Rabu, 29 Juli 2009

Palace of Illusions ~ Chitra Banerjee Divakaruni

“Mahabarata dari sudut pandang Dropadi.”

Waw! Sebagai penggemar Mahabarata saya sudah membaca berbagai versinya. Mulai dari cerita bergambar, sampai kitab lusuh yang berpanjang-panjang memuat percakapan Arjuna dan Kresna saat Arjuna dilanda kebimbangan di medan perang. Tapi belakangan saya agak malas membaca berbagai versi baru Mahabarata yang muncul di toko buku. What's new?

Inilah yang “new”, Mahabarata dari sudut pandang Dropadi. Tokoh kontroversial yang selama ini sangat sedikit diulas, meskipun perannya dalam mencetuskan perang raya di padang Kurusetra lumayan besar. Dan tentu saja versi Mahabarata yang ini sangat baru, karena dipandang dari mata seorang perempuan. Waw! (Sekali lagi.) Divakaruni benar-benar iseng, nekat, sangat imajinatif, dan berani! Dan hasilnya adalah kisah yang benar-benar baru. Penuh rasa, penuh detail, penuh emosi, sangat perempuan. Saya sangat menikmati membaca Mahabarata yang ini.

Diawali dengan latar belakang Dropadi (saya merasa agak aneh dengan penulisan nama ini karena lebih terbiasa dengan “Drupadi”) yang jarang-jarang terungkap, kisah ini awalnya mengalir mulus dan riang. Dropadi cilik sampai remaja adalah gadis cerdas yang selalu ingin tahu dan tidak sabaran. Juga agak tidak pede karena kulitnya hitam. Tapi dia diselimuti cinta kakaknya, Drestadyumna (susah bener, untung sepanjang cerita dia disebut Dre saja) dan sahabatnya Krishna.

Dre dan Dropadi lahir karena ayah mereka, Raja Dropada, ingin balas dendam pada Dorna, brahmana guru para Pandawa dan Korawa. Oleh karena itu Dre dididik komplet soal pemerintahan dan pertarungan, sementra Dropadi nebeng pendidikannya. Tapi sebagai gadis, Dropadi terpaksa tidak bisa mengikuti seluruh langkah Dre, dan harus juga belajar hal-hal kewanitaan.

Suatu saat Dropadi ikut pengasuhnya ke seorang brahmana peramal. Oleh sang brahmana, Byasa (yang menuliskan kisah Mahabarata, dan ikut berperan di dalamnya) Dropadi diberitahu dia akan memiliki 5 suami, dan masa depannya akan heboh banget, terutama karena sifatnya yang tidak sabaran dan pemarah. Dropadi tentu tidak percaya pada ramalan itu. Ia hanya senang karena sang brahmana memberinya nama baru, Panchali.

Selang beberapa lama, Raja Dropada membuat sayembara untuk menikahkan Dropadi. Sasarannya adalah Arjuna, supaya para Pandawa bisa menjadi sekutu mereka saat konfrontasi dengan Drona datang. Saat sayembara, Dropadi menghina Karna (sahabat Duryudana, Raja Angga dan yang disangka anak kusir kereta). Mulailah hubungan cinta dan benci keduanya. Seperti yang diinginkan, Arjuna memenangkan Dropadi dan membawanya kepada saudara-saudaranya. Tak disangka, di pintu rumah, gurauan Bima disambut Kunti (ibu para Pandawa) dengan “Apa pun yang kalian bawa itu harus dibagi untuk kelima putraku.” Dengan demikian jadilah Dropadi istri kelima Pandawa, sesuai ramalan Byasa. Dengan pengaturan tertentu, Dropadi berganti suami setiap satu tahun sekali.

Para Pandawa membawa Dropadi ke Hastinapura, lalu ke daerah yang diberikan Drestarata si raja buta kepada mereka. Di daerah baru itu mereka membangun Istana Khayalan, tempat yang sangat dicintai Dropadi. Wilayah yang asalnya gersang itu pun segera menjadi makmur, dan disebut Indraprastha.

