Rabu, 30 November 2011

Day 4 Belitung November 2011

Bagian 4 dari 4 tulisan

Day 4: Last Day

Yaaah... hari terakhir liburan pun tiba. Rasanya masih pengin banget guling-gulingan lagi di pantai, tapi kami tidak sempat kembali ke Tanjung Kelayang.

Usai sarapan di hotel (tiap malam petugas hotel mengetuk kamar dan menanyakan pilihan sarapan kami: mi goreng, nasi goreng, atau roti), kami belanja kerupuk, terasi, dll di toko Keluarga. Pilihan oleh-oleh di toko Keluarga ini pun beragam banget jenisnya dan harganya pun tidak mencekik, terutama bagi kami yang keluarganya besaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaar sekali sehingga yang mesti diberi oleh-oleh banyaaaaaaaaaaaaaak sekali. Berbagai jenis kerupuk (ikan, cumi, udang) dalam kantongan ukuran SML dengan harga sesuai ukuran bisa dipilih. Kalau mau ngasih banyak orang, bisa dipilih kantong ukuran S atau M, jadi harganya pun tidak terlalu mencekik. Selain oleh-oleh, saya juga beli terasi untuk konsumsi sendiri dan rusip. Rusip ini adalah teri yang sudah difermentasi, terbayang nikmatnya makan rusip dengan kucuran jeruk nipis plus irisan cabai, sebagai teman nasi hangat. Nyam! Para petugas di toko Keluarga ini juga rupanya sudah piawai menghadapi pelanggan yang kalap belanja, dan sudah menyiapkan kardus bekas sebagai tempat belanjaan. Saya pun menitipkan manggis yang dibeli kemarin dalam kardus. Kardus dipak rapat dengan selotip dan diikat tali plastik keras. Tak lupa diberi nama dan alamat biar tidak diambil orang. Oya, belanja di sini juga bisa dilakukan dengan debit BCA (dan kartu debet lain yang biasa dengan mesin EDC BCA), sehingga sangat memudahkan.

Usai belanja, kami mampir di Musium Belitung. Museum yang lokasinya dekat pantai Tj. Pendam ini kecil saja, tapi koleksinya tertata rapi, bersih, dengan keterangan yang cantik. Penataan harta karun kapal karam sangat modern dan menarik. Di bagian belakang museum terdapat kebun binatang mini (yang agak kotor) dan beberapa mainan anak. Meskipun agak kotor, tapi binatang-binatang yang ada di sana lumayan menakjubkan seperti buaya superbesar dan kura-kura yang juga besar-besar, oh, dan lele yang besar-besar juga... hehehe.... Halaman depan museum memajang meriam dan ranjau bekas Belanda.

Kami juga sempat mampir di rumah Belanda dan rumah adat (yang dibuat khusus seperti di Taman Mini) dan foto-foto di sana. Tentu tak lupa mengambil kepiting isi dan otak-otak yang kami pesan semalam dari Sari Laut. Kak Neli pun mengantar kami ke bandara, dan kami berpisah baik-baik serta berjanji akan kembali lagi ke Belitung suatu hari nanti.

Sayangnya liburan sempurna ini ditutup dengan delay 2 jam di bandara Hanandjoedin, yang membuat mood drop banget.

Belitung adalah tempat yang worth visited banget. Tempatnya indah dan bersih. Harga-harganya masuk akal. Orang-orangnya ramah, jujur, dan sangat melayani. Mari ke sana, sebelum Belitung jadi terlalu ramai seperti Bali! Orang Belitung sendiri rupanya berharap pulaunya tidak akan terlalu ngetop, seperti kata bapak yang menyewakan kapal di Tj. Kelayang, “Aduh, Bu, segini aja, jangan lebih ramai lagi. Nanti rusak semuanya!”

Alamat-alamat
Tanjung Outlet
(kaus, suvenir)
Jl. Sudirman 48A, Tj. Pandan

Keluarga
(kerupuk, suvenir)
Jl. Yos Sudarso 32, Tj. Pandan
(0719) 22714
0812-8128974
uwe_n19@yahoo.com

Rumah Batik
(kaus, suvenir)
Jl. Tj. Kelayang
Batu Itam, Sijuk
0819 29085768

Hotel Pondok Impian 2
Jl. Pattimura, Tj. Pandan

Last but not least, budgeting

Ini dia pengeluaran untuk trip Belitung 4 hari 3 malam untuk satu orang (anak saya tetap hitung satu kepala, jadi semua harga total sudah saya bagi 3), tanpa belanja-belanja (yang jatuhnya bisa sejuta sendiri... eh, maksudnya tergantung seberapa banyak oleh-oleh yang mau dibawa... hehehe):
pesawat pp: Rp890.000
hotel: Rp350.000 (satu malam 350rb tapi krn nginep 3 malam, dibagi 3 kepala, jadi...)
mobil: Rp400.000 (sama kasusnya kayak hotel, catatan tambahan, seharusnya mobil bisa @350rb per hari kalau pesan langsung ke rental, tidak via hotel)
makan 7x: Rp150.000
kapal: Rp120.000
tip tukang kapal: Rp30.000
tip driver: Rp50.000
total: Rp1.990.000

Day 3 Belitung November 2011

Bagian 3 dari 4 tulisan

Day 3: Laskar Pelangi

Pagi-pagi kami berangkat ke Belitung Timur. Perjalanan memutar dulu ke utara, via Bukit Berahu yang belum sempat kami kunjungi kemarin. Di tengah jalan kami memotret pohon unik yang cabangnya membentuk siku-siku, sehingga pohon seperti trisula atau garpu. Kak Neli heran, apa lucunya memotret pohon begitu, tapi kami sih antusias melihat pohon unik seperti itu. Kami bahkan lebih antusias lagi saat diberitahu itu pohon durian. Sedang musim durian di Belitung, yihaaa!!! Sedang musim manggis dan rambutan juga. Sayangnya, sampai pulang akhirnya kami tidak sempat makan durian, karena tiap kali selesai makan rasanya kenyaaaaang sekali... Perut tidak muat lagi untuk disisipi durian. Tapi, saya sempat membeli 4 renteng manggis isi 10 buah untuk dibawa pulang ke Jakarta. Satu rentengnya Rp6.000 saja!

Kami juga sempat mampir di Rumah Batik. Butik kecil ini menjual batik-batikan ala Jawa, jadi harapan kami menemukan tekstil asli Belitung pupus sudah. Ada batik print motif daun simpor, tapi itu kain modern hanya motifnya saja yang mengambil benda khas Belitung. Akhirnya kami membeli kaus saja (Rp60.000), gantungan kunci, dan kartu pos---yang fotonya dibuat oleh kakak si penjaga toko.

