Rabu, 24 Agustus 2011

Ke Museum Bareng Balita

Bisa kok! Tapi dengan catatan... hehehe... seperti biasa selalu ada udang di balik bakwan.

Sekarang temanya apa dulu nih? Ibunya mau menikmati karya seni dan benda sejarah atau anaknya mau diajak senang-senang?

Kalau temanya adalah “acara Ibu”, ya pilihlah saat pergi ke museum pas anak sudah beres semua. Artinya anak sudah makan, sudah tidur, dan kemungkinan besar tidak akan cranky dalam museum. Siapkan juga stroller atau gendongan untuk anak batita, sehingga si kecil gak keluyuran ke mana-mana dan ibunya bisa menikmati museum. Siapkan juga snack dan minuman buat si kecil, dengan catatan dinikmati di luar ruangan pajang museum, karena siapa tahu makanan yang dimakan di dalam ruang meninggalkan ceceran kue yang bisa membuat benda-benda pajang di sana jadi rusak. Siapkan juga kertas gambar dan pensil warna atau buku cerita, yang bisa menyibukkan si kecil sementara ibunya menyimak koleksi museum. Dan, biar bagaimanapun, mengajak balita ke museum tidak bisa lama-lama. Balita cepat bosan, dan belum bisa mengerti betul apa bagusnya sih keramik tua di pojokan itu?

Kalau temanya “acara anak”, ini dia serunya! Ibunya bisa mencari museum ramah anak. Artinya museum yang temanya menarik bagi anak, menyediakan pajangan yang bisa disentuh, juga menyiapkan kegiatan interaktif yang menarik. Jelas bukan jenis museum yang sekadar datang dan melihat saja. Anak balita kan senang untuk praktik langsung, dan memegang ini-itu.

Mika sudah memasuki beberapa museum, termasuk dua mahamuseum di dunia ini, Louvre dan Musei Vatikani (err... yang satu dia lari-larian di lapangannya, yang lain dia tidur di sepanjang museum). Tapi, dia justru paling gembira di dua museum di Jakarta ini: Museum Polisi dan Museum Layang-Layang. (Dia juga senang di Museum Bank Mandiri, tapi karena ada kuda-kudaan dan perosotan di halaman museum, jadi irelevan dengan tema museumnya.)

Tengah Juni 2011 lalu kami ke Museum Polisi. Begitu masuk halaman parkir Mabes Polri-nya saja Mika sudah heboh karena ada mobil polisi di mana-mana. Begitu sampai di depan museumnya, ada helikopter! Helikopter! Helikopter polisi asli, sodara-sodara! Bayangkan betapa pentingnya benda itu bagi anak laki-laki umur tiga tahun. Langsunglah si kecil naik untuk memegang langsung helikopter itu. Setelah memasuki ruang museum, kehebohan belum berakhir. Pertama-tama, kami ketemu sama ibu-ibu polisi yang ramah-ramah (polisi sungguhan, wow!), lalu ada mobil polisi yang boleh dimasuki! Mika langsung masuk mobil polisi itu dan memegang-megang semua peralatannya. Asyik! Di lantai dua, ternyata ada pojok khusus yang disediakan untuk anak-anak. Isinya permainan detektif-detektifan, mobil-mobilan (seperti mobil yang di kereta belanja Carrefour dan Giant), juga perangkat komputer. Akhirnya kami nguplek di sudut itu, karena Mika tidak mau turun dari mobil-mobilannya. So, dari sudut tema oke, pajangan boleh sentuh oke, kegiatan interaktif... mungkin anak umur tiga tahun belum bisa main detektif-detektifan, tapi tersedia, jadi oke. Yap, Museum Polisi adalah museum ramah anak.

