Kamis, 26 November 2009

Tentang Plagiarisme

Wah! Ini topik yang lumayan berat, tapi biarlah jadi sekadar curhat.

Ceritanya begini, sekitar 2 minggu yang lalu saya mendapati buku yang sebenarnya lebih tepat disebut biografi, tapi oleh penulis dan penerbitnya disebut novel. Okelah. Tokohnya sudah saya kenal dari artikel majalah Intisari tahun 1980-an (artinya saya baca waktu saya masih SD, jadi maaf-maaf kalau ternyata ingatan saya sudah banyak bolongnya). Saya masih ingat tokoh ini pasti karena waktu saya membaca soal dirinya dulu kisah hidupnya menarik sekali. Sebut inisialnya OHL. Dia putri OTH, orang terkaya di Indonesia zaman Belanda dulu. Pastinya kisah hidupnya membuat silau saya dulu, saking dia punya segala macam yang tidak dipunyai saya yang masih kecil dulu (sampai sekarang juga sih... hehehe...).

Penulisnya yang mencantumkan embel-embel penulis pilihan, blogger pilihan, dll dsb pun menarik bagi saya. Apakah tulisan orang pilihan ini benar-benar oke?

Hmm... waktu saya mulai membaca, insting editor saya mulai bekerja. Siapa sih yang milih orang ini jadi penulis pilihan? *Gosh, emosi mulai terlibat... hehehe...* Anyway, saya tidak mau membahas itu dan gaya menulisnya yang... yaaaah... Membuktikan bahwa asal punya keberanian untuk mem-publish tulisan, kamu bisa terpilih jadi yang "pilihan" itulah.

Yang ingin saya bahas adalah... saya merasa membaca ulang artikel Intisari zaman dulu itu. Entah bagaimana--mungkin sebenarnya saya punya photography memory, cuma selama ini nggak sadar--semua yang saya baca di buku itu sama persis dengan yang saya baca di artikel Intisari. Padahal saya berharap mendapat sudut pandang yang berbeda, mendapat hasil riset lebih jauh tentang hidup tokoh OHL ini. Mmm... nggak... Saya merasa sekali si penulis cuma menulis ulang, entah dari artikel Intisari itu atau dari buku yang mendasari penulisan artikel tersebut.

Ya sudahlah. Sisi baiknya adalah saya jadi bisa membaca ulang (meskipun dengan sedikit misuh-misuh dan sakit kepala) kisah hidup si tokoh OHL.

Cerita berikut tentang plagiarisme adalah novel Jody Picoult yang baru-baru ini ada film Hollywood-nya, "My Sister's Keeper". Mmm... Hollywood kalah cepat sama sinetron lokal, bo! Novel ini sudah tayang sekitar satu setengah tahun yang lalu di salah satu TV lokal Indonesia. Dan yang lucunya, setelah sinetron tersebut tayang dan jadi bahan omongan di kantor, saya mendapat tugas mengedit buku soal penulisan skenario sinetron. Dan oh la la! Skenario "My Sister's Keeper" ini jadi bahan contoh skenario di dalam buku tersebut! Sama persis per adegan... yaaa okelah... si penulis skenario sinetron mengembangkan ide cerita (hihihi...). Tapi, kok bisa ya?

Sudah beberapa kali saya tulis bahwa semua ide itu sudah basi. Di blog ini, di blog friendster saya. Ide sudah basi, karena... apa yang belum dieksplorasi di zaman ini? Yang baru cara penyampaiannya. Dan... kalau kamu mendapat ide dari sesuatu yang lama, ingin mengeksplorasinya lagi, menuliskannya lagi... please, do it your own way. It may save your face some day. Yah, paling nggak kalau kamu menuliskannya dengan cara dan pikiran kamu sendiri, nggak akan ada orang iseng menuliskan sesuatu seperti ini tentang kamu.

Kamis, 05 November 2009

The Hunger Games~Suzanne Collins

Reality show di alam liar. Pasti langsung kebayang Survivor deh. Tapi gimana kalau peserta-peserta reality show itu dipaksa ikut, bukan menawarkan diri? Dan gimana kalau cara keluar hidup-hidup dari acara TV itu hanya dengan menjadi pemenang dan membunuh semua lawan?


Alkisah, tidak ada lagi yang namanya Amerika Serikat. Di lokasi bekas negara itu berdiri negara Panem, yang terdiri atas Capitol (ibu kotanya) dan 12 Distrik. Orang-orang hidup seperti di zaman batu... atau tepatnya seperti dalam film-film Mad Max atau Waterworld—saat di bumi sudah tidak ada apa-apa lagi, cuma padang pasir atau laut tak berbatas atau... yah, penguasa negeri yang keji dan tiran.


Capitol—si penguasa tiran—mengadakan Hunger Games tiap tahun. Tujuan permainan ini adalah memberi peringatan pada 12 Distrik bawahannya, bahwa Capitol-lah yang berkuasa. Dalam permainan ini, ke-12 distrik harus menyumbang sepasang remaja laki-laki dan perempuan sebagai pesertanya. Jadi total peserta 24 orang. Mereka ditempatkan di wilayah imajiner yang dibuat sesuai kepentingan permainan, dan dipersilakan saling membunuh di sana. Yang terakhir hidup adalah pemenangnya.


Tak usah disebutkan lagi, semua orang benci Capitol, tapi tidak berani melawannya. Sedikit yang masih punya keberanian masih bisa mengisi perut. Seperti Katniss Everdeen, cewek 16 tahun, dari Distrik 12, yang masih berani berburu di hutan, meskipun itu terlarang. Sehari-hari sepulang sekolah Katniss berburu ditemani Gale, cowok 17 tahun. Hubungan mereka... mmm... bukan pacar, cuma teman baik sekali.


Di hari pengundian nama peserta Hunger Games tahun itu (yang wajib diikuti oleh semua remaja umur 12-18 tahun), nama Primrose, adik Katniss keluar sebagai peserta. Tanpa pikir panjang Katniss mengajukan diri sebagai gantinya. Bersamanya terpilih Peeta Mellark sebagai wakil Distrik 12.


Mulailah mereka sebagai boneka Capitol. Didandani, disuruh belajar berbagai cara penyelamatan diri di alam liar arena Hunger Games. Dan bersandiwara supaya bisa menarik perhatian para sponsor, karena bantuan sponsorlah yang bisa menentukan hidup/mati mereka di arena.


Peeta hebat sekali saat mengatakan dia jatuh cinta pada Katniss sejak kecil. Segera saja mereka memainkan pasangan cinta tak sampai dan menarik simpati jutaan penonton di Capitol serta seluruh Panem. Ditambah lagi, keunggulan Katniss berburu membuatnya tak terkalahkan dalam arena. Mereka bersembunyi di hutan arena, lari dari kejaran anak-anak distrik lain yang haus darah.


Pada akhirnya mereka mengubah peraturan Hunger Games. Tapi bagaimana hubungan Katniss dan Peeta sebenarnya? Bagaimana hubungan Katniss dengan Gale? Dan bagaimana pendapat Capitol tentang dua remaja dari Distrik 12 ini?


Membaca buku ini membuat kita membayangkan hal-hal yang tak terbayangkan. Misalnya, apa yang akan terjadi puluhan atau ratusan tahun dari sekarang? Apakah negara kita masih berdiri? Apakah negara adikuasa seperti Amerika masih berdiri? Apakah tiran dan kemasabodohan, seperti yang dulu di abad-abad kegelapan terjadi, bisa terjadi lagi? Apakah segala teknologi yang sekarang kita miliki ini bisa terus membantu kita, atau cuma akan membantu kelas-kelas masyarakat tertentu saja nantinya? Apakah kemiskinan akan terus ada, bahkan semakin menjurang dengan masyarakat kelas atas? Apakah selamanya manusia akan haus darah?


Daripada pusing berandai-andai, ikut saja berdebar-debar bersama Katniss dan Peeta dalam Hunger Games. Dan tunggu kelanjutan buku keduanya!

Garudayana~Is Yuniarto

Saya tertarik membeli komik lokal ini setelah membaca ulasannya dalam The Jakarta Globe. Terus terang, saya tertariknya karena tema komik ini soal wayang-wayang Mahabarata, soalnya dari kecil dulu saya sudah jadi penikmat Mahabarata dan Ramayana sih. (Baca ulasan sebelumnya soal The Palace of Illusions~Chitra Banerjee Divakaruni.)