Bukit Berahu ternyata tidak terlalu cantik. Tapi teluk ini mempunyai cottage yang lokasinya persis di depan pantai. Tapi pantainya sendiri ombaknya agak besar dan airnya dalam, jadi kurang seru juga buat main. Selain itu pohonnya rimbun, sehingga sampah meskipun hanya daun kering, rasanya agak mengganggu. Sebetulnya seru juga sih membayangkan menginap di sana (hanya Rp250rb per malam), tapi kata Kak Neli, pelayanan di cottage itu kurang bagus, ada tangga tinggi dan lumayan terjal yang menghubungkan barisan kamar dengan kantor dan restoran di atas tebing, dan pelayan katanya malas turun ke bawah sana. Utamanya karena masalah UMR juga sih, kata Kak Neli. Tante bilang, kalau tamu mau kasih tip tiap pesan sesuatu dari atas mungkin pelayan tidak malas turun-naik. Tapi saya bilang, kalo tiap pesan minum atau handuk saja mesti ngetip bisa bangkrut si tamu, bukan begitu?

Jalan dari dan ke Bukit Berahu melewati kampung penduduk, tempat dibuat penganan oleh-oleh seperti kerupuk, pilus, dan terasi. Tapi kami tidak mampir. Jalanan ini juga melewati kampung nelayan Bugis. Selanjutnya perjalanan sungguh panjang dan agak monoton. Kami melewati hutan (Kak Neli menunjukkan pohon ini dan itu, termasuk pohon simpor yang daunnya untuk bungkus makanan, sukun, durian, dll. Kami juga ketemu monyet.), tambang timah yang masih aktif maupun yang sudah mati, kampung Bali yang komplet dengan pura dan para dewa yang gede-gede banget. On and on and on... Ditingkahi soundtrack, “Mika mau ke pantai... Mika mau ke pantai...” yang membuat perjalanan jadi terasa makin panjang.

Hampir jam satu siang, kami baru sampai di Manggar. Saya sudah hampir pengsan kelaparan. Kak Neli membawa kami makan di warung-restoran nasi ayam. Hidangan sederhana nan unik ini hanya terdiri atas nasi gurih diberi taburan ayam suwir dan bawang goreng serta acar, dengan pelengkap kuah isi 3 bakso ikan. Entah karena lapar, entah karena memang gurih banget, hap-hap-hap, nasi ayam yang nikmat itu pindah masuk perut dengan cepat.

Kami lalu keliling-keliling Manggar. Kak Neli menunjukkan sekolahnya Yusril Ihza Mahendra, sekaligus rumahnya. Kami juga sampai ke Pantai Manggar, tapi karena Kak Neli bilang airnya dalam, dan kami tidak mau mengambil risiko anak jongkok di pasir lagi, kami tidak turun.

Oya, sebelumnya kami sempat mampir di Vihara Dewi Kwan Im. Vihara ini sebenarnya biasa saja, dan kami bahkan tidak berhasil menemukan patung si dewi. Di belakang vihara juga terdapat pantai, dan kami juga tidak turun di sana.

Setelah pantai Manggar, kami mendaki Bukit Satam. Di puncaknya, kata riset internet dan bacaan, ada rumah Belanda yang dijadikan restoran. Tapi saat sampai on the spot, rumah itu sudah tidak berbentuk rumah Belanda lagi. Gak seru ah! (Mungkin dalam hati Kak Neli bilang, “I told you so! Gak percaya seeh...” hehehe.)

Turun bukit, kami langsung menuju Gantong, lokasi LP. Tiba di Gantong, Kak Neli membawa kami ke tempat bangunan sekolah Muhamadiyah yang untuk syuting (bangunan baru). Lahan luas di sekeliling bangunan sekolah rupanya diperuntukkan untuk tanam ulang atau reboisasi karena pohonnya masih muda-muda. Di lahan itu juga ada dua rumah kayu berbentuk rumah adat Belitung (nb: di mana-mana di Belitung masih ada rumah adat kayu ini loh...) yang kata Kak Neli diperuntukkan bagi perpustakaan yang janji Andrea Hirata akan didirikannya dengan royalti LP.

Setelah foto-foto, kami lanjut ke Bendungan Pice. Di bendungan bangunan Belanda ini, saya tidak ikut turun sampai ke bendungannya. Biasa, takut kecebur... hehehe... Foto-foto sebentar, kami melanjutkan perjalanan. Kak Neli menunjukkan rumah Andrea Hirata, tapi kami tidak turun. Kami berhenti di lokasi bangunan sekolah Muhamadiyah LP yang asli. Bangunan ini pun sudah dipindahkan dari lokasi aslinya. Bangunan tampak doyong dan tidak terawat. Bahkan kotor. Sayang juga ya, kok tidak dirawat, padahal mungkin banyak fans LP yang pengin melihat sekolah LP yang asli.

Tidak lama di sana, kami lanjut perjalanan pulang. Perjalanan pulang lebih cepat karena langsung menuju Tanjung Pandan, tidak memutar lagi. Sebagai catatan, jalanan seputar Pulau Belitung ini beraspal mulus, bahkan di wilayah yang supersepi sekalipun. Jalanan pun sepi dari kendaraan lain, jadi serasa pemilik pulau deeeeh... hehehe...

Tiba di Tanjung Pandan, memenuhi keinginan anak, kami singgah di Tanjung Pendam, pantai yang berada dalam kota Tj. Pandan. Sayangnya, ini satu-satunya pantai yang mengecewakan di Belitung. Pantainya kotor, banyak sampah, WC-nya bau. Dan meskipun airnya sedang surut, tapi luasan pantai dipenuhi lubang sarang kepiting-kepiting mungil. Saat saya melangkah ke arah air, kepiting-kepiting itu keluar semua dari liangnya dan berlarian panik di depan saya. Hiiii geliiii... Selain kepiting, banyak juga kerang kerucut dan gundukan sarang ulat. Hiiiii geliiiii...

Usai sunset yang tidak terlalu spektakuler karena mendung, kami kembali ke hotel untuk mandi. Ealah, mendung berubah jadi hujan luar biasa besar. Sialnya, satu-satunya kekurangan hotel kami, tidak ada telepon di kamar! Sampai jam 7 lewat kami terjebak di kamar. Akhirnya saya benar-benar mau pengsan kelaparan lagi, dan Tante menelepon Kak Neli untuk minta tolong agar dipinjamkan payung dari hotel.