Bencana datang dalam bentuk permainan dadu. Saat memenuhi undangan Duryudana untuk datang ke Hastinapura, Yudistira kalah main dadu dan kehilangan segalanya; kekayaan, istana, adik-adiknya, dan bahkan Dropadi. Dropadi diseret ke ruang singgasana, dan akan ditelanjangi. Dengan bantuan dewata, niat jahat itu gagal. Dropadi bersumpah tidak akan menyisir rambutnya lagi sebelum mengeramasinya dengan darah para Korawa.

Para Pandawa terbuang ke hutan selama 12 tahun. Dropadi menyertai suami-suaminya. Di tahun ke-13, mereka bersembunyi di istana Wirata. Selanjutnya menyusun kekuatan untuk menyerang para Korawa.

Di bagian ini cerita menjadi gelap karena Divakaruni dengan piawai memaparkan dendam dan kebencian perempuan yang dipermalukan. Perempuan yang harus mendorong para lelakinya untuk membela kehormatan dirinya. Perempuan yang berusaha dengan cara apa pun untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Perempuan yang mengerikan.

Perang pecah, dan berakhir mengerikan. Meskipun Pandawa menang, tapi mereka kehilangan makna kemenangan itu sendiri. Saat mereka memerintah Hastinapura dan menjadikannya kerajaan yang makmur sekalipun, bayang-bayang dosa-dosa perang tidak bisa meninggalkan mereka.

Secara garis besar, kisah ini sama sekali tidak melenceng dari Mahabarata yang saya kenal. Tapi bumbu-bumbunya membuat kisah ini berbeda. Dan makna yang tersirat pada kisah ini sangat jelas. Belajarlah mengontrol emosi, belajarnya menjadi dewasa, buanglah dendam. Dan tentu saja, tidak ada manusia yang sempurna. Selain itu kisah cinta Dropadi dengan lelaki-lelakinya juga sangat menarik. Utamanya hubungannya dengan Karna dan Krishna. Betapa Dropadi mencintai Krishna secara platonis, selalu kehilangan Krishna, selalu ingin didampingi Raja Dwaraka itu. Sementara dengan Karna, hati Dropadi terbelah. Sedari remaja dia naksir sang Raja Angga, tapi takdir menetapkan mereka selalu berseberangan. Di detik terakhir, Dropadi baru tahu bahwa Karna pun mencintainya, tapi sudah takdir Karna untuk mati di padang Kurusetra.

Anyway, siapa pun yang tertarik pada Mahabarata atau pada seluk-beluk gelap pikiran perempuan harus membaca buku ini. It's a page turner, jelas tidak rugi menguliknya.

Minggu, 12 Juli 2009

Belajar Mengarang

Cukup sering orang bertanya bagaimana caranya jadi pengarang kepada saya. Pertanyaan yang agak sulit saya jawab, karena saya “menjadi pengarang” dengan learning by doing. Saya tidak pernah ikut kursus, tidak pernah benar-benar hafal apa bedanya deskripsi, narasi, persuasi, dkk itu, dan tidak pernah benar-benar punya guru juga. Tapi secara umum, inilah yang saya lakukan.

1.Fokus
Maksudnya, kamu mau jadi pengarang apa? Zaman sekarang pengarang dan jenisnya tumbuh kayak jamur di musim penghujan (hah, ungkapannya lame banget!) Ada pengarang novel, ada pengarang blog, ada pengarang artikel di koran, ada pengarang cerita sinetron, ada pengarang skenario film. Masing-masingnya masih bercabang lagi, ada pengarang cerita horor, ada pengarang artikel olahraga, ada pengarang artikel perjalanan, ada pengarang ulasan gadget terbaru, and so on, and so on. Banyak banget. Kamu mau yang mana? Tentu kamu harus pilih mana yang paling kamu suka. Mana yang paling kamu kenal. Zaman saya baru lulus SMA dulu, saya suka banget sama musik dan cerita fiksi, jadi saya pengin banget kerja di Rolling Stone, jadi penulis musik yang kerjanya ngeliput konser-konser (imbas kebanyakan baca HAI yang waktu itu asyik banget juga sih.) So, saat itu saya fokus untuk jadi penulis artikel musik. Saya mendengarkan banyak kaset (yap, masih zaman kaset) dan berusaha memberi komentar cerdas bagi apa yang saya dengar. Saya juga banyak membaca soal musik masa kini dan sejarahnya. Blablabla... Pokoknya itu “era musik” dalam hidup saya.