Sekarang wayang dibuat komik modern... hmmm...


Kalau bicara komik, kita mesti bicara gambarnya. Dan gambar-gambar dalam Garudayana ini “Jepang bangeeet”! Hahaha... Tapi lucu-lucu kok. Saya suka tarikan garisnya yang bersih, dan tokoh-tokohnya yang ekspresif. Gambar tokoh-tokohnya juga bagus-bagus, terutama gambar tokoh Mas Ganteng Arjuna, yang pada pandangan pertama jadi... Legolas! Ha? (Kucek-kucek mata!) Legolas? Benar? Tapi kok namanya Arjuna... hahaha... whatever... Jelas Is Yuniarso berhasil banget menuangkan sosok Arjuna yang jadi pujaan kaum perempuan.


Soal kisah dan penceritaan Is Yuniarso juga berhasil banget menciptakan dan menganyam tokoh-tokoh baru ke dalam cerita yang sudah ada pakemnya. Tokoh Kinara dan si burung Garuda kecil ini pas banget untuk jadi sentral cerita. Mereka juga yang menghidupkan cerita dan membuat saya ketawa-ketawa geli melihat gambar-gambar ekspresi mereka.


Kisahnya diawali dari tokoh Kinara muncul di Lembah Para Batara dengan tujuan merampok kuburan. Kinara langsung diserang siluman harimau dan beraksi bak AJo di Tomb Raider. Huh, pokoknya seru bo! Sembari beraksi (plus adegan dagelan, namanya juga komik), Kinara mendengar suara minta tolong. Ternyata suara itu datang dari telur Garuda yang disimpan siap disantap Ashuka (raksasa). Memegang si telur, Kinara lalu dikejar si raksasa. Tapi kemudian muncul Gatotkaca... Sementara Kinara dan si Garuda kecil yang baru menetas selamat. Tapi mereka kemudian terjebak dalam perebutan Garuda antara pihak Pandawa dan Kurawa. Huuu... seru...


Ditutup dalam sesaat santai yang digunakan Garuda untuk belajar terbang, mungkin ini komik Indonesia yang saya rasa sukses dalam hal gambar dan cerita. Tentu jadi nggak sabar baca buku keduanya!

Rabu, 29 Juli 2009

Palace of Illusions ~ Chitra Banerjee Divakaruni

“Mahabarata dari sudut pandang Dropadi.”

Waw! Sebagai penggemar Mahabarata saya sudah membaca berbagai versinya. Mulai dari cerita bergambar, sampai kitab lusuh yang berpanjang-panjang memuat percakapan Arjuna dan Kresna saat Arjuna dilanda kebimbangan di medan perang. Tapi belakangan saya agak malas membaca berbagai versi baru Mahabarata yang muncul di toko buku. What's new?

Inilah yang “new”, Mahabarata dari sudut pandang Dropadi. Tokoh kontroversial yang selama ini sangat sedikit diulas, meskipun perannya dalam mencetuskan perang raya di padang Kurusetra lumayan besar. Dan tentu saja versi Mahabarata yang ini sangat baru, karena dipandang dari mata seorang perempuan. Waw! (Sekali lagi.) Divakaruni benar-benar iseng, nekat, sangat imajinatif, dan berani! Dan hasilnya adalah kisah yang benar-benar baru. Penuh rasa, penuh detail, penuh emosi, sangat perempuan. Saya sangat menikmati membaca Mahabarata yang ini.

Diawali dengan latar belakang Dropadi (saya merasa agak aneh dengan penulisan nama ini karena lebih terbiasa dengan “Drupadi”) yang jarang-jarang terungkap, kisah ini awalnya mengalir mulus dan riang. Dropadi cilik sampai remaja adalah gadis cerdas yang selalu ingin tahu dan tidak sabaran. Juga agak tidak pede karena kulitnya hitam. Tapi dia diselimuti cinta kakaknya, Drestadyumna (susah bener, untung sepanjang cerita dia disebut Dre saja) dan sahabatnya Krishna.

Dre dan Dropadi lahir karena ayah mereka, Raja Dropada, ingin balas dendam pada Dorna, brahmana guru para Pandawa dan Korawa. Oleh karena itu Dre dididik komplet soal pemerintahan dan pertarungan, sementra Dropadi nebeng pendidikannya. Tapi sebagai gadis, Dropadi terpaksa tidak bisa mengikuti seluruh langkah Dre, dan harus juga belajar hal-hal kewanitaan.

Suatu saat Dropadi ikut pengasuhnya ke seorang brahmana peramal. Oleh sang brahmana, Byasa (yang menuliskan kisah Mahabarata, dan ikut berperan di dalamnya) Dropadi diberitahu dia akan memiliki 5 suami, dan masa depannya akan heboh banget, terutama karena sifatnya yang tidak sabaran dan pemarah. Dropadi tentu tidak percaya pada ramalan itu. Ia hanya senang karena sang brahmana memberinya nama baru, Panchali.

Selang beberapa lama, Raja Dropada membuat sayembara untuk menikahkan Dropadi. Sasarannya adalah Arjuna, supaya para Pandawa bisa menjadi sekutu mereka saat konfrontasi dengan Drona datang. Saat sayembara, Dropadi menghina Karna (sahabat Duryudana, Raja Angga dan yang disangka anak kusir kereta). Mulailah hubungan cinta dan benci keduanya. Seperti yang diinginkan, Arjuna memenangkan Dropadi dan membawanya kepada saudara-saudaranya. Tak disangka, di pintu rumah, gurauan Bima disambut Kunti (ibu para Pandawa) dengan “Apa pun yang kalian bawa itu harus dibagi untuk kelima putraku.” Dengan demikian jadilah Dropadi istri kelima Pandawa, sesuai ramalan Byasa. Dengan pengaturan tertentu, Dropadi berganti suami setiap satu tahun sekali.

Para Pandawa membawa Dropadi ke Hastinapura, lalu ke daerah yang diberikan Drestarata si raja buta kepada mereka. Di daerah baru itu mereka membangun Istana Khayalan, tempat yang sangat dicintai Dropadi. Wilayah yang asalnya gersang itu pun segera menjadi makmur, dan disebut Indraprastha.

Bencana datang dalam bentuk permainan dadu. Saat memenuhi undangan Duryudana untuk datang ke Hastinapura, Yudistira kalah main dadu dan kehilangan segalanya; kekayaan, istana, adik-adiknya, dan bahkan Dropadi. Dropadi diseret ke ruang singgasana, dan akan ditelanjangi. Dengan bantuan dewata, niat jahat itu gagal. Dropadi bersumpah tidak akan menyisir rambutnya lagi sebelum mengeramasinya dengan darah para Korawa.

Para Pandawa terbuang ke hutan selama 12 tahun. Dropadi menyertai suami-suaminya. Di tahun ke-13, mereka bersembunyi di istana Wirata. Selanjutnya menyusun kekuatan untuk menyerang para Korawa.

Di bagian ini cerita menjadi gelap karena Divakaruni dengan piawai memaparkan dendam dan kebencian perempuan yang dipermalukan. Perempuan yang harus mendorong para lelakinya untuk membela kehormatan dirinya. Perempuan yang berusaha dengan cara apa pun untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Perempuan yang mengerikan.

Perang pecah, dan berakhir mengerikan. Meskipun Pandawa menang, tapi mereka kehilangan makna kemenangan itu sendiri. Saat mereka memerintah Hastinapura dan menjadikannya kerajaan yang makmur sekalipun, bayang-bayang dosa-dosa perang tidak bisa meninggalkan mereka.

Secara garis besar, kisah ini sama sekali tidak melenceng dari Mahabarata yang saya kenal. Tapi bumbu-bumbunya membuat kisah ini berbeda. Dan makna yang tersirat pada kisah ini sangat jelas. Belajarlah mengontrol emosi, belajarnya menjadi dewasa, buanglah dendam. Dan tentu saja, tidak ada manusia yang sempurna. Selain itu kisah cinta Dropadi dengan lelaki-lelakinya juga sangat menarik. Utamanya hubungannya dengan Karna dan Krishna. Betapa Dropadi mencintai Krishna secara platonis, selalu kehilangan Krishna, selalu ingin didampingi Raja Dwaraka itu. Sementara dengan Karna, hati Dropadi terbelah. Sedari remaja dia naksir sang Raja Angga, tapi takdir menetapkan mereka selalu berseberangan. Di detik terakhir, Dropadi baru tahu bahwa Karna pun mencintainya, tapi sudah takdir Karna untuk mati di padang Kurusetra.