Ealah, begitu masuk mobil, hujan jadi rintik lalu berhenti. Karena saya ingin makan kepiting (yang terbayang sih kepiting rebus atau goreng mentega gitu...), Kak Neli membawa kami ke Diva, warung-restoran Cina yang menyediakan kepiting. Menunya sih standar rumah makan Cina di mana-mana, tumis-tumisan, goreng-gorengan. Akhirnya kami memesan sup jagung kepiting, pampi goreng kepiting, dan sapo tahu. Pampi ini unik, kata Kak Neli, pampi itu kwetiaw. Terbayang dong kwetiaw tipis-tipis seperti yang di Jakarta, taunya bentuknya adalah bakmi tebal seperti udon. Kepiting yang disertakan dalam pampi goreng ini masih dalam bentuk capit utuh, sehingga puas menggigitnya. Kokinya juga tidak pelit memberi capit kepiting ini, mungkin ada sekitar selusin capit dalam pampi goreng ini. Sayangnya, seperti umumnya resto Cina, ada sedikit aroma dan rasa gosong yang datang dari wajan yang digunakan memasak berbagai makanan bergantian tanpa dicuci bersih terlebih dulu. Sup jagung kepitingnya juga enak, segar, dan panas. Saya sama sekali tidak mencicipi sapo. Sekali ini pun makanan porsi raksasa ini tidak habis disantap 3 dewasa dan 1 anak, sehingga sapo mesti dibungkus bawa pulang, dan langsung diserahterimakan ke Kak Neli untuk dihibahkan ke tetangganya.

Kami lalu mampir ke Tanjung, outlet oleh-oleh. Outlet ini oke banget karena menyediakan kaus mulai dari superkecil sampai superbesar (5L), desain dan bahannya pun oke. Harga pun oke, antara Rp20.000-60.000. Selain itu outlet ini juga menyediakan berbagai suvenir liburan standar lain seperti magnet kulkas, gantungan kunci, gelang-gelang pantai (biasa aja sih), tas pantai, dll. Saya memilih suvenir-suvenir yang ada tulisan Belitung-nya dong. Sesudah pilih kanan-kiri dan beli-beli, kami beranjak lagi. Sayangnya malam itu pusat oleh-oleh kerupuk dll sedang penuh, jadi kami ke Sari Laut untuk pesan kepiting isi dan otak-otak untuk dibawa pulang ke Jakarta. Lalu kami balik badan dan kembali ke hotel.

Day 2 Belitung November 2011

Bagian 2 dari 4 tulisan

Day 2: It's Islands Hoping Day

Mengikuti saran Pak Neli, kami menukar itinerary LP hari ini dengan islands hoping. Hari cerah, langit biru agak berawan. Kami kembali ke Tj. Kelayang, spot pemberangkatan untuk islands hoping. Pak Neli sudah memesankan kapal untuk kami sedari kemarin sore, tapi rupanya kami harus menunggu agak lama demi life jacket kecil untuk anak saya. Bersama kami satu per satu rombongan berangkat, ada sekitar 5 rombongan yang menjelajah laut hari itu. Ada yang bersama anak-anak kecil juga. Ada juga yang membawa ibu hamil 7 bulan!

Akhirnya si life jacket datang, dan kapal kami pun menepi. Kami diperkenalkan dengan Pak Taufik yang akan memandu perjalanan kami hari itu. Masuk kapal kayu bermesin diesel itu, anak saya langsung duduk di dasar kapal, berpegangan erat-erat pada bangku kayunya. Duileh, takut nih anak. Masalahnya, mamanya juga jeri! Hahaha... membayangkan mengarung laut dengan kapal kayu yang kayaknya ringkih aja udah sakit perut, apalagi melakukannya sendiri! Waktu naik tangga kayu ke atas kapal saja kapal sudah goyang-goyang teterpa ombak... Oh, no! Saya ikut duduk di dasar kapal dan berpegangan pada bangku dudukan. Kayaknya yang tetap semangat '45 cuma si tante... hehehe... Kapal mundur untuk keluar dari pantai, lalu maju. Wah, salah arah nih duduknya... Saya dan si kecil beringsut memutar pantat dan haluan duduk. Yak, brangkat!

Pertama-tama, kapal dilewatkan pada Batu Burung. Senyum! Cekrik! Senyum! Cekrik! Tante sibuk foto-foto, bahkan minta tolong difotokan oleh saya. Sambil mesem-mesem sakit perut takut, saya fotokan juga. Sambil tetap berpegangan erat-erat, saya mengagumi kebesaran Tuhan, kok bisa ya batu-batu sebesar-besar itu tumpuk-menumpuk kayak begitu? Ajaib banget!

Dan kapal merapat ke pulau pertama; Babi Kecil. “Di sini ngapain nih, Pak?” tanya saya setelah susah payah turun ke pantai dari kapal yang oleng. “Foto-foto!” kata Pak Taufik santai. Di sini mulai terungkaplah rahasia Pak Taufik! Rupanya dia sering membawa rombongan fotografer, jadinya dia tahu spot-spot cantik untuk mengambil foto. Bukan hanya itu, rupanya dia piawai megang kamera. Kamera profesional saja pernah dipegangnya, jadi gak usah tanya kamera pocket digital kami... Ah, yang begini mah gampiiilll... Gitu kali, katanya... hehehe... Tante langsung memanfaatkan keterampilan plus-plus Pak Taufik ini dong untuk mengabadikan pemandangan yang hular bizaza itu. Anak saya? Jongkok di pasir lagi dong ah!

Kami naik kapal lagi untuk pindah ke Pulau Kepayang. Si kecil mulai santai dan tidak lagi berpegangan erat-erat. Mamanya masih. Turun di Pulau Kepayang, kami melihat peradaban... hehehe... Maksudnya, di situ ada warung/restoran sederhana, fasilitas outbound, tempat bilas/WC yang bersih dan sama sekali gak bau (Catatan: rata-rata WC di Belitung ini bersih dan gak bau loh! Ini penting banget! Kecuali yang di Pantai Tanjung Pendam, itu bener-bener hoeeeek dah!)). Di pulau ini juga disediakan cottage untuk penginapan, dan ada tempat penangkaran penyunya juga. Batu-batunya juga besar-besar dan cantik-cantik. Tante foto-foto lagi, sambil menggandeng Pak Taufik sebagai fotografer dadakan. Anak saya jongkok lagi di pasir, sementara saya agak garing jomblo soalnya bingung mau ngapain. Akhirnya, saya foto-foto juga pemandangannya (habis kalo foto diri sendiri akhirnya gayanya itu lagi-itu lagi), ikut bikin istana pasir, dan sekali-sekali masukin kaki ke ombak. Air di antara batu-batunya agak dalam (boong ding, palingan sepaha) jadi saya cuma berani maju selangkah-dua asal airnya kena mata kaki gitu... hehehe...