Tengah Agustus 2011, kami ke Museum Layang-Layang. Penasaran dengan promosi dan cerita yang gencar, dan tidak sabar kalau harus menunggu ikut kunjungan sekolah, saya memutuskan berangkat sendiri bersama Mika. Jadi sepulang sekolah kami mampir ke sana. Begitu masuk, ternyata kami disuguhi dulu film tentang layang-layang. Mika tidak terlalu excited dan bolak-balik mengajak “lihat layang-layang”. Setelah masuk ke bangunan museum yang berupa rumah Jawa, Mika mulai gembira melihat-lihat berbagai bentuk layangan. Tapi tentu saja dia tidak sabar mendengarkan keterangan dari bapak guide. Jadi acara melihat-lihat bagian dalam museumnya hanya terjadi sekilas pandang saja. Mika baru benar-benar gembira saat praktik membuat layangan. Kertas yang sudah dicetak gambar bisa diwarnai oleh Mika, lalu si bapak guide yang baik hati itu memasangkan benang layangan dan rusuk layangan dari batang lidi. Mika juga diajari menerbangkan layangan kertas kecil itu. Senang sekali dia lari kian kemari di halaman museum yang lumayan luas. So, untuk museum ini untuk tema menarik bagi anak oke. Pajangan boleh sentuh... errrm... meskipun layangan yang tersedia boleh disentuh, tapi saya tetap melarang Mika pegang-pegang, takut badan layangan yang rata-rata dari kertas tipis itu jadi sobek, mengingat dia belum bisa mengukur tenaganya. Dan kegiatan interaktif... berhasil banget! Mika senang sekali membuat layangan dan mencoba menerbangkannya. Meskipun kecil dan terbuat dari kertas HVS yang cukup tebal, ternyata layangan praktik ini bisa terbang lho!

All in all, bisa kan anak-anak balita diajak ke museum? Yang penting pilih museum yang tepat, supaya si anak bisa menikmatinya juga.

Museum Polri: Mabes Polri Blok M, gratis
Museum Layang-Layang: Jl. H. Kamang, Pd. Labu, Rp10.000 (nonton film, guide, praktik membuat layangan. Terdapat berbagai paket menarik lain seperti membatik, membuat keramik, dll dengan harga bervariasi)

Senin, 15 Agustus 2011

Anak ilang

Nightmare semua orangtua: anaknya ilang. Bener loh, terkadang kalo si anak lagi berulah kita pengin banget anak itu ilang sekalian. Kalo ada orang lewat mau ngambil silahkeun, sumonggo, jangan malu-malu... Tapi, kalo ilang beneran? Wuih, nangis!

Waktu bikin buku “Traveling with Kids” (will be out soon, yay!) bareng Rully Larasati, tiap berapa alinea, gue menulis “dan jangan lupa lirik tip supaya anak nggak ilang di Bab 6”. Alhasil info tentang tip anak ilang ada di Bab 6 muncul di tiap bab, dan akhirnya supaya nggak bikin boring beberapa info ini dipangkas... hehehe... Tapi, kesimpulan kami (gue dan Rully) adalah kami takut banget anak kami ilang.

Mengingat memang banyak kejadian aneh bin mengerikan seperti anak yang udah cukup besar lagi nunggu di depan wc tempat mamanya pipis kok ya bisa ilang juga, anak yang lagi-lagi udah cukup besar ternyata dikerjain di dalem wc padahal papanya nunggu di pintu wc, anak yang ilang lalu ketemu lagi ginjalnya udah raib... dan semua itu terjadi di tempat-tempat wisata yang cukup kondang, gimana caranya kita jadi nggak males berwisata, coba?

Tapi, buat orang jenis gue, gimana gak berwisata, coba? Kalo udah lama gak jalan-jalan badan rasanya gimana gituuu... Di otak adanya cuma “pengin pergi, pengin pergi, pengin pergi...” (meskipun sering kali gak keturutan juga). Waktu diwawancara Cosmo itu, tip terakhir gue adalah “orangtua mesti berani dan fleksibel”. Tapi pas mendengar soal kehilangan anak-kehilangan anak ini, nyali siapa juga yang nggak ciut?