Anyway, siapa pun yang tertarik pada Mahabarata atau pada seluk-beluk gelap pikiran perempuan harus membaca buku ini. It's a page turner, jelas tidak rugi menguliknya.

Minggu, 12 Juli 2009

Belajar Mengarang

Cukup sering orang bertanya bagaimana caranya jadi pengarang kepada saya. Pertanyaan yang agak sulit saya jawab, karena saya “menjadi pengarang” dengan learning by doing. Saya tidak pernah ikut kursus, tidak pernah benar-benar hafal apa bedanya deskripsi, narasi, persuasi, dkk itu, dan tidak pernah benar-benar punya guru juga. Tapi secara umum, inilah yang saya lakukan.

1.Fokus
Maksudnya, kamu mau jadi pengarang apa? Zaman sekarang pengarang dan jenisnya tumbuh kayak jamur di musim penghujan (hah, ungkapannya lame banget!) Ada pengarang novel, ada pengarang blog, ada pengarang artikel di koran, ada pengarang cerita sinetron, ada pengarang skenario film. Masing-masingnya masih bercabang lagi, ada pengarang cerita horor, ada pengarang artikel olahraga, ada pengarang artikel perjalanan, ada pengarang ulasan gadget terbaru, and so on, and so on. Banyak banget. Kamu mau yang mana? Tentu kamu harus pilih mana yang paling kamu suka. Mana yang paling kamu kenal. Zaman saya baru lulus SMA dulu, saya suka banget sama musik dan cerita fiksi, jadi saya pengin banget kerja di Rolling Stone, jadi penulis musik yang kerjanya ngeliput konser-konser (imbas kebanyakan baca HAI yang waktu itu asyik banget juga sih.) So, saat itu saya fokus untuk jadi penulis artikel musik. Saya mendengarkan banyak kaset (yap, masih zaman kaset) dan berusaha memberi komentar cerdas bagi apa yang saya dengar. Saya juga banyak membaca soal musik masa kini dan sejarahnya. Blablabla... Pokoknya itu “era musik” dalam hidup saya.

2.Jangan berhenti, terus menulis
Begitu berhenti, mulai lagi akan terasa kaku. Contoh paling jelas yang saat ini saya alami. Mengurus anak membuat saya berhenti nge-blog. Alhasil, tulisan pun menurun dalam hal kualitas dan kuantitasnya.
Sebaliknya, tahun 2005, saat saya mengalami ledakan kreatifitas, tulisan mengalir tiada henti. Cerpen-cerpen saya beberapa berhasil dipublikasikan, meskipun bukan di media kelas satu juga. Artikel-artikel perjalanan saya pun beberapa berhasil nampang di majalah.
Jadi, teruslah menulis, mau itu cuma catatan harian, mau itu tulisan serius. Atau bahkan daftar belanja sekalipun. Menulis membuat kamu berpikir, dan semakin banyak kamu berpikir semakin lancar kamu menulis. Ini efek bola salju yang diinginkan, bukan?

3.Be creative
Lihat ungkapan “jamur di musim penghujan” di poin 1? Basi banget, kan? Mestinya kamu bisa lebih kreatif dari saya dan menciptakan ungkapan baru untuk “banyak banget”. Apa kek, laron ngerubungin lampu, misalnya. Atau ikan teri dalam tampah di pasar. Atau beras di lumbung. Apa pun deh. Terus terang tahun-tahun belakangan ini kreatifitas saya menurun drastis. Zaman saya masih kuliah dulu, saya bisa menciptakan ucapan yang benar-benar asyik dalam kartu ulang tahun untuk teman-teman saya. Sekarang? Bah, paling-paling saya cuma bilang “semoga segala yang indah-indah ya!” Menyedihkan.

4.Baca, baca, baca
Terutama bacaan yang ingin kamu jadikan sasaran. Maksud saya, kalau kayak saya zaman dulu itu, pengin jadi penulis musik, ya kamu mesti banyak-banyak baca soal musik. Kalau pengin jadi pengarang novel kayak Agatha Christie, ya bacalah novel-novel dia. Kalau pengin jadi penulis politik, bacalah buku “Interview with History”-nya Oriana Fallaci atau biografinya Barrack Obama. Selain itu baca juga artikel-artikel atau buku-buku yang menunjang. Semakin banyak kamu membaca, semakin banyak pengetahuan kamu, dan semakin kaya dan asyik tulisan kamu nanti.

5.Riset
Mungkin contoh riset yang bagus adalah Bilangan Fu-nya Ayu Utami. Bukan sekadar membaca dan meng-google, Ayu Utami sekalian jadi pemanjat tebing. Cuma mungkin riset dia agak terlalu lama sih. Lama atau cepatnya riset ini ya mesti tergantung sama jenis tulisan juga. Misalnya wartawan yang nulis soal meninggalnya Michael Jackson kemarin paling-paling mengambil bahan tulisannya dari artikel-artikel yang dia google, tapi kalau kamu mau menulis soal kisah cinta atlet berkuda gitu mungkin ya kamu mesti belajar naik kuda juga, sama kayak Ayu Utami belajar panjat tebing. Anyway, sebenarnya riset Ayu Utami tidak sekadar panjat tebingnya sih, tapi juga soal keadaan sosial politik agama seksualitas dll dsb.
Selain riset bacaan, tontonan, dll., kamu juga mesti jadi pengamat kehidupan. After all, itu kan yang akan kamu tulis?

6.Ambil jarak dan terima kritik
Kalau tulisan kamu sekadar artikel, yang artinya masa hidupnya agak pendek, maka mungkin kamu tidak sempat ambil jarak. Tapi kamu tetap bisa terima kritik. Biasanya saya agak manyun kalau dikritik... hehehe... Tapi setelahnya, saya biasa akan memikirkan kritik itu lagi dan berusaha menerapkannya pada tulisan berikutnya.
Lain halnya kalau yang kamu tulis itu novel panjang. Dalam bukunya, On Writing, Stephen King mengaku bahwa setelah selesai menulis satu novel, dia akan menggudangkan naskah itu paling tidak selama enam bulan. Selama enam bulan itu dia berusaha tidak memikirkan novel tersebut. Dia akan menulis novel baru, jalan-jalan, main-main, nonton film, ngapain aja deh asalkan tidak berkaitan dengan novel itu. Setelah ada jarak, baru dia membuka lagi novel yang bersangkutan. Biasa dia jadi punya perspektif baru tentang novel itu, dan bisa melakukan autokritik yang bagus. Dia bisa melihat kelemahan-kelemahan novel itu, dan memperbaikinya. Dia bisa melihat bagian-bagian yang harus ditambah, simpul yang masih belum erat, dll. Masalahnya, saya tahu banget para pengarang Indonesia—terutama yang muda-muda ini, semuanya tidak sabaran!

7.Jejaring dan teman-teman
SKSD alias sok-kenal-sok-dekat sering kali berguna juga untuk membuat tulisan kamu jadi dimuat. Pertama kali saya berhasil menulis dan dimuat di majalah karena awalnya saya menulis surat pada redaktur majalah yang saya kagumi. Bukan hanya itu, dengan SKSD-nya, saya lalu menelepon redaktur yang bersangkutan, menanyakan apakah dia sudah menerima surat dan contoh tulisan saya. Berikutnya, saya mendapat order untuk membuat tulisan bagi dia! Yay!
Di luar urusan muat-memuat dan terbit-menerbitkan tulisan, teman-teman juga berguna sekali sebagai pembaca pertama. Siapa lagi korban kita kalau bukan mereka? Sahabat saya dengan tanpa perasaannya berkata, “Lo harus bercerita dong, Say...” saat saya minta dia membaca novel saya (yang sampai sekarang belum terbit juga) Kejamnya dirinya! Tapi dia membuat saya kemudian menyadari novel itu masih kurang berdaging.