Setelah dengan susah payah membujuk si kecil supaya mau pindah pulau dan membilas serta menggantikan baju dia, kami kembali naik kapal ke Pulau Lengkuas. Pulau Lengkuas pasirnya juga putih dan cantik, sayangnya agak kotor. Di pulau bermercusuar ini juga kami menyaksikan tragedi: rombongan si ibu hamil 7 bulan itu meninggalkan berbotol-botol Aqua yang masih setengah/tiga perempat berisi di atas meja yang disediakan di depan mercusuar. Padahal tempat sampah ada di samping meja itu!!! Botol-botol masih penuh air itu rasanya eman-eman banget! Minta ampun deh orang Indonesia! Akhirnya daripada eman-eman air bersih itu dan tidak ada yang memasukkannya ke tempat sampah, air itu kami gunakan untuk cuci tangan-kaki seusai makan. Botol air yang isinya sudah habis kami gunakan kami masukkan tong sampah. Apa susahnya sih jalan ke tong sampah? Huhuhu... menangiiiiis... Anak saya kembali jongkok ngorek-ngorek pasir, padahal meski putih pasir di P. Lengkuas ini kotor penuh sampah puntung rokok, potongan plastik dll. Kegembiraan si kecil makin bertambah saat teman-temannya kucing-kucing datang. Sayangnya di pulau ini tidak ada warung seperti di P. Kepayang tadi. Jadi kami harus puas dengan pop mie. (Sebenarnya tadi pagi sebelum brangkat, kami stop by di warung nasi uduk rekomendasi Pak Neli, sayangnya nasinya habis! Tinggal lauk-pauk. Terpaksalah kami hanya beli arem-arem dan sate ati-ampla serta sate telur puyuh di sana.) Usai sekadar mengganjal perut, Tante keliling-keliling pulau untuk foto-foto, sementara saya menemani si kecil. Lalu gantian, Tante menemani si kecil, dan saya keliling-keliling pulau. Ada beberapa plang penunjuk jalan seperti: kuburan Belanda, kolam bidadari, rumah tua, penangkaran penyu. Saya ikuti plang arah ke rumah tua. Rumah itu sebenarnya tidak tampak tua sama sekali karena sepertinya baru dicat. Tapi pemandangan di depan rumah... Ya Tuhanku dan Allahku, sungguh sepotong surga di bumi! Indah, indah, indah, dan damai. Langsung saya ceprat-cepret di sana. Pantai berpasir putih bersambungan dengan lapangan berumput hijau dengan aksen pohon kelapa menjulang. Luar biasa! Yap, tapi agak creepy juga sih karena sendirian, jadi usai ceprat-cepret, saya langsung kabuuuurrr! Saya masuk ke dalam mercusuar buatan tahun 1882 yang menjulang 18 tingkat. Naik sampai lantai 1, saya langsung turun lagi, baru satu lantai saja rasanya kok tinggi amat yak? Tapi, pasti seru kalau datang ke sana bawa Bos Ade Purnama dari Sahabat Museum. Pasti ceritanya banyak, dan kehidupan zaman Belanda di P. Lengkuas ini bisa terbayangkan lebih semarak.

Lanjut ke Pulau Burung. Sekali ini kami serasa punya pulau pribadi. Anak saya langsung duduk (bukan jongkok lagi) di pasir putih, dekat speedboat parkir dan sibuk dengan perangkat main pasirnya. Saya dan Tante menggunakan bakat terpendam Pak Taufik sebagai fotografer dadakan dan foto lompat-lompatan. Setelahnya, Tante ikut Pak Taufik melihat rumah pemilik pulau (yap, pulau yang ini memang pulau milik pribadi), sementara saya ikut main pasir dan celup-celup kaki. Lumayan lama juga kami di pulau “pribadi” yang ini. Di depan pantai tempat kami ngejogrok di pasir terdapat beberapa keramba. Sebetulnya saya tertarik juga ke sana. Tapi kata Pak Taufik, keramba ikan itu dijaga anjing galak. Terbukti saat ada rombongan kapal yang merapat di sana, gonggongan anjing langsung bergema.

Akhirnya, naik kapal lagi. Oya, dari yang tadinya pegangan erat-erat, ibu dan anak sekarang sudah jadi anak laut. Mamanya sudah naik pangkat dari dasar kapal ke bangku kayu, sementara anaknya berkembang lebih cepat dengan menolak pakai life jacket. Ealah... Selain itu, yang patut diceritakan dan sering dilupakan adalah perjuangan si nakoda kapal. Tiap merapat di suatu pulau, Pak Taufik pertama-tama melempar jangkar di buritan. Jangkar nyangkut, mesin dipelankan. Lunas kapal mencium pasir. Byur! Pak Taufik lompat ke air, meraih jangkar haluan, jangkar dipancangkan ke pasir, kapal ditarik sampai lunasnya lebih masuk pasir. Pak Taufik lari lagi ke belakang, menyetir kapal sampai pas berhenti, lari lagi ke depan menurunkan tangga. Ngeliatnya aja capek, gimana ngelakuinnya? Apalagi seharian bisa ke 5-6 pulau coba... Oya, pas di Pulau Babi Kecil, kapal sempat kabur terbawa ombak. Tentu Pak Taufik ikut kabur mengejar kapalnya. Sementara saya sakit perut membayangkan yang tidak-tidak karena ransel berisi bekal (dan duit!!!) ada di kapal. Tapi, puji Tuhan, orang Belitung memang jujur-jujur, Pak Taufik ya balik lagi dong ah dan mengulangi lagi proses lempar jangkar, tarik kapal, dll dsb itu.

Nah, kali ini kapal membawa kami ke pulau pasir. Tempat ini lenyap bila air pasang, dan muncul bila air surut. Di gundukan pasir kecil ini merapat 3 kapal dan turun sekitar 20an turis---dan beberapa kapal lain yang datang dan pergi tanpa menurunkan penumpangnya. Semua berfoto narsis, juga berfoto sama bintang laut. Patrick di sini warnanya pink kecokelatan dengan tanduk-tanduk cokelat tua kehitaman. Baru kali ini saya lihat bintang laut begitu loh. Cantik banget. Atraksi paling afdol di pulau kecil ini adalah memiliki laut dan menikmati ombak. Kita bisa jalan ke tengah laut sampai cukup jauh karena pasirnya datar banget. Bisa juga cuma masuk laut beberapa langkah terus jongkok, duduk, atau tengkurap. Byur! Ombak menerpa dari kanan-kiri depan-belakang! Seru banget! Ombaknya pun nggak gede, jadi rasanya aman-aman saja. Saya dan anak saya sibuk main ombak. Sudahlah kami basah kuyup gak keruan. Rasanya ogah deh naik lagi begitu sudah masuk air. Rombongan lain pada ada yang snorkeling di spot ini. Sebetulnya Pak Neli dan Pak Taufik mengusulkan supaya kami snorkeling juga. Tapi saya ogah, takut sama air dalam soalnya... hehehe... jadi sejak dari Tj. Kelayang pun saya sudah bilang saya ogah snorkeling. Satu per satu kapal beranjak pergi. Kapal kami termasuk yang terakhir pergi. Saya sempat melihat rombongan yang snorkeling dan full berkostum selam memunguti lagi bintang-bintang laut yang dipakai foto-foto narsis tadi. Mereka dengan panduan seorang bapak berkaus seragam (gak tau seragam apa, pokoknya kayak seragam aja) memasukkan bintang-bintang laut itu ke air, menekan-nekan sana-sini. Mengetes apakah si bintang laut mengapung atau tenggelam. Setelah tenggelam, si bintang laut dilempar jauh-jauh ke tengah laut. Rupanya bintang laut itu kemasukan angin saat dipegang-pegang dan berada di luar air. Akibatnya mereka tidak bisa tenggelam ke dasar laut, melainkan mengapung menantikan kematian. Ah, kasihan... Selalu alam tak berdosa harus jadi korban manusia.

