangnya membaca perjalanan dengan menggunakan jasa tur, saya makin yakin memang gaya perjalanan yang paling pas bagi saya adalah mengatur sendiri. Dengan demikian saya bisa puas menikmati apa pun yang ingin saya nikmati saat jalan-jalan itu. Sedihnya, tentu saja saya jadi tahu ada lumayan banyak juga yang miss dengan gaya jalan saya yang independen itu. Misalnya di Roma saja saya tidak sempat ke tiga basilika besar selain Basilika St. Petrus. Saya juga tidak sempat berputar mengunjungi biara St. Bernadet di Nevers. Meskipun demikian saya lumayan bangga bisa sampai ke Kapel Medali Wasiat di Paris, meski sambil menggendong anak dan pakai jalan 1,5 km, hohoho... Pelajaran dari buku ini bagi saya: sebelum berangkat ke satu tempat, riset riset riset riset lagi. Pastikan tempat-tempat menarik mana yang mau didatangi biar nanti pas pulang tidak menyesal!