8.Kirim-kirim
Jangan malu-malu untuk mengirim tulisan. Risiko paling jelek apaan sih? Setelah setahun tidak ada kabar, tulisan kamu terus ditolak? Biasaaaaaaa... Yang penting kamu tidak mati, kan? Masih ada napas berarti masih ada kesempatan buat menulis lagi. Jangan berhenti! Maju terus!
Yang penting dalam hal kirim-mengirim ini, perhatikan karakter penerbit yang kamu tuju. Kalau kamu menulis artikel berbau agama, jangan kirim ke majalah remaja (kecuali memang untuk edisi khusus hari raya agama yang bersangkutan). Kalau kamu menulis artikel tentang memancing ya jangan dikirim ke majalah ibu-ibu. Tanpa menunggu berbulan-bulan, artikel kamu pasti ditolak.
Itu cuma contoh ekstrem. Perhatikan detailnya, perhatikan tema apa yang biasa diterbitkan, perhatikan gaya penulisan yang diterbitkan. Buka situs penerbit tujuan kamu, cari tahu syarat-syarat mengirim naskah ke sana. Dan akhirnya, kirimkan naskah yang “bersih”. Soal naskah yang bersih ini pernah saya bahas dalam posting sebelumnya.

Jadi, mungkin tips-tips ini agak basi. Tapi inti besarnya adalah, jangan menyerah dan terus berlatih! Tetap semangat!

Khatulistiwa-Edward Stefanus Murdani

Di negara kepulauan terbesar di dunia ini, sebetulnya menyedihkan tidak banyak novel yang menjadikan laut, berenang, berlayar, dan main-main air sebagai latar belakangnya. Syukurlah ada Khatulistiwa.

Tema pelayaran erat sekali membungkus semua alur cerita novel ini. Khatulistiwa adalah nama perahu layar mungil yang dimiliki Alex, tokoh utamanya. Yah, meskipun Indonesia negara kepulauan, tapi nggak semua orang di negara ini bisa punya perahu sih. Alex kebetulan beruntung karena kakeknya yang pengusaha perkapalan besar (jenis tanker gitu kali) mewariskan perahu layar ini pada cucu semata wayangnya.

Alex lebih banyak menghabiskan waktunya di atas Khatulistiwa dan berlayar mengelilingi Kepulauan Seribu di utara Jakarta. Pasalnya, dia memang gerah di rumah karena orangtuanya acap bertengkar soal ini-itu. Selain itu, Alex juga “menghindar” dari Siska, cewek yang ditaksirnya, karena mendapat peringatan dari ibu cewek itu bahwa Siska sudah dijodohkan dengan Randy, anak teman bisnis keluarga mereka.

Saat libur kelulusan SMA, Alex berniat berlayar agak jauh ke Kepulauan Karimun Jawa di utara Semarang, dan pulang untuk minta izin orangtuanya. Tak disangka, begitu sampai di rumah, dia menyaksikan orangtuanya sedang bertengkar dan ayahnya menyebut dirinya anak haram. Bukan hanya itu, ayahnya juga memukul ibunya. Alex balik memukul ayahnya, lalu lari kembali ke Khatulistiwa.

Setelah mengetahui ayah kandungnya ternyata tinggal di Kepulauan Natuna, Alex putar haluan ke utara, berniat pergi ke kepulauan dekat Singapura itu untuk mencari ayahnya. Siska ingin ikut, karena ingin menjauh juga dari Randy.

Mulailah kedua remaja itu menyusun rencana. Alex mengajari Siska berbagai hal mengenai pelayaran dan cara menjalankan kapal. Siska menyetok gudang Khatulistiwa dengan berbagai makanan enak untuk bekal selama perjalanan.

Persiapan mereka diganggu Randy yang sempat meracun Skipper—anjing golden retriever kesayangan Alex. Untung Skipper bisa diselamatkan.

Alex dan Siska bekerja keras supaya bisa berangkat secepatnya, tapi suatu malam Siska muncul dengan keadaan kacau balau, mengaku baru akan diperkosa Randy. Keadaan itu memaksa mereka untuk segera berlayar, siap atau tidak.

Perjalanan sampai ke Kepulauan Seribu cukup lancar. Tapi sampai di Pulau Sepa, Randy dan kawanannya menghadang mereka, memukuli Alex, dan membawa Siska. Dengan upaya keras, Alex berhasil membawa kembali Siska. Mereka langsung berangkat menuju Pulau Bangka.

Pulau Bangka berhasil mereka capai, dan baru mereka menghubungi orangtua mereka. Tidak heran, mereka dimarahi habis-habisan. Orangtua Siska bahkan mau melaporkan Alex ke polisi. Tapi di luar masalah itu, kedua remaja ini bersenang-senang menikmati laut Pulau Bangka yang jernih, dan kekayaan kuliner pempek, ikan bakar, dll, yang nikmat.

Perjalanan dilanjutkan ke Kepulauan Natuna. Mereka sempat dihadang perompak, cuaca buruk, juga sempat mengalami masalah di jalur laut yang padat. Tapi, sampai di Natuna, mereka ternyata berhasil menemukan ayah kandung Alex!

Apakah kisah ini berakhir bahagia? Masih ada kejutan seru di ujung cerita.

Si pengarang yang rupanya juga bukan anak laut (data diri menyebutkan dia tinggal di Bogor dan Bandung) pasti bekerja keras sehingga cerita pelayaran, bentuk kapal, kejadian-kejadian di laut, dan rute pelayaran Jakarta – Kepulauan Natuna bisa tampil sangat mendetail dan hidup. Bukan hanya itu, detail-detail kapal layar dan data teknis, deskripsi tentang laut dan kekayaan alam tempat-tempat yang dikunjungi Alex dan Siska juga sangat menggugah dan enak dinikmati. Selain itu deskripsi yang enak dinikmati juga deskripsi tentang makanan. Bekal kornet buatan Siska, spageti, lontong sayur buat sarapan, dan makanan yang mereka santap di Bangka. After all, bukankah kata orang angin laut itu membuat lapar?

Howl's Moving Castle-Diana Wynne Jones

Ini buku yang aneh. Tapi begitulah kebanyakan buku fantasi, bukan? Satu hal yang saya sukai dari buku ini (selain cover versi Indonesia-nya yang brilian banget!), adalah dia berbeda dengan filmnya. Terus terang, di tengah membaca Howl's Moving Castle, saya menonton animasinya. Animasinya, menurut saya, yah... jelek. Payah. Tidak menggugah. Dan jauh lebih aneh daripada bukunya. Sedih deh pokoknya.
Sementara bukunya, sebetulnya lucu. Lucu banget malah! Dan mengeksplorasi cerita yang sangat bisa dinikmati oleh pembaca anak-anak. Meskipun aneh... hahaha...

Jadi, begini... Cerita ini berlangsung di Ingary, negeri sihir, tempat nenek sihir atau penyihir itu hal yang wajar, dan orang biasa minta jampi-jampi untuk hidup sehari-hari dan takdir ini-itu merupakan hal biasa. Demikian pula takdir, Sophie Hatter, tokoh utama buku ini. Sophie ditakdirkan sial karena lahir sebagai anak pertama dari 3 bersaudara yang cewek semua. Takdir sial itu menjadi nyata saat Nenek Sihir dari Waste yang jahat karena satu dan lain hal yang baru ketauan di ujuuuuuuuuuuuung cerita, benci padanya, dan menyihirnya menjadi nenek-nenek.

Sophie yang aslinya masih remaja itu pergi dari rumah dan terpaksa berlindung di Istana Bergerak milik Penyihir Howl. Sebenarnya penduduk sekitar takut pada penyihir ini karena gosipnya dia suka memangsa gadis-gadis muda. Ndilalah, ternyata Howl cuma penyihir pemalas yang playboy cap duren tiga! Segala tingkah Howl yang bolak-balik naksir cewek dan patah hati inilah yang membuat kelucuan sepanjang cerita.

Sementara itu istana bergerak bisa berjalan terus karena ada Michael, murid Howl, yang bersih-bersih dan mengurus istana, serta Calcifer, si jin api yang tinggal di perapian dan membuat sihir supaya istana bisa berpindah-pindah tempat. Sophie segera bergabung dengan keduanya, dan berusaha keras supaya istana bisa terlihat rapi, bersih, dan mengurus Howl supaya tidak lupa mencari nafkah bagi mereka (dengan menjual mantra). Tentu saja, diam-diam Sophie membuat perjanjian saling membebaskan dengan Calcifer. Sophie akan mencoba mematahkan mantra yang mengikat Calcifer pada Howl, dan sebagai imbalannya Calcifer akan mengembalikan Sophie ke wujudnya yang gadis remaja.