Pindah dari pulau pasir, kami singgah di Pulau Kelayang. Di sana, kami hanya foto-foto dan main air lagi. Kami bahkan tidak berusaha menjelajah masuk hutan yang memagari teluk berpasir putih tempat kapal kami merapat. Tidak lama, rembang petang dan mendung makin menggantung, kami buru-buru kembali ke kapal untuk menuju pulang.

Kembali ke Tj. Kelayang, si kecil kembali jongkok di pasir, ogah disuruh berbilas. Hmm... dasar anak-anak, kalau sudah ketemu kesukaannya saja, sulit sekali bergeming. Akhirnya kami berbilas juga. Tersedia kamar bilas dan wc sederhana yang relatif bersih dan tidak bau, tapi airnya berwarna merah meski tawar. Nafsu berbilas jadi agak lenyap. Dengan pikiran akan mandi di hotel saja, kami membersihkan diri sekadarnya. Cuma si kecil yang bersabun, itu pun tidak keramas.

Usai berbilas dan ganti pakaian, Tante menyambangi kios sewa perahu untuk membayar sewa. “Pak, mau bayar kapal pesanan Pak Neli,” kata si tante. “Hah? Siapa, Bu?” tanya bapak di kios. “Pak Neli,” tegas si tante. “Oh, gak papa, Bu. Dia senang kok dikira laki, pasti nanti dia bakal bangga deh,” kata si bapak sambil senyum-senyum. Haaa... langsung si tante merasa nggak enak. Di mobil, Tante langsung meng-SMS saya---emang deh, sekarang zamannya SMS-an, bukan tuker-tukeran potongan kertas kecil lagi... hehehe---”the driver is female,” bunyi pesan singkatnya. Saya mesem-mesem saja. Jadi “Pak” Neli berganti menjadi “Kak” Neli deh... hehehe...

Kami kembali ke Tj. Tinggi untuk makan seafood. Kami memesan gangan kepala ikan ketarap---hidangan khas Belitung yang bentuknya seperti ikan masak nanas, cumi bakar (soalnya saya ngiler ngeliat pesanan orang di P.Lengkuas siangnya), sayur genjer, dan ikan terisi goreng kering. Gangannya ternyata pedas, jadi saya kurang suka. Cumi bakarnya enak tapi agak biasa aja. Ikan terisi goreng keringnya yang wokeh banget. Sayur genjer cah terasinya juga oke banget. All in all meskipun diawali dengan lapar sampai kalap, ternyata hidangan itu terlalu banyak untuk dihabiskan 3 dewasa dan 1 anak. Lauk yang sisa pun dibungkus dan dibawa pulang ke hotel.

Si kecil lelap di mobil dan tidak terbangun lagi sampai esok paginya. Yang dewasa mandi lagi, cuci baju, lalu leyeh-leyeh. Saya ngemil cumi bakar sambil nonton TV, sebelum akhirnya bergabung dengan alam mimpi.

Belitung November 2011

Bagian 1 dari 4 tulisan

Diawali dengan trip keluarga yang mreteli satu per satu, kami---saya, anak saya, dan tante saya---akhirnya berangkat ke Belitung. Sudah sejak sekitar tahun 2004 saya ingin ke pulau yang satu ini. Waktu itu saya melihat foto-foto Mariana Renata di pulau ini dalam suatu majalah tamasya. Sekitar waktu itu juga iklan sabun yang dibintangi Dian Sastro mengambil lokasi di pulau ini. Jadi saya sudah naksir pantainya lumayan agak jauh sebelum demam Laskar Pelangi melanda. Setelah Laskar Pelangi, urmm... jadi makin pengin sih. Tapi kebetulan saya belum baca dan nonton Laskar Pelangi. Sampai sekarang. Sekarang, sepulang dari Belitung, dvd-nya sudah saya pinjam, tapiii entah kapan sempat menontonnya... hehehe...

Anyway, kisah Belitung saya bisa dimulai dari...

The Hassles of Preparation...
Yap, persiapan memang perlu. Mulai dari menentukan siapa saja yang ikut, sampai akhirnya hanya tersisa tiga nama itu saja prosesnya lumayan panjang. Berikutnya, menentukan mau ikut tur atau jalan sendiri. Ikut tur... Awalnya saya merasa tidak pede merambah daerah yang tidak dikuasai kalau tidak ikut tur. Tapi di sisi lain, tur customized untuk kami sendiri jatuhnya jadi mahal banget. Kalau mau yang agak murah, campur sama orang lain. Nah, dengan bawa anak kecil, kalau si anak rewel, capek, mogok, dll dsb yang menyebalkan itu, apa kami gak jadi ruined other people's fun? Tapi awalnya kami toh mendaftar ke sebuah tur. Tapi, rupanya tante saya yang kreatif dan energik itu tiada pantang mundur untuk menghubungi juga beberapa hotel di Tanjung Pandan. Tak kurang dua hotel di-booking-nya. Plus sewa mobil. Tentu saja si tante juga mem-book pesawat. Jadi, saya yang tadinya berpangkat tour organizer tinggal ongkang-ongkang kaki lah. Sungguh boljug untuk jalan lagi sama tante yang satu ini... hehehe... Tentu karena Tante yang sibuk ini-itu dan telepon sana-sini, sampai detik akhir pun dia yang sibuk, dan saya akhirnya tinggal angkat ransel dan angkat si kecil, siap berangkat.

Oya, setelah menimbang kanan-kiri, maju-mundur, telepon sana-sini, akhirnya kami memutuskan jalan sendiri tanpa tur. Jadi, booking yang kami gunakan adalah hotel Pondok Impian 2, dan mobil pun di-book via hotel.

Day 1: Tempat Syuting Laskar Pelangi
Sulitnya ke Belitung adalah hanya ada dua maskapai penerbangan yang melayani rute Jakarta-Tanjung Pandan pp. Dua-duanya (sebenarnya semua maskapai lokal seeeh) raja delay. Jadi akhirnya kami pilih raja delay yang lebih murah dan lebih mudah cara pemesanan online-nya.