Mariii kita pompa lagi keberanian kita dengan pertama-tama berdoa! Kayaknya simpel, tapi masalah culik-menculik, hipnotis-menghipnotis, dan hal-hal jelek lainnya cuma bisa kita pasrahkan pada Tuhan. Tujuan kita jalan-jalan kan baik (bersenang-senang dong tentu saja! Tentu plus-plus mempererat tali kasih dalam keluarga, menambah pengetahuan, memberi pada masyarakat sekitar, menambah devisa negara, dsb dsb dll dll), pasti gak mau yang jelek-jelek dong. Jadi, asal kita udah well prepared, serahkanlah semuanya pada Tuhan.

Bagaimana dengan well prepared-nya? Berikut beberapa tip yang lengkapnya bisa dilihat di “Traveling with Tots” dan “Traveling with Kids”. Pertama-tama (seneng amat sih gue pake kata ini...) kita mesti udah riset soal tempat yang mau kita datangi. Tahu lokasinya kayak apa dan situasi kayak apa yang bakal kita temui di sana. Misalnya mau mengunjungi Dufan, kita mesti udah punya gambaran kira-kira luasnya bagaimana, syukur-syukur udah pernah ke sana dan bisa mengira-ngira petugas yang bisa dimintai bantuan ada di mana aja. Demikian pula kalau mau ke tempat wisata lain, misalnya pantai atau rumah ibadah. Kalau sukanya pergi ke off the beaten track, misalnya ke pantai yang sepi dan gak ada orang yang tahu, tetap sih kita udah mesti prepare kira-kira gambaran situasi yang bakal kita temui di sana gimana, siapa yang kira-kira bisa dimintai tolong. Soalnya pergi bawa anak, bo!

Kedua, kembangkan bakal narsis anak sejak dini: fotolah dia begitu sampai di tempat wisata itu. Jadi kita punya fotonya yang paling update hari itu, sehingga sekiranya dia terpisah dari kita, foto itu bisa ditunjukin ke orang lain untuk minta tolong.

Ketiga, untuk anak yang masih kecil (balita), boleh dipakaikan baju yang spesifik banget, misalnya warnanya norak atau kaus yang ada namanya. Kan sekarang banyak tuh tukang bordir nama atau jait kain felt di ITC. Bisa juga dipakaikan name tag, kalung, atau penanda lain yang berisi informasi nama anak dan ortu serta alamat. Atau kalau anak ogah dipakaikan benda-benda itu, kata Lonely Planet, tulis aja info tersebut di tangan atau perut si anak dengan spidol. Gue pribadi kurang setuju sih sama pemberian info detail ini, soalnya kalo ndilalah si anak beneran diculik, (knock on wood!!!) jangan-jangan info malah digunakan si orang jahat. Tapi, kembalilah ke step awal banget tadi kali ya: pasrah sama Tuhan dan ingat niatan kita baik... hehehe...

Tiga, jangan pernah lepaskan anak dari pandangan kita, dan suruh dia gak boleh jauh-jauh. Bagi tugas sama pasangan (atau siapa pun yang pergi sama kita) untuk menjaga anak. Jangan dua-dua orang dewasa sama-sama antre tiket atau beli makan dan si anak pecicilan ke mana-mana. Demikian pula kalau anak tiba-tiba ilang, bagi tugas dengan pasangan untuk mencari. Dan jangan dua-duanya mencari, tapi satu tunggu di meeting point, yang lain keliling. Kalau ada tempat berbahaya (jurang, sungai, kandang singa) carilah ke tempat-tempat itu dulu.

Empat, perhatikan keinginan anak dan sebisa langsung penuhi. Masalahnya gini, orangtua tuh sering ya bilang ke anak, “De, kalo mau pipis bilang Mama ya, nanti langsung Mama anterin ke wc.” Eh, pas si anak pengin pipis, mamanya lagi seru milih suvenir dan nyuruh anak nunggu. Padahal anak kecil biasa bilang mau pipis kalo udah kebelet banget, akhirnya dia memutuskan untuk pergi sendiri ke wc dan meninggalkan mamanya yang lama. Kalo takut si anak (balita) pergi sendiri, baik kenakanlah child safety harness kepadanya, jadi dia gak bisa ke mana-mana karena tali anjingnya dipegang si mama. Tapi, kalo takut dibilang gak berperi keanakan di Indonesia, yasud, lupakan dulu si suvenir dan antar si anak ke wc.