Dalam perjalanan waktu, Sophie mendapati bahwa Howl mungkin naksir adik perempuannya. Oh, gawat! Sophie berusaha menggagalkan niat Howl. Tapi kemudian mendapati Michael ternyata pacaran dengan adik perempuannya yang lain! Sementara itu Howl pergi ke tanah Wales, lewat pintu ajaib, dan sepertinya naksir Miss Angorian. Sophie makin kelabakan. Di lain pihak, Howl mendapat perintah dari Raja untuk mencari adiknya, Pangeran Justin dan penyihir kerajaan, Suliman, yang hilang. Kemungkinan mereka hilang disihir Nenek Sihir dari Waste. Howl yang pemalas berusaha menghindar dari tugas itu dan melibatkan Sophie supaya berpura-pura jadi ibunya di depan raja dan memberikan rekomendasi buruk.

Cerita makin ruwet dan aneh saat ibu tiri Sophie serta adik-adiknya muncul, dan Nenek Sihir dari Waste berhasil melacak dan menyandera keluarga Howl supaya penyihir itu mau bertarung dengannya. Dan akhirnya Sophie memberanikan diri masuk ke markas besar Nenek Sihir dari Waste.

Ujungnya? Biarpun aneh dan ruwet, sebetulnya novel ini lucu dan menghibur dan penuh hal ajaib—bahkan bunga-bunga indah yang mekar dengan sihir. Jelas, berbeda jauh dengan animasinya yang tiba-tiba bercerita tentang perang. Perang? Hah? Di Ingary? Hahaha... Dalam cerita tentang para penyihir yang malas dan nenek-remaja yang sok tahu ini, kayaknya perang membutuhkan komitmen yang terlalu besar.

Senin, 08 Juni 2009

Travelers' Tale: Belok Kanan Barcelona

Meskipun awalnya agak ogah-ogahan baca novel ini, ternyata setelah baca, novel ini lucu banget! Ceritanya jalan (meskipun selesai baca saya jadi, hah, segitu aja? hehehe...) dan menghibur. Yah, tema utama membaca novel dapet banget: terhibur. Plus dapat juga beberapa tips tentang travelling.

Alkisah ada 4 sahabat sejak kecil. Sekarang mereka sudah terpencar ke berbagai penjuru dunia. Francis si pianis tinggal di Amerika, Retno kerja di badan PBB di Copenhagen, Jusuf si gila kerja di perusahaan transportasi dan kirim-mengirim di Cote d'Ivoire (kalo gak salah), dan si cantik keturunan Arab, Farah kerja bikin resort di Hoi An, Vietnam.

Di antara keempatnya terjalin cinta yang ribet: Francis naksir Retno dan ditolak-tolak, Farah naksir Francis tapi gak bisa ngaku karena Retno curhat ke dia. Dan Jusuf alias Ucup naksir Farah, tapi gak bisa ngaku karena Farah curhat ke dia. Klasik masalah anak muda dah.

Ketentraman mereka di tempat kerja masing-masing diganggu undangan kawinan Francis di Barcelona. Bergeraklah keempatnya menuju Barcelona dari tempat kerja masing-masing. Retno karena merasa sayang pada Francis (alasannya menolak pinangan Francis karena agama, bukan karena gak sayang). Farah untuk menggagalkan kawinan itu dan mengajukan dirinya jadi pengantin perempuan. Ucup untuk melamar Farah. Dan Francis, yaaa buat kawin sama cewek Spanyol itulah yaw.

Perjalanan paling seru dan kocak dialami Ucup. Sementara perjalanan Francis dan Retno sebenarnya dipenuhi pertanyaan apa sebenarnya cinta itu? Apa pilihan mereka benar? Dan perjalanan Farah paling penuh tekad.

Anyway, buat orang yang senang jalan-jalan, plus-plus novel ini adalah tips-tips travelling yang disembunyikan dan diselipkan dengan sangat baik dalam cerita. Yah, ada juga sih yang ditambahkan jelas-jelas dalam boks-boks. Misalnya cara packing, pilihan transportasi, sampai kondisi politik di Afrika. As if, saya akan ke Afrika dalam waktu dekat aja... hahaha...

Yah, anyway lagi, kalau cari bacaan menghibur yang lumayan... yaaahh... novel ini lumayan lah... hehehe...

Selasa, 05 Mei 2009

Brisingr~Christopher Paolini

“Buku yang membuat saya rela bergadang.”---Washington Post.

Dan tepat itulah yang saya lakukan satu setengah minggu ini. Brisingr edisi Indonesia yang tebalnya kurang-lebih 900 halaman itu membuat saya tidur tengah malam selama berhari-hari karena adegan-adegannya yang seru.

Saat membaca Eragon, saya merasa wagu karena banyak kemiripannya dengan The Lord of the Rings---mungkin juga karena masa itu trilogi LOTR juga lagi naik daun. Selain itu, tulisan Paolini pun masih terasa sangat kekanakan. Saat Eldest, dialog-dialog panjang pelajaran Eragon terasa membosankan, dan petualangan Roran terasa lebih seru. Tapi pada Brisingr, semua elemen cerita terasa seru dan perlu. Brisingr menyuguhkan petualangan demi petualangan, perang demi perang, perkelahian demi perkelahian baik secara fisik langsung maupun dengan sihir. Semuanya seru dan intens, dan meskipun ukuran bukunya yang hampir 900 halaman tampak masif, secara keseluruhan buku ini sama sekali tidak membosankan.

Paolini jelas telah berkembang dengan baik sebagai penulis (dan kalau dilihat dari fotonya, sebagai pemuda juga... hehehe). Ia bisa menautkan simpul-simpul lepas dan menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan tak terjawab yang ada pada buku-buku sebelumnya. Ia bisa memberi kilas balik dan penjelasan dengan sangat baik dengan menyelipkannya pada dialog-dialog, sehingga pembaca mengerti dan tidak merasa digurui. Ia bisa memberi gambaran sejelas film action pada adegan-adegan laganya. Dan utamanya, ia berhasil menciptakan dunia Alagaësia yang utuh, baik itu dunia sihirnya maupun dunia manusianya. Saat membaca Brisingr, saya tidak lagi berusaha membanding-bandingkan Kull dengan Uruk Hai atau elf di Alagaësia dengan elf di Middle Earth.

Cerita dibuka dengan seru saat Eragon membantu Roran merebut kembali Katrina dari tangan para Ra'zac. Tekanan kengerian ditambah Paolini dengan meninggalkan Eragon di Helgrind, sarang Ra'zac tanpa Saphira yang harus membawa pulang Roran dan Katrina ke markas Varden. Pertempuran Eragon dan Ra'zac yang seru diikuti kisah Eragon (dan Arya) menjelajah Kekaisaran untuk kembali ke Varden serta apa yang dialaminya saat itu sangat patut disimak.

Sementara itu di markas kaum Varden, Nasuada harus mempertahankan wibawa dan kepemimpinannya dengan Duel Pisau Panjang yang mengerikan. Dan Roran memutuskan untuk mengabdikan diri padanya (kedua hal ini sebetulnya tidak berkaitan secara langsung). Roran lalu terlibat dalam berbagai pertempuran “kecil” dan membuktikan dirinya pantas menjadi pejuang dan pemimpin.

Saat kembali ke Varden, Eragon (dan Saphira) harus menghadapi Murtagh dan Thorn sekali lagi. Dalam pertempuran kali ini Eragon dan Saphira yang dibantu dua belas elf perapal mantra dan Arya berhasil mengusir dan mengalahkan Murtagh dan Thorn. Tapi pertempuran “di tanah” mengalami kekacauan besar, saat pasukan Varden mendapati Galbatorix telah menciptakan prajurit-prajurit perang yang tak bisa mati kecuali dipenggal. Meskipun berhasil menghancurkan pasukan Galbatorix, kaum Varden mengalami kerugian besar.