Namanya juga raja delay, tentu saja keberangkatan kami tertunda satu setengah jam. Untunglah sekarang terminal 1C SHIA udah keren dengan jendela yang besar-besar, sehingga anak saya terhibur dengan pemandangan segala macam pesawat itu. Oya, patut dicatat, rennaisance terminal 1 ini lumayan terasa loh, bukan hanya di bagian fisik bangunan saja (terutama WC!!!), tapi juga di pelayanan dengan banyaknya petugas kebersihan dan petugas informasi. Dan mereka bekerja loh... Seringnya kan kita melihat petugas banyak tapi sibuk gosip, bukan kerja... hehehe...

So, penerbangan lumayan lancar. Mendarat di Tj. Pandan hampir 13.30, kami serasa jadi punya bandara pribadi. Yang ada di landasan cuma pesawat kami. Bandara pun lengang, dengan hamparan pegunungan di belakang landasan. Hasrat foto-foto gila pun langsung tersalurkan, sampai ada panggilan, “Bu, Bu, cepetan! Penumpang ke Jakarta udah mau boarding!” Hehehe... Keluar dari pintu kedatangan, kami (hampir) langsung ketemu sama penjemput kami. Mobil Avanza pesanan pun meluncur ke lobi bandara untuk mengangkut kami. Saat menanyakan nama sopir, saya jadi agak wagu. “Namanya siapa, Pak?” “Saya? Neli,” jawab si sopir. “Hah? Siapa?” tegas saya. “Neli!” Saya diam. Si sopir penampilannya cowok dengan rambut cepak, kemeja lengan pendek, plus rokok di sakunya. Suaranya pun berat-berat gimana gitu. Tapi kok namanya Neli? Saat mobil berhenti untuk isi bensin, saya bertanya pada tante saya, “Sopirnya cewek ya?” Tante saya membantah, “Ah, enggak ah! Gak mungkin!” Ya sudah, saya diam lagi.

Kami berhenti untuk beli mie Belitung yang diulas di mana-mana itu di warung Mie Atep. lokasinya di dekat bundaran tengah kota. Lalu langsung meluncur ke hotel. Sembari jalan Pak Neli bertanya-tanya tentang jadwal acara kami. Dari Jakarta, hasil riset internet dan baca sana-sini, saya sudah membuat itinerary hari pertama kami eksplorasi sekitar hotel saja (karena perhitungan saya kami akan tiba sore hari---menghitung delay *uhuk*), hari kedua ke Laskar Pelangi (LP) di Manggar-Gantong, lalu hari ketiga island hoping, dan hari keempat belanja oleh-oleh sebelum pulang ke Jakarta. Rupanya Pak Neli kurang setuju kami ke LP, “Gak ada apa-apa di sana, tapi yah, kalau Ibu mau...” Pak Neli juga mengusulkan kami langsung saja ke pantai sore itu. Akhirnya kami memutuskan merem aja deh, ngikut aja... hehehe... Puji Tuhan, itu keputusan yang benar. Karena ada kan ya yang merem aja ikut aja akhirnya malah gak senang atau gak puas. Tapi dalam kasus kami rupanya Pak Neli ini tidak menyesatkan.

Sesungguhnya, selama 4 hari saya di Belitung, saya melihat budaya mereka sangat menjunjung tinggi kejujuran dan sangat berusaha menjaga kepercayaan. Mau nangis kan, sementara di Jakarta orang sudah sangat sulit untuk tidak mencurigai orang lain. Di Belitung, kami mau kasih dp hotel, “Nanti aja, Bu, kita percaya kok.” Mau dp sewa kapal, “Nanti aja, Bu, kita percaya kok.” Tapi bukannya kejujuran dan kepercayaan warga Belitung ini tidak pernah disalahgunakan. Pak Neli cerita, pernah juga mobil sewaan dilarikan sampai Jakarta oleh si penyewa. Tapi katanya, “Itu kan emang niatannya udah nggak benar. Nggak semua orang begitu, kan?”

So, back to cerita Day 1. Kami makan si mie Belitung superlezat di kamar hotel. (Oya, kamar hotelnya pun sangat memuaskan, dengan twin bed yang ukurannya besar, AC yang sudah siap menyala, kamar mandi dalam ber-water heater. Memadai banget lah.) Mie ini unik banget karena dibungkus daun simpor khas Belitung. Bentuknya adalah mie kering campur irisan tahu goreng, kentang goreng, bakwan udang, ketimun, dan dimakan dengan siraman kuah udang yang kental gurih manis udang. Kuah ini yang nendang banged. Top dah pokoknya! Kami juga membeli nasi tim ayam untuk ransum anak saya. Nasi tim ini pun dahsyat rasanya. Apalagi saya memakannya dengan diikuti sesuapan kuah udang dari mie. Slurufs, nyam!

Usai makan, sedikit bongkar bawaan dan ganti baju, kami siap berangkat. To the beach we go! Yeah!

Yeah, indeed! Tanjung Tinggi yang pertama kami singgahi penuh batu granit raksasa. Mantap bana buat foto-foto. Saya dan Tante langsung sibuk jeprat-jepret. Anak saya? Dia langsung jongkok begitu melihat pasir! Yeah, pasir, yeah! Di Jakarta mana bisa dia main pasir?

Tapi rupanya, bagi Pak Neli, pantai yang ini kurang oke, lebih oke yang di sonoan dikit. Kebetulan yang sonoan dikit itu jadi tempat syuting film LP. Ada prasastinya segala loh, “Pantai ini pernah menjadi lokasi syuting film LP.” Pantainya juga berbatu-batu granit raksasa yang tumpang tindih membentuk labirin-labirin yang menggoda untuk dijelajahi. Puji Tuhan, ada Pak Neli! Anak saya kembali langsung jongkok begitu melihat pasir dan bergeming main pasir, ditemani Pak Neli. Saya dan Tante langsung foto-foto lagi dong ah! Hehehe... Saat kami kembali dari mblusukan di antara batu-batu, gundukan kue pasir sudah tercipta di depan kedua orang yang setia main pasir itu. Sayangnya gerimis mulai turun, jadi foto-foto di situ harus diakhiri.

Selesai? Tidak dong ah! Kami pindah pantai lagi ke Tanjung Kelayang. Pantai ini surga dunia banget dah! Kebetulan hujan juga stop, jadi kami bisa turun ke bibir air. Pasirnya luar biasa putih. Airnya biru. Dan ini yang terpenting: tidak ada sampah sama sekali. Catat! Tidak ada sampah! Yah, daun-daun kering gitu sih ada, tapi sama sekali tidak ada sampah bawaan manusia seperti puntung rokok atau bungkus permen. Jelang senja itu suasananya sepi, airnya pun tenang nyaris tidak berombak. Gileee... saya mau tuh tinggal di situ selamanya! Anak saya? Jongkok di pasir lagi dong ah! Habis makan sereal bekalnya, dia lalu kembali membuat istana pasir. Setengah mati saya minta dia turun ke air, dia tidak mau. Meskipun akhirnya mau juga siiih... Maklum, anak malang, baru lihat pantai sekali ini, belum kenal ombak dia... Begitu ombak kecil datang berdebur dan menyerbu mukanya, dia teriak-teriak, “Asin! Asin!” Oya, notabene lagi, air asin di perairan Belitung ini nggak amis sama sekali. Bau lautnya pun nggak amis. Mungkin karena semua masih bersih tanpa sampah. Semoga kondisi ini bisa terjaga selamanya, amin!