Dan akhirnya, untuk anak yang sudah besar terutama, tapi bisa juga untuk balita, kalau terpisah dari ortu, minta mereka menemui orang berseragam. Bisa seragam pelayan, bisa juga satpam. Biasanya mereka orang “benar” dan mau dimintai tolong.

Oh-oh-oh, dan ingat saran ortu kita dari jaman dulu yang mesti kita sampaikan ke anak-anak: jangan pernah ngomong sama orang asing!!! Kenalan sama orang asing itu asyik, tapi nanti kalau si anak udah punya KTP sendiri ya, alias sudah 18 tahun ke atas!

Jadi, mari kita pompa keberanian kita, berdoa, dan selamat jalan-jalan!

Jumat, 12 Agustus 2011

Guide

Oke deh... oke... setelah beberapa hari berusaha mengumpulkan niat dan menguatkan hati untuk kembali nge-blog, akhirnya subuh ini mulailah daku mengetik ini-itu.

Nge-blog itu sebenarnya asyik. Dan bisa jadi latihan menulis yang tokcer. Soalnya, kalo kita berkomitmen nge-blog, kita akan memaksa diri kita untuk menulis dan mencari ide terus-menerus. Iya gak? Iya gak?

Anyway, ada sih ide yang terus berputar di kepala gue seminggu ini. Tepatnya setelah pulang dari on-air di Cosmopolitan Radio (taelah, promosi sih tapi telat, kalo gini mah namanya pamer doang!), Sabtu minggu lalu (6 Agustus 2011). Pas on-air itu, gue bertutur bahwa lebih baik nyewa guide kalo ke Kebun Raya Bogor, lalu tuturan itu mendapat tanggapan di twitter-nya Cosmo, ngapain juga nyewa guide kalo yang diliat itu-itu aja?

Loh, justru!

Justru itu kita butuh guide, supaya yang dilihat gak itu-itu aja! Terus terang, tanggapan gue pas on-air itu agak memalukan. Gue cuma bilang bahwa guide itu perlu biar kita bisa bedain jenis-jenis pohon. Tapi, sebenarnya it's more... waiii... more than that, sodara-sodara!

Guide bisa membuat perjalanan kita jadi lebih bermakna. Guide yang baik dan mengenal seluk-beluk topik yang dibawakannya akan membuat kita pulang dari jalan-jalan dengan perasaan bahagia, bertambah cerdas, dan jelas puas. Serius! Guide yang baik bisa membuat perjalanan kita mempunya nilai lebih dan tentu jadi bermakna.

Contohnya ya, kembali ke Kebun Raya Bogor. Gue dan keluarga pernah mengantar seorang bapak Jerman ke KRB. Di pintu masuk kami menyewa guide, maksudnya tentu biar gak repot ya kalo si bapak Jerman nanya-nanya ke kita, gimana juga jawabnya, coba? Eh, ternyata, si guide itu lulusan IPB juga, bo! Jadi seru banget dia cerita ini-itu, ngasih tahu tumbuhan ini-itu, dan spot-spot lucu di KRB, misalnya tempat si bapak Jerman bisa gelantungan di sulur-suluran ala Tarzan (fotonya terus dicetak dan dibingkai, buat suvenir si bapak Jerman... hehehe). Bayangin gimana kalo kita keliling-keliling KRB tanpa guide? Yang ada ceritanya cuma, “Errm... ini pohon... itu juga pohon... hehehe...”

Masih di KRB, waktu gue masih enam tahun, keluarga gue mengantar sekeluarga Belanda (bapak-ibu-anak 3 tahun) ke sana. Tentu keluarga gue menggunakan guide juga. Dan percaya gak, gue masih ingat betapa amazed-nya gue sama KRB karena di situ ada pohon kelapa sawit yang umurnya udah seratus tahun lebih, karena ada bunga bangkai yang bau, dan karena ada teratai yang daunnya luebaaar... buangeeed. Serius, ini kenangan masa kecil gue, bukan karena gue baca di mana, dan bukan