Usai menikahkan Roran dan Katrina, Eragon ditugasi oleh Nasuada untuk pergi kepada kaum kurcaci di Pegunungan Beor untuk memastikan raja kurcaci yang baru mendukung perjuangan kaum Varden. Sekali lagi Eragon dan Saphira harus berpisah. Eragon pergi ditemani Nar Garhzvog, pemimpin Kull. Sampai di tempat saudara angkatnya, Grimzborith Orik yang mengepalagi klan Ingeitum, Eragon mendapati bahwa ia mungkin harus mengikuti rapat kaum kurcaci yang bisa berlangsung berminggu-minggu dan tidak bisa melakukan apa-apa untuk mempercepat prosesnya.

Saat tiba di kota bawah tanah kaum kurcaci, ternyata secara tidak langsung Eragon dapat mempercepat proses pemilihan raja itu karena percobaan pembunuhan yang dilancarkan padanya oleh salah satu pemimpin klan. Orik terpilih menjadi raja baru, dan dukungannya pada kaum Varden bisa dipastikan. Eragon dan Saphira menghadiri upacara penobatannya, lalu terbang ke kota kaum elf, Ellesmera, di tengah hutan Du Weldenvarden.

Di sana, saat bertemu dengan gurunya, Oromis dan naganya Glaedr, Eragon mendapati bahwa ternyata dirinya bukan putra Morzan dan adik Murtagh. Dengan lega, Eragon mengetahui bahwa ayahnya ternyata Brom, yang ia anggap gurunya yang pertama. Berikutnya, Eragon---yang sepanjang berbagai pertempuran merasa tidak memiliki senjata yang tepat sejak Za'roc diambil Murtagh dari tangannya---berusaha membujuk elf tua Rhunon untuk membuatkan pedang baginya. Rhunon sudah bersumpah tidak akan membuat pedang lagi sejak senjata buatannya dipakai untuk membantai naga dan penunggangnya oleh Galbatorix. Tapi, kalaupun ia mau melanggar sumpahnya, ia tidak memiliki bahan untuk membuat pedang lagi karena bahan tersebut besi yang terkandung dalam komet yang jatuh di Du Weldenvarden.

Mengikuti saran Solembum, si kucing jadi-jadian, Eragon dan Saphira mencari besi tersebut di bawah akar pohon Menoa yang tertua di Du Weldenvarden. Mereka membangkitkan kemarahan pohon tersebut, tapi berhasil meyakinkannya untuk menyerahkan besi itu. Semalaman Eragon menjadi “alat” Rhunon, yang untuk menjaga sumpahnya tidak menempa sendiri besi tersebut, untuk membuat pedangnya sendiri. Paginya, pedang biru seperti sisik Saphira telah jadi. Pedang terindah yang “dibuat” Rhunon. Eragon menamai pedang itu Brisingr, alias api dalam bahasa kuno. Setiap kali ia mengucapkan nama pedang tersebut, pedang itu menyalakan api biru.

Kunjungan Eragon dan Saphira pada guru-guru mereka juga memberikan pengetahuan baru tentang Eldunari naga, jantung dari jantung naga, tempat mereka menyimpan seluruh kesadaran dan pengetahuan mereka. Mereka juga mengetahui bahwa kekuatan Galbatorix datang dari kumpulan Eldunari yang ditawannya. Pada akhirnya, sebelum Oromis dan Glaedr ikut terbang untuk berperang bersama Ratu Islanzadi, Glaedr memberikan Eldunari-nya untuk dijaga Eragon dan Saphira.

Kembali ke kaum Varden, Eragon dan Saphira segera terlibat dalam perang menjatuhkan kota Feinster. Reuni dengan Arya, Roran, dan yang lain yang awalnya gembira harus diakhiri dengan sedih saat lewat Eldunari Glaedr, mereka mendapat kejutan besar.

Demikian buku ketiga ini ditutup dengan baik oleh Paolini, meninggalkan banyak pertanyaan untuk dijawab pada buku keempat. Antara lain pertanyaan yang berkaitan dengan ramalan mengenai nasib Eragon yang beberapa kali dikutuk untuk meninggalkan Alagaësia. Apakah setelah menaklukkan Galbatorix, satu-satunya penunggang naga yang merdeka itu harus meninggalkan tanahnya? Atau jangan-jangan Galbatorix memang tak terkalahkan? Rasanya pertanyaan terakhir ini---meskipun apa pun mungkin saja terjadi di dunia fiksi---tidak mungkin terjadi. Semua kisah epik kebaikan vs. kejahatan pasti berakhir dengan kekalahan pihak yang jahat. Tapi bagaimana si jahat mati? Semua pasti menunggu-nunggu pertempuran akhir antara Eragon dan Saphira vs. Galbatorix dan Shruikan. Sssshhh... penantian yang panjang pun dimulai...

Nicholas Evans

Saya baru menginjak bab kelima The Divide, saat terpesona sungguh pada kepiawaian Nicholas Evans melukiskan emosi tokoh-tokohnya. Saya benar-benar bisa merasa ikut berada dalam setting cerita, dan terlibat dalam kejemuan yang dialami sang tokoh, Sarah Cooper.

Setting-nya sebagai berikut: pagi hari, Sarah ikut sarapan bersama Ben, mantan suaminya dan sheriff lokal. Mereka berada di Missoula, Montana, akan menjemput jenazah putri Sarah dan Ben. Evans menggambarkan kejadian itu dengan sangat detail, berapa pil penghilang rasa sakit yang ditelan Sarah, apa yang dialaminya sejak malam sebelumnya, sampai ke roti gandum yang dipesannya tapi tak mampu ditelannya. Saya langsung bisa berempati pada tokoh ini, dia datang untuk menjemput putrinya yang sudah meninggal, tapi terpaksa melayani basa-basi dengan mantan suami dan sheriff lokal itu. Sungguh dahsyat.

Tapi kemudian Evans mulai menarik-ulur rasa empati dan simpati pembaca pada tokoh-tokohnya. Bagaimana sebenarnya Sarah yang sepertinya patut dikasihani, ternyata sangat dingin dan tinggi hati. Bagaimana Ben yang sepertinya hangat dan menjadi korban, ternyata juga brengsek. Jadi mana yang benar? Evans sangat piawai menciptakan tokoh-tokoh yang abu-abu, dan justru malah jadi sangat duniawi dan wajar. Semua orang di dunia ini toh abu-abu, mejikuhibiniu, bukan? Orang-orang yang wajar bukanlah tokoh sinetron yang benar-benar hitam-putih, yang jahat benar-benar jahat, yang baik benar-benar baik. Weks, itu cuma terjadi di sinetron! Benar-benar dibuat-buat.

Ternyata ada yang menyebut Evans “the animal writer”. Apa pasal? Dalam dua dari empat novelnya, Evans mengambil tema binatang: The Horse Whisperer dan The Loop. Sementara dari judulnya saja The Horse Whisperer sudah tampak berkutat di dunia kuda, The Loop mengulik masalah serigala yang akan punah. Tapi apa benar Evans cuma menulis tentang binatang? “Kalaupun ada binatang yang saya bahas, itu the human animal,” kata Evans kecewa dalam situsnya www.nicholasevans.com. Sesungguhnya Evans justru sangat tertarik pada manusia, hubungan-hubungan antara para anggota keluarga, suami-istri, ayah-ibu-anak, kakak-adik, dan antarsahabat. Semua novelnya mengisahkan ikatan emosi yang sangat kuat antarmanusia. Ia juga sangat kuat menggambarkan emosi-emosi dan perdebatan yang muncul dalam diri manusia saat terjadi konflik benar-salah.

Ambil contoh novel ketiganya, The Smoke Jumper. Dalam novel ini Evans mengisahkan pergulatan kisah cinta segitiga yang tidak biasa. Bagaimana dua sahabat Ed dan Connor berebut cinta seorang gadis. Mana yang benar dan mana yang salah saat Connor jatuh cinta pada pacar sahabatnya? Bagaimana perasaan-perasaan itu memengaruhi tugas mereka sebagai smoke jumper alias pemadam kebakaran hutan? Bagaimana perasaan ketiga tokoh ini saat Ed kemudian menjadi buta? Evans dengan cerdik menempatkan tokoh-tokohnya sebagai tokoh sehari-hari---the guys next door---yang mungkin saja menjadi Anda atau saya. Semua memiliki sisi baik, semua sulit untuk dibenci, sehingga pembaca benar-benar bisa merasa ikut menjadi tokoh-tokoh tersebut dan terseret dalam pusaran emosi mereka.

Omong-omong soal sisi baik dalam tiap tokoh, rupanya kebiasaan Evans menciptakan tokoh demikian sudah dimulai sejak novel pertamanya, The Horse Whisperer. Bagaimana si ibu bisa saling jatuh cinta dengan si penjinak kuda, saat sebenarnya pernikahannya baik-baik saja dan suaminya sempurna? Pembaca ikut menangis karena tahu si ibu tak bisa meninggalkan suaminya demi si penjinak kuda, karena ya dia tidak bisa melakukan itu. Sisi emosional itulah yang membuat novel ini sangat kuat.

The Divide mengupas lebih dalam hubungan antar-anggota keluarga. Bagaimana kisahnya Ben dan Sarah dan anak-anak mereka. Bagaimana si sulung Abigail yang sempurna bisa berubah menjadi eco-terrorist, bahkan kemudian ditemukan sudah membeku dalam es di pegunungan Montana. Dalam novel keempat ini Evans lebih luwes dalam memberikan alasan-alasan bagi perpecahan keluarga Ben dan Sarah, tapi sayangnya jadi sedikit mengurangi tarik-ulur emosional yang dirasakan pembaca dalam The Horse Whisperer dan The Smoke Jumper.

Yang tidak berkurang adalah perencanaan dalam pengaturan plot. Saat membaca The Divide, saya menyadari betapa jagoannya Evans merangkai plot dan cerita serta menerakan emosi. Semua cerita terasa pas, tidak berlebihan atau berpanjang-panjang (salah satu yang sempat saya rasakan saat membaca The Smoke Jumper, sehingga novel ini meskipun sangat indah bagi saya agak antiklimaks). Saya sempat membalik-balik lagi beberapa adegan yang saya baca di The Divide. Wow, pasti Evans berpikir panjang sebelum menempatkan adegan ini, atau mengarang adegan itu. Semua ada pada tempatnya dengan porsi yang tepat. Inilah penulis yang membuat perencanaan dulu sebelum menulis, penulis yang menggodok dulu sampai matang, sehingga hasil tulisannya tidak bisa tidak menjadi hiburan yang berbobot bagi pembacanya.

Dan pujian terakhir bagi Evans adalah kepeduliannya pada lingkungan. Meskipun lahir dan besar di Inggris, Evans sangat tertarik pada wilayah Midwestern Amerika, tepatnya Montana. Ia menggambarkan daerah yang masih berhutan lebat itu dengan sangat indah. Kegiatan-kegiatan alamnya pun dia ceritakan dengan fasih. Pembaca diajak ikut naik gunung, kayaking, rafting, dan berkuda. Semua kegiatan alam bebas yang menantang dan seru itu membangkitkan sisi petualangan dalam diri pembaca. Dalam The Divide, Evans lebih menekankan lagi pentingnya pelestarian lingkungan dengan menyinggung langsung soal illegal logging dan konferensi-konferensi lingkungan hidup. Kalau salah satu penulis besar---Michael Crichton---menyinggung soal pemanasan global dalam rangka cerita yang jauh lebih bombastis dan multinasional dalam State of Fear, Evans menyampaikan pesan lingkungan hidupnya dengan mengajak pembaca turun langsung ke lapangan, menginjak tanah subur Montana dan mengisi paru-paru dengan aroma hutan yang menyegarkan.

Breaking Dawn~Stephenie Meyer

Mungkin agak telat dibandingkan die hard fans-nya Twilight Saga, saya baru membaca Breaking Dawn bulan lalu. Dan... yah, terus terang saya kecewa dengan ending kisah cinta Bella dan Edward ini. Why so?

Saya merasa terlalu banyak poin yang dipaksakan dalam novel ini. Saya merasa novel ini ditulis oleh seorang remaja yang bercerita karena ya memang dia mau ceritanya begitu. Logika ditempel dan dikarang di sana-sini, hanya supaya ceritanya bisa jalan.

Dan menganggap resensi ini sudah ketinggalan zaman, saya akan langsung to the point saja merujuk pada bagian-bagian yang menurut saya terlalu maksa. Spoiler alert.

Bella dan Edward harus punya anak (manusia dan vampir? Ini mah bener-bener supaya yang ngarang happy aja.). Anak itu namanya harus Renesmee (dari ibu Bella, Rennee, dan ibu Edward, Esme—oh oh oh, kalo anaknya cowok, namanya E.J.--Edward Jacob... Ya ampun! Plis deh, namain anak dengan nama “mantan”?). Dan Jacob harus imprint pada anak itu (yeah, right, married sama anak cewek yang dia taksir? Hmm... jadi inget filmnya Kevin Costner sama Jennifer Aniston itu... apa judulnya? Oh iya, Rumor Has It). Saat kehadiran anak itu menimbulkan kehebohan di dunia vampir, keluarga Cullen kudu mengumpulkan berbagai vampir dari segala penjuru dunia untuk mendukung mereka... hhmm... ini remaja banget, ngumpulin semua tokoh untuk mendukung tokoh utama. Ehem, kalau setting-nya di SMA, mungkin ngumpulin semua cowok demi si tokoh utama cewek. Seru, kan? Mengingatkan saya pada film kartun jadul yang ngumpulin banyak tokoh superhero dan anak-anak mereka, kalo gak salah judulnya Defenders of the Earth. Oh ya, omong-omong superhero, Bella terus punya kekuatan super membuat tameng. Tentu saja awalnya cuma untuk menamengi dirinya sendiri, tapi lalu tiba-tiba dia bisa menamengi semua vampir. Dan di detik terakhir, saat mestinya ada perkelahian mati-matian, tiba-tiba muncul makhluk setengah manusia-setengah vampir, sejenis Renesmee... dan damai turun di Bumi. Mana berantemnya? Mana? Setelah semua konflik dan ketegangan menuju ke sana, setelah pembaca membayangkan seluruh klan Cullen berikut teman-teman mereka bakal dihapus dari muka Bumi, dan... tidak ada seujung kuku pun yang patah... aaaaaaaaaaaa... rasanya mo marah!!! At least biarkan Emmett atau Jasper atau siapa itu vampir yang baru muncul itu berantem dulu kek!!! Meskipun tentu saja pasti pembaca mengharapkan Edward atau Jacob yang berantem.

Anyway, cerita novel ini berlanjut dari bagian yang terpotong di Eclipse—pernikahan Edward dan Bella. Yang dilanjutkan dengan bulan madu mereka, yang diceritakan dengan sangat aneh. Maksud saya, c'mon pas bulan madu, dan lagi hot-hot-nya, Bella cuma diceritakan bangun pagi-pagi dengan tubuh memar-memar dan nggak ingat apa-apa kejadian malamnya? Huh? Emangnya ini adegan perkosaan? Which was itulah sudut pandang Edward, dia terlalu menyakiti Bella. Tapi ya sudahlah, apa pun yang mereka lakukan, Bella end up hamil, dan namanya anak vampir, kehamilannya abnormal. Anaknya berkembang dengan sangat cepat dan membuat tubuhnya babak belur dari dalam. Edward dan Carlisle berusaha membujuk Bella untuk aborsi, tapi tentu saja Bella nggak mau. Keinginan Bella didukung Rosalie yang sebenarnya pengin punya anak.

Di La Push, Jacob berusaha menggunakan kesepakatan bahwa werewolf tidak akan menyerang vampir kalau tidak ada manusia yang disakiti atau dibunuh untuk membuka front dengan klan Cullen. Alasannya Bella kan pasti sudah dijadikan vampir, alias dibunuh. Jacob tidak peduli kata teman-temannya bahwa Bella jadi vampir atas keinginan sendiri. Tapi saat Jacob menengok Bella di rumah keluarga Cullen, kondisinya ternyata jauh lebih mengerikan dari kematian, karena semakin hari bayi yang dikandungnya semakin membuat kondisi tubuhnya payah. Melihat kondisi gadis yang dicintainya, Jacob jadi kebingungan. Di satu sisi dia tidak ingin Bella mati, di sisi lain dia hanya ingin Bella bahagia. Masalah Jacob bertambah saat para werewolf yang tadinya tidak mau menyerang klan Cullen malah berbalik jadi agresif karena menganggap anak Bella dan Edward—yang tidak ketahuan jenis makhluk apa itu—bisa jadi ancaman baru. Jacob lalu melepaskan ikatan dengan kelompoknya. Tindakannya ini diikuti Seth dan Leah, membuat Jacob jadi punya kelompok baru.