Kami kembali ke hotel, mandi, lalu keluar lagi untuk makan. Restoran Sari Laut kayaknya wajib kunjung karena disebut di mana-mana. Pak Neli membawa kami ke sana, dan sepertinya sudah kenal sama semua orang di sana. (Kemudian hari terbukti tidak semua rekomendasi yang kami dapat dari internet maupun bacaan berkenan di hati Pak Neli. Bahkan ada beberapa spot yang langsung dia bilang, “Ah, di situ makanannya gak enak!” Tapi memang terbukti tempat yang menjadi rekomendasi dia memang enak-enak makanannya.) Kami memesan ikan ketarap bakar, kepiting isi (@5rb), otak-otak (@2rb), dan toge cah ikan asin. Minumnya es jeruk kunci. Rasa makanannya semua mantaf! Ikan ketarapnya tidak dibakar sampai kering, tapi masih moist. Rasanya gurih manis, kaldu ikannya itu yang enak banget karena bakarnya gak sampai kering. Kepiting isinya juga enak. Dan yang paling oke justru otak-otaknya, ikan semua, bow! Menurut Tante yang sudah coba otak-otak seluruh Indonesia, termasuk otak-otak Bangka dan Palembang, otak-otak Belitung inilah yang paling mantap. Sayang ukurannya sedang menuju mini, jadi dalam dua suap lenyap.

Seusai makan kami masih belanja air minum dan susu. Lalu langsung pulang ke hotel. And that's it for today, nite-nite!

Kamis, 17 November 2011

Editor dan Pengarang

Suatu hari dulu, waktu saya masih bekerja penuh waktu di kantor penerbitan, saya pernah diminta tolong “mengajari” seorang mahasiswa. Bukan pekerjaan yang aneh sebetulnya, karena kantor kami sering menerima mahasiswa magang atau mahasiswa yang membuat skripsi. Jadi, sesekali para editor diminta mendampingi mahasiswa-mahasiswa seperti ini.

Yang agak spesial, kali ini yang meminta bukan bos saya langsung, melainkan seorang rekan editor yang rupanya mendapat titah langsung potong kompas. “Mahasiswa ini anaknya temannya si bapak yang di lantai enam,” kata rekan saya itu. Oh, oke, bukan masalah (sedikit membuat sakit perut sih...). “Dia mahasiswa Harvard loh!” Oh, wow, what an honor! Mahasiswa Harvard mau belajar sama saya? Oh, wow! Siapalah saya ini?

Dan datanglah si mahasiswa. Mungil, mungkin baru dua puluh tahun, kelihatan malu-malu juga.

Saya dengan penuh semangat memulai pembicaraan---tentu setelah basa-basi, sudah berapa lama di Harvard, senang nggak di Amerika, dll dsb---jadi, apa yang bisa saya bantu?

“Saya mau jadi editor, Mbak,” katanya.

“Menarik!” kata saya, tentu senang mendengar orang mau jadi editor seperti saya. Masalahnya, profesi editor kan bukan profesi yang ngetop seperti dokter, pilot, polisi, guru, atau presiden. Tapi, kalau ini bukan profesi ngetop, jadi, “Kenapa mau jadi editor?”

“Supaya bisa marahin pengarang, Mbak! Kayaknya seru tuh,” katanya dengan bersemangat.

Hah, apa? Maaf, coba diulang? – Serius, saya mengatakan itu!

Dengan santai si mahasiswa Harvard mengulanginya, “Supaya bisa marahin pengarang, Mbak!”

Saya terdiam. Segala semangat ingin mengajar (kalau naskah diterima di sini prosesnya gini, gini, terus diedit gini, gini, lalu kita desain cover gini, gini, blablabla dst dsb) lenyap.

“Ooo... gitu ya?” Lalu percakapan jadi tersendat-sendat, dan kaku, dan aneh. Sampai akhirnya si mahasiswa Harvard dijemput oleh teman yang menitipkannya pada saya.

Oke, ketika saya mulai mencari kerja di tahun 2000 duluuuu... cita-cita saya adalah menjadi pengarang. Kenapa saya ingin jadi pengarang? Karena saya sangat suka sekali banget membaca. Jadi, ketika kemudian terbuka kesempatan untuk menjadi editor—which is sebenarnya waktu itu saya juga kurang mengerti apa pekerjaannya, selain bahwa saya akan membaca novel setiap hari—langsung saya meraihnya. Bukan pekerjaan tanpa minus. Yang pasti pekerjaan saya sebelumnya memberi saya gaji dua kali lipat daripada pekerjaan menjadi editor ini (capeknya juga dua kali lipat). Tapi rupanya panggilan hati itu tidak salah. Sebelas tahun kemudian saya tetap menjadi editor, dan terus belajar.

Langkah saya menjadi editor tidaklah mulus. Benar saya lulus tes penerimaan, yang artinya penguasaan bahasa Indonesia saya lumayan lebih bagus daripada rekan-rekan pelamar lain. Tapi, saya sungguh belum memahami esensi mengedit. Tugas pertama saya yang diperiksa rekan senior mendapat bisik-bisik merdu ke telinga bos, “Kayak belum diedit saja!” Syukurlah bos saya bijaksana, “Namanya juga baru belajar. Kamu dong ngajarin dia.” Berkas naskah pertama dan kedua dan terus sepanjang tahun pertama selalu kembali ke tangan saya dengan penuh coretan. Mungkin bisa dibilang coretan para senior pada berkas naskah yang saya kerjakan baru agak sedikit berkurang di tahun keempat saya menjadi editor. Sedemikian sulitnya tugas seorang editor, sedemikian tingginya tuntutan akan ketelitian bagi seorang editor.

Pun demikian saya tidak luput dari kesombongan. Dalam suatu rapat redaksi pernah saya berkomentar tentang para editor junior saya, “Yah, saya saja mencapai tahap ini, bisa seperti ini setelah sekian tahun!” Untunglah rekan editor, Hetih Rusli, cepat menyergah saya, “Dan kita masih terus belajar kan, Don?” Ehem. Benar. Saya masih harus terus belajar menajamkan mata melihat selipan-selipan huruf yang salah, menemukan kalimat-kalimat yang aneh. Saya juga masih harus terus mengikuti perkembangan bahasa (dulu memperhatikan, kemarin memerhatikan, dan hari ini kembali jadi memperhatikan!).