2.Jangan berhenti, terus menulis
Begitu berhenti, mulai lagi akan terasa kaku. Contoh paling jelas yang saat ini saya alami. Mengurus anak membuat saya berhenti nge-blog. Alhasil, tulisan pun menurun dalam hal kualitas dan kuantitasnya.
Sebaliknya, tahun 2005, saat saya mengalami ledakan kreatifitas, tulisan mengalir tiada henti. Cerpen-cerpen saya beberapa berhasil dipublikasikan, meskipun bukan di media kelas satu juga. Artikel-artikel perjalanan saya pun beberapa berhasil nampang di majalah.
Jadi, teruslah menulis, mau itu cuma catatan harian, mau itu tulisan serius. Atau bahkan daftar belanja sekalipun. Menulis membuat kamu berpikir, dan semakin banyak kamu berpikir semakin lancar kamu menulis. Ini efek bola salju yang diinginkan, bukan?

3.Be creative
Lihat ungkapan “jamur di musim penghujan” di poin 1? Basi banget, kan? Mestinya kamu bisa lebih kreatif dari saya dan menciptakan ungkapan baru untuk “banyak banget”. Apa kek, laron ngerubungin lampu, misalnya. Atau ikan teri dalam tampah di pasar. Atau beras di lumbung. Apa pun deh. Terus terang tahun-tahun belakangan ini kreatifitas saya menurun drastis. Zaman saya masih kuliah dulu, saya bisa menciptakan ucapan yang benar-benar asyik dalam kartu ulang tahun untuk teman-teman saya. Sekarang? Bah, paling-paling saya cuma bilang “semoga segala yang indah-indah ya!” Menyedihkan.

4.Baca, baca, baca
Terutama bacaan yang ingin kamu jadikan sasaran. Maksud saya, kalau kayak saya zaman dulu itu, pengin jadi penulis musik, ya kamu mesti banyak-banyak baca soal musik. Kalau pengin jadi pengarang novel kayak Agatha Christie, ya bacalah novel-novel dia. Kalau pengin jadi penulis politik, bacalah buku “Interview with History”-nya Oriana Fallaci atau biografinya Barrack Obama. Selain itu baca juga artikel-artikel atau buku-buku yang menunjang. Semakin banyak kamu membaca, semakin banyak pengetahuan kamu, dan semakin kaya dan asyik tulisan kamu nanti.

5.Riset
Mungkin contoh riset yang bagus adalah Bilangan Fu-nya Ayu Utami. Bukan sekadar membaca dan meng-google, Ayu Utami sekalian jadi pemanjat tebing. Cuma mungkin riset dia agak terlalu lama sih. Lama atau cepatnya riset ini ya mesti tergantung sama jenis tulisan juga. Misalnya wartawan yang nulis soal meninggalnya Michael Jackson kemarin paling-paling mengambil bahan tulisannya dari artikel-artikel yang dia google, tapi kalau kamu mau menulis soal kisah cinta atlet berkuda gitu mungkin ya kamu mesti belajar naik kuda juga, sama kayak Ayu Utami belajar panjat tebing. Anyway, sebenarnya riset Ayu Utami tidak sekadar panjat tebingnya sih, tapi juga soal keadaan sosial politik agama seksualitas dll dsb.
Selain riset bacaan, tontonan, dll., kamu juga mesti jadi pengamat kehidupan. After all, itu kan yang akan kamu tulis?

6.Ambil jarak dan terima kritik
Kalau tulisan kamu sekadar artikel, yang artinya masa hidupnya agak pendek, maka mungkin kamu tidak sempat ambil jarak. Tapi kamu tetap bisa terima kritik. Biasanya saya agak manyun kalau dikritik... hehehe... Tapi setelahnya, saya biasa akan memikirkan kritik itu lagi dan berusaha menerapkannya pada tulisan berikutnya.
Lain halnya kalau yang kamu tulis itu novel panjang. Dalam bukunya, On Writing, Stephen King mengaku bahwa setelah selesai menulis satu novel, dia akan menggudangkan naskah itu paling tidak selama enam bulan. Selama enam bulan itu dia berusaha tidak memikirkan novel tersebut. Dia akan menulis novel baru, jalan-jalan, main-main, nonton film, ngapain aja deh asalkan tidak berkaitan dengan novel itu. Setelah ada jarak, baru dia membuka lagi novel yang bersangkutan. Biasa dia jadi punya perspektif baru tentang novel itu, dan bisa melakukan autokritik yang bagus. Dia bisa melihat kelemahan-kelemahan novel itu, dan memperbaikinya. Dia bisa melihat bagian-bagian yang harus ditambah, simpul yang masih belum erat, dll. Masalahnya, saya tahu banget para pengarang Indonesia—terutama yang muda-muda ini, semuanya tidak sabaran!

7.Jejaring dan teman-teman
SKSD alias sok-kenal-sok-dekat sering kali berguna juga untuk membuat tulisan kamu jadi dimuat. Pertama kali saya berhasil menulis dan dimuat di majalah karena awalnya saya menulis surat pada redaktur majalah yang saya kagumi. Bukan hanya itu, dengan SKSD-nya, saya lalu menelepon redaktur yang bersangkutan, menanyakan apakah dia sudah menerima surat dan contoh tulisan saya. Berikutnya, saya mendapat order untuk membuat tulisan bagi dia! Yay!
Di luar urusan muat-memuat dan terbit-menerbitkan tulisan, teman-teman juga berguna sekali sebagai pembaca pertama. Siapa lagi korban kita kalau bukan mereka? Sahabat saya dengan tanpa perasaannya berkata, “Lo harus bercerita dong, Say...” saat saya minta dia membaca novel saya (yang sampai sekarang belum terbit juga) Kejamnya dirinya! Tapi dia membuat saya kemudian menyadari novel itu masih kurang berdaging.

8.Kirim-kirim
Jangan malu-malu untuk mengirim tulisan. Risiko paling jelek apaan sih? Setelah setahun tidak ada kabar, tulisan kamu terus ditolak? Biasaaaaaaa... Yang penting kamu tidak mati, kan? Masih ada napas berarti masih ada kesempatan buat menulis lagi. Jangan berhenti! Maju terus!
Yang penting dalam hal kirim-mengirim ini, perhatikan karakter penerbit yang kamu tuju. Kalau kamu menulis artikel berbau agama, jangan kirim ke majalah remaja (kecuali memang untuk edisi khusus hari raya agama yang bersangkutan). Kalau kamu menulis artikel tentang memancing ya jangan dikirim ke majalah ibu-ibu. Tanpa menunggu berbulan-bulan, artikel kamu pasti ditolak.
Itu cuma contoh ekstrem. Perhatikan detailnya, perhatikan tema apa yang biasa diterbitkan, perhatikan gaya penulisan yang diterbitkan. Buka situs penerbit tujuan kamu, cari tahu syarat-syarat mengirim naskah ke sana. Dan akhirnya, kirimkan naskah yang “bersih”. Soal naskah yang bersih ini pernah saya bahas dalam posting sebelumnya.

Jadi, mungkin tips-tips ini agak basi. Tapi inti besarnya adalah, jangan menyerah dan terus berlatih! Tetap semangat!

Khatulistiwa-Edward Stefanus Murdani

Di negara kepulauan terbesar di dunia ini, sebetulnya menyedihkan tidak banyak novel yang menjadikan laut, berenang, berlayar, dan main-main air sebagai latar belakangnya. Syukurlah ada Khatulistiwa.

Tema pelayaran erat sekali membungkus semua alur cerita novel ini. Khatulistiwa adalah nama perahu layar mungil yang dimiliki Alex, tokoh utamanya. Yah, meskipun Indonesia negara kepulauan, tapi nggak semua orang di negara ini bisa punya perahu sih. Alex kebetulan beruntung karena kakeknya yang pengusaha perkapalan besar (jenis tanker gitu kali) mewariskan perahu layar ini pada cucu semata wayangnya.

Alex lebih banyak menghabiskan waktunya di atas Khatulistiwa dan berlayar mengelilingi Kepulauan Seribu di utara Jakarta. Pasalnya, dia memang gerah di rumah karena orangtuanya acap bertengkar soal ini-itu. Selain itu, Alex juga “menghindar” dari Siska, cewek yang ditaksirnya, karena mendapat peringatan dari ibu cewek itu bahwa Siska sudah dijodohkan dengan Randy, anak teman bisnis keluarga mereka.

Saat libur kelulusan SMA, Alex berniat berlayar agak jauh ke Kepulauan Karimun Jawa di utara Semarang, dan pulang untuk minta izin orangtuanya. Tak disangka, begitu sampai di rumah, dia menyaksikan orangtuanya sedang bertengkar dan ayahnya menyebut dirinya anak haram. Bukan hanya itu, ayahnya juga memukul ibunya. Alex balik memukul ayahnya, lalu lari kembali ke Khatulistiwa.

Setelah mengetahui ayah kandungnya ternyata tinggal di Kepulauan Natuna, Alex putar haluan ke utara, berniat pergi ke kepulauan dekat Singapura itu untuk mencari ayahnya. Siska ingin ikut, karena ingin menjauh juga dari Randy.

Mulailah kedua remaja itu menyusun rencana. Alex mengajari Siska berbagai hal mengenai pelayaran dan cara menjalankan kapal. Siska menyetok gudang Khatulistiwa dengan berbagai makanan enak untuk bekal selama perjalanan.

Persiapan mereka diganggu Randy yang sempat meracun Skipper—anjing golden retriever kesayangan Alex. Untung Skipper bisa diselamatkan.

Alex dan Siska bekerja keras supaya bisa berangkat secepatnya, tapi suatu malam Siska muncul dengan keadaan kacau balau, mengaku baru akan diperkosa Randy. Keadaan itu memaksa mereka untuk segera berlayar, siap atau tidak.

Perjalanan sampai ke Kepulauan Seribu cukup lancar. Tapi sampai di Pulau Sepa, Randy dan kawanannya menghadang mereka, memukuli Alex, dan membawa Siska. Dengan upaya keras, Alex berhasil membawa kembali Siska. Mereka langsung berangkat menuju Pulau Bangka.

Pulau Bangka berhasil mereka capai, dan baru mereka menghubungi orangtua mereka. Tidak heran, mereka dimarahi habis-habisan. Orangtua Siska bahkan mau melaporkan Alex ke polisi. Tapi di luar masalah itu, kedua remaja ini bersenang-senang menikmati laut Pulau Bangka yang jernih, dan kekayaan kuliner pempek, ikan bakar, dll, yang nikmat.

Perjalanan dilanjutkan ke Kepulauan Natuna. Mereka sempat dihadang perompak, cuaca buruk, juga sempat mengalami masalah di jalur laut yang padat. Tapi, sampai di Natuna, mereka ternyata berhasil menemukan ayah kandung Alex!

Apakah kisah ini berakhir bahagia? Masih ada kejutan seru di ujung cerita.

Si pengarang yang rupanya juga bukan anak laut (data diri menyebutkan dia tinggal di Bogor dan Bandung) pasti bekerja keras sehingga cerita pelayaran, bentuk kapal, kejadian-kejadian di laut, dan rute pelayaran Jakarta – Kepulauan Natuna bisa tampil sangat mendetail dan hidup. Bukan hanya itu, detail-detail kapal layar dan data teknis, deskripsi tentang laut dan kekayaan alam tempat-tempat yang dikunjungi Alex dan Siska juga sangat menggugah dan enak dinikmati. Selain itu deskripsi yang enak dinikmati juga deskripsi tentang makanan. Bekal kornet buatan Siska, spageti, lontong sayur buat sarapan, dan makanan yang mereka santap di Bangka. After all, bukankah kata orang angin laut itu membuat lapar?

Howl's Moving Castle-Diana Wynne Jones

Ini buku yang aneh. Tapi begitulah kebanyakan buku fantasi, bukan? Satu hal yang saya sukai dari buku ini (selain cover versi Indonesia-nya yang brilian banget!), adalah dia berbeda dengan filmnya. Terus terang, di tengah membaca Howl's Moving Castle, saya menonton animasinya. Animasinya, menurut saya, yah... jelek. Payah. Tidak menggugah. Dan jauh lebih aneh daripada bukunya. Sedih deh pokoknya.
Sementara bukunya, sebetulnya lucu. Lucu banget malah! Dan mengeksplorasi cerita yang sangat bisa dinikmati oleh pembaca anak-anak. Meskipun aneh... hahaha...

Jadi, begini... Cerita ini berlangsung di Ingary, negeri sihir, tempat nenek sihir atau penyihir itu hal yang wajar, dan orang biasa minta jampi-jampi untuk hidup sehari-hari dan takdir ini-itu merupakan hal biasa. Demikian pula takdir, Sophie Hatter, tokoh utama buku ini. Sophie ditakdirkan sial karena lahir sebagai anak pertama dari 3 bersaudara yang cewek semua. Takdir sial itu menjadi nyata saat Nenek Sihir dari Waste yang jahat karena satu dan lain hal yang baru ketauan di ujuuuuuuuuuuuung cerita, benci padanya, dan menyihirnya menjadi nenek-nenek.

Sophie yang aslinya masih remaja itu pergi dari rumah dan terpaksa berlindung di Istana Bergerak milik Penyihir Howl. Sebenarnya penduduk sekitar takut pada penyihir ini karena gosipnya dia suka memangsa gadis-gadis muda. Ndilalah, ternyata Howl cuma penyihir pemalas yang playboy cap duren tiga! Segala tingkah Howl yang bolak-balik naksir cewek dan patah hati inilah yang membuat kelucuan sepanjang cerita.

Sementara itu istana bergerak bisa berjalan terus karena ada Michael, murid Howl, yang bersih-bersih dan mengurus istana, serta Calcifer, si jin api yang tinggal di perapian dan membuat sihir supaya istana bisa berpindah-pindah tempat. Sophie segera bergabung dengan keduanya, dan berusaha keras supaya istana bisa terlihat rapi, bersih, dan mengurus Howl supaya tidak lupa mencari nafkah bagi mereka (dengan menjual mantra). Tentu saja, diam-diam Sophie membuat perjanjian saling membebaskan dengan Calcifer. Sophie akan mencoba mematahkan mantra yang mengikat Calcifer pada Howl, dan sebagai imbalannya Calcifer akan mengembalikan Sophie ke wujudnya yang gadis remaja.

Dalam perjalanan waktu, Sophie mendapati bahwa Howl mungkin naksir adik perempuannya. Oh, gawat! Sophie berusaha menggagalkan niat Howl. Tapi kemudian mendapati Michael ternyata pacaran dengan adik perempuannya yang lain! Sementara itu Howl pergi ke tanah Wales, lewat pintu ajaib, dan sepertinya naksir Miss Angorian. Sophie makin kelabakan. Di lain pihak, Howl mendapat perintah dari Raja untuk mencari adiknya, Pangeran Justin dan penyihir kerajaan, Suliman, yang hilang. Kemungkinan mereka hilang disihir Nenek Sihir dari Waste. Howl yang pemalas berusaha menghindar dari tugas itu dan melibatkan Sophie supaya berpura-pura jadi ibunya di depan raja dan memberikan rekomendasi buruk.

Cerita makin ruwet dan aneh saat ibu tiri Sophie serta adik-adiknya muncul, dan Nenek Sihir dari Waste berhasil melacak dan menyandera keluarga Howl supaya penyihir itu mau bertarung dengannya. Dan akhirnya Sophie memberanikan diri masuk ke markas besar Nenek Sihir dari Waste.

Ujungnya? Biarpun aneh dan ruwet, sebetulnya novel ini lucu dan menghibur dan penuh hal ajaib—bahkan bunga-bunga indah yang mekar dengan sihir. Jelas, berbeda jauh dengan animasinya yang tiba-tiba bercerita tentang perang. Perang? Hah? Di Ingary? Hahaha... Dalam cerita tentang para penyihir yang malas dan nenek-remaja yang sok tahu ini, kayaknya perang membutuhkan komitmen yang terlalu besar.