Akhirnya anak Bella-Edward pun lahir dengan proses yang mengerikan. Edward langsung menjadikan Bella vampir untuk “menyelamatkan nyawanya”. Dan Jacob langsung tahu Renesmee adalah belahan jiwanya.

Masa indah setelah Bella mendapatkan segala yang diinginkannya—menjadi vampir dan punya anak dari Edward, plus tidak kehilangan Jacob—berlangsung singkat. Kehadiran Renesmee tercium oleh klan Volturi, polisi dunia vampir. Akibatnya klan Volturi, yang sebenarnya sudah lama iri pada klan Cullen pun bergerak untuk menumpas klan saingan ini, dengan alasan mereka punya anak vampir, sementara kehadiran anak vampir telah di-banned dari dunia pervampiran karena anak vampir tidak bisa dikontrol tindak-tanduknya.

Carlisle segera mengatur strategi. Mereka harus mengumpulkan sekutu yang mau bersaksi bahwa Renesmee bukanlah anak vampir. Renesmee masih tumbuh bak anak kecil lainnya, meskipun dengan lebih cepat. Renesmee bisa belajar dan mengontrol dirinya. Datanglah vampir-vampir dari segala penjuru dunia. Alaska, Mesir, Brazil, Rumania, dll. Selain menjadi saksi, mereka juga mempersiapkan diri untuk berperang melawan klan Volturi.

Jacob dan para werewolf tentu juga siap membantu. Apalagi setelah Jacob imprint pada Renesmee.

Sedikit twist yang menambah ketegangan tercipta saat Alice dan Jasper malah pergi meninggalkan keluarga mereka di saat genting. Anggota keluarga yang lain menganggap mereka mencari selamat, tapi ternyata di akhir cerita Alice dan Jasper yang membawa makhluk setengah vampir-setengah manusia seperti Renesmee yang menyelamatkan klan Cullen dan sekutu mereka.

Oh ya, satu lagi yang mengganggu dan lame banget. Adegan akhir, adegan happily ever after itu loh... Aduh! Dengan banyak kata forever-nya itu. Aduh!

Sebenarnya Stephenie Meyer mungkin seharusnya tidak melanjutkan Twilight. Novel pertama itu sangat kuat dan membuai. Membuat semua orang ikut tersengat listrik kisah cinta Edward dan Bella. Buku keduanya bisa dibilang payah, meskipun bagi saya porsi Jacob yang cukup besar di situ memberi nuansa yang lebih membumi bagi kisah ini. Eclipse lebih bagus dan seru daripada New Moon. Mulai dari sejarah vampirnya (hahaha... Anne Rice pasti sempet misuh-misuh kenapa nggak memikirkan sejarah vampir seperti Meyer) yang seru, sampai ke adegan cinta segitiga yang bikin geli-geli tapi mau (adegan dalam tenda itu loooh). Tapi Breaking Dawn ini... yaaaaaaaah... mungkin tepatnya membuat saya jadi heart broken ya membacanya...

Kamis, 19 Februari 2009

Eiffel, Tolong!~Clio Freya

Ada beberapa buku yang membuat saya bangga terlibat dalam kelahirannya. Novel ini salah satunya. Bangganya saya itu berkaitan dengan betapa rapinya novel ini. Sebenarnya, selain untuk meluruskan beberapa titik-koma, novel ini tidak perlu editor.

Kenapa rekomendasi saya bisa begitu berbunga-bunga? Saya tidak biasa memuji, bahkan agak muak dengan novel-novel yang dipuja-puji orang. Euh, apa novel-novel itu tidak bisa "Speak for themselves"? Jadi, moga-moga puji-pujian saya ini tidak membuat yang membaca resensi ini malah jadi muak pada "Eiffel, Tolong!"

Bisa dibilang menjual kata "Eiffel", yang jadi magnet buat pembaca di mana-mana di seluruh dunia, novel ini memulai dirinya dengan judul yang tepat. Judul juga bisa mengantar pembaca kecele menduga ini novel cinta macam "Eiffel, I'm in Love". Tapi, tidak!

Bersiapkan terseret dalam dunia thriller yang seru, penuh adegan laga, dan spionase macam serial Alias, CSI, atau Mission Impossible. (Salah satu pertanyaan saya waktu bertemu pengarangnya adalah, "Kamu suka nonton Alias, ya?"--soalnya saya suka sekali serial itu.) Tokoh-tokohnya yang masih remaja--dan mengakibatkan buku ini terpaksa masuk genre teenlit--tidak mengurangi keseruan cerita. Tapi jangan bayangkan juga ceritanya jadi kayak teen spy atau seri Alex Rider-nya Horrowitz.

Anyway, adalah Fay, remaja Jakarta kelas 2 SMA yang berlibur ke Paris sendirian. Tadinya dia ke Paris karena ikut ibunya yang tugas ke sana, tapi detik terakhir tugas ibunya dipindah ke Brazil. Rencananya Fay akan ikut sekolah bahasa Prancis selama 2 minggu, lalu ikut tur selama 3 hari.

Semangat, semangat, semangat! Bagi orang yang pernah menghabiskan 3 hari di Paris, saya langsung membayangkan kegiatan Fay. Apa dia ke Eiffel, Louvre, dkk?

Salah besar, sodara-sodara! Fay ternyata terjebak dalam konspirasi bisnis dan militer mengerikan yang dijalankan oleh Andrew, konglomerat yang mau menghalalkan segala cara demi berhasilnya bisnis yang dijalankannya.

Dianggap mirip sekali dengan keponakan saingan bisnisnya yang orang Malaysia, Andrew menculik Fay dan men-trainingnya sehingga menjadi fotokopi sang keponakan. Dua minggu yang seharusnya jadi 2 minggu terindah dalam hidup Fay berubah bersimbah air mata.

Fay yang gak hobi olahraga dipaksa lari lintas alam dan push-up setiap hari. Fay yang gak pernah dandan dipaksa belajar memoles wajah dan memakai sepatu hak tinggi. Dan Andrew tidak segan-segan menerapkan hukuman fisik bila Fay menolak.

Tapi bukannya tidak ada sparks yang menyenangkan. Fay berjumpa Reno dan Ken. Ken, keponakan Andrew, menjadi mentornya. Sementara Reno adalah teman les bahasanya. Meski awal hubungannya dengan Ken suram, pemuda ini malah membuatnya merasakan sekilas summer love. Sementara Reno selalu melindunginya bak kakak.

Saat Fay sudah sempurna berubah menjadi Sheena, si gadis Malaysia, ia diterjunkan masuk ke rumah saingan bisnis Andrew. Tapi tugas yang mustahil itu akhirnya...

Wah, seru bin asyik banget membaca novel yang sangat rapi ini. Serasa nonton film! Dan... baiklah saya hentikan resensi ini sebelum lebih memuji lagi.

Tiga Pekerjaan Besar Editor

Mulai mengasong membuat saya merenungkan lagi apa tugas-tugas editor. Ternyata (bagi saya) ada tiga tugas utama editor:

1. Membaca dan menilai naskah
Inilah tugas TERBERAT editor. Editor harus menentukan kelayak terbit suatu naskah. Apakah cerita yang terkandung dalam naskah tersebut cukup berbobot untuk dibagikan pada pembaca? Apakah gaya berceritanya cukup enak dibaca sehingga tidak membingungkan yang membacanya? Selalu timbul pertanyaan, kalau buat saya naskah ini tidak menarik, apakah buat orang lain menarik? Kalau memang naskah ini tidak layak terbit, bagaimana menyampaikannya pada si pengarang?

2. Mengedit
Inilah tugas TERBESAR editor. Tugas ini makan waktu paling lama juga. Memerhatikan detail, meluruskan alur, memperbaiki percakapan, memoles, mengubah. Dan tentu saja juga memerhatikan tata bahasa dan ejaan.

3. Membaca dan mengoreksi proof
Meskipun bisa dibilang lebih ringan daripada dua temannya di atas, membaca proof tidak boleh diremehkan. Justru di sini dibutuhkan ketelitian ganda: bagaimana caranya mencermati dan mencari kesalahan dari apa yang sudah (nyaris) sempurna?

Dari tiga tugas besar ini editor seharusnya dihargai.