As for the editor-author relationship? Saya sungguh beruntung tahun 2005, kantor tempat saya bekerja mengadakan lomba novel remaja. Dari sanalah saya kemudian menjadi sangat terlibat dengan para pengarang lokal. Indahnya bekerja sama dengan pengarang lokal sangat banyak.

Pertama, saya harus berhubungan langsung dengan mereka. Mulai dari yang manis, ramah, sopan, dan penurut, sampai yang sombong, bebal, dan hanya mementingkan diri sendiri. Sungguh, ilmu kehidupan saya teruji saat harus berhubungan dengan aneka pengarang ini—terutama mereka yang karakternya sulit. Bila harus berhubungan dengan mereka-mereka yang sulit ini, terkadang saya menunda-nunda-nunda sampai tidak bisa ditunda lagi, dan akhirnya menghubungi mereka dengan sakit perut.

Kedua, saya bisa ikut membentuk naskah. Terkadang naskah yang tiba di tangah saya dari pengarang lokal masih mentah, masih harus dipoles kanan-kiri. Memikirkan usulan-usulan apa saja yang bisa diberikan untuk memperbagus suatu novel merupakan proses kreatif tersendiri yang sangat menarik dan membangkitkan semangat. Sungguh seru. Menemukan naskah rapi yang sudah jadi pun menjadi keasyikan tersendiri, karena sama seperti bos saya dulu menemukan Marga T. dan mengangkat Karmila, saya seolah menemukan mutiara terpendam pada novel-novel yang sudah rapi.

Ketiga, proses hubungan antara editor dan pengarang tidak berhenti pada urusan naskah. Proses berlanjut dengan bentuk setting dan tampilan cover, dan tentu juga proses promosi dan penjualan. Sering kali alasan menemani pengarang talkshow di radio anu atau di mal itu jadi alasan yang tokcer untuk keluar kantor... hehehe...

Lalu, masalah marahin pengarang, sesuai cita-cita si mahasiswa Harvard itu. Sepanjang sejarah saya menjadi editor, saya rasa saya belum pernah berkonfrontasi terbuka dengan pengarang. Alias saya belum pernah marahin para pengarang yang bekerja sama dengan saya. Sejauh ini saya masih berhasil mengomunikasikan apa yang saya inginkan, sehingga si pengarang bisa menerima dan mengerti. Ada memang beberapa pengarang yang... ya ampun, susahnya dihadapi. Saya pun pernah dimarahi pengarang senior akibat pekerjaan saya kurang sempurna. Tapi saya rasa sikap menghargai pengarang ini merupakan salah satu ajaran almarhum bos saya, Listiana Srisanti. Meskipun saat menghadapi pengarang yang sulit saya merasa “kenapa sih gak boleh balas marah ke pengarang ini, wong dia yang sombong kok!” tapi saya rasa dasar menghargai pengarang itu ada benarnya. Pertama, hukum emas: hargailah orang lain seperti kamu menghargai diri sendiri. Kedua, si pengarang yang punya ide dan tulisan. Ketiga, editor mungkin ensiklopedia berjalan atau menguasai empat bahasa, tapi tetap saja editor berfungsi membantu pengarang. Keempat, hubungan tanpa marah-marah pasti lebih enak, bukan? Sesungguhnya bukankah editor dan pengarang saling membutuhkan?

Kamis, 03 November 2011

Dalam Negeri? Hmmm...

Ngenes, ngenes, ngenes... Barusan di Kompas hari ini (3 November 2011), saya melihat iklan pariwisata... Thailand! (!!!) Negara yang minggu-minggu belakangan ini tenggelam dalam banjir yang sampai merenggut ratusan korban jiwa. Dan dinas pariwisatanya masih bisa mengiklankan negerinya? Dalam iklan itu diinformasikan bahwa Bandara Suvarnabhumi tetap buka, transportasi tetap berjalan seperti biasa di Bangkok, dan oh, jangan lupa... Thailand kan bukan cuma Bangkok, tapi juga ada Chiang Mai, Phuket, Pattaya, dll dsb.

Oke, Dinas Pariwisata Indonesia... Indonesia kan bukan cuma Baliiiiiiiiiiiiiii... Plus, Indonesia juga tidak kebanjiran. (Paling tidak belum di musim banjir ini, kecuali yang di Pondok Labu itu... hehehe...)

Sebelum Dinas Pariwisata Thailand ini, saya juga pernah melihat contoh kegigihan dinas pariwisata negara lain: Turki. Beberapa bulan lalu, hampir semua majalah wisata menulis tentang satu hal: Turki. Tiba-tiba negara ini menjadi sangat hip, menjadi tujuan yang hot. Oke deh, Turki memang asyik. Lokasinya yang berada di dua benua itu eksotik banget. Tapi pada saat bersamaan semua majalah menulis tentang Turki? Mencurigakan gak siiiih???

Kejadian yang hampir sama dengan Turki ini berulang dengan India. Hampir pada saat bersamaan majalah-majalah mengulas tentang India. TV-TV kabel menayangkan ulasan tentang India.

Dengan gencarnya promosi wisata luar negeri begitu, gimana kita nggak males berwisata di dalam negeri? Oh-oh, ditambah dengan sekarang banyak penerbangan murah, plus kemudahan-kemudahan lain sehingga mengatur perjalanan sehingga benar-benar customized sesuai keinginan kita sangat mungkin dilakukan. Plus-plus lagi bepergian ke seputaran Asia Tenggara ternyata lebih murah meriah dan hemat daripada bepergian dalam negeri sendiri.

Jadi, apa dong yang kita dapat dengan bepergian dalam negeri? Mahal? Sudah pasti. Susah? Sudah hampir pasti. Pelayanan standar atau bahkan di bawah standar? Sudah hampir pasti jugaaa....

Hhhh (menghela napas).

Tapi ya, ini yang kita dapat kalau bepergian dalam negeri: pengalaman otentik yang belum tentu sudah diperoleh orang lain. Tempat-tempat rahasia yang belum tentu diketahui orang lain. Ketabahan dan kesabaran. Cerita unik segudang yang bisa dibagikan untuk orang lain. Mau jadi backpacker? Taklukkan dulu Indonesia. Saking repotnya jalan-jalan dalam negeri, jalan-jalan ngere di luar negeri sudah hampir pasti bisa dilalui dengan tabah dan manis berbuah.

Mungkin kuncinya jalan-jalan dalam negeri adalah jangan takut, jangan manja, buka mata, buka telinga, buka diri (tapi jangan telanjang, bo. Berabe!). Kebanyakan orang Indonesia kan penakut. Naik pesawat jelek, takut. Naik pesawat delay, manyun. Dapat hotel kutuan, enak aja wong udah bayar! Memang sih gak enak, tapi sebagai orang Indonesia mungkin kita mesti menerima ya beginilah keadaan pariwisata negara kita. Dan kalau bukan kita yang mulai jalan-jalan di negara kita, siapa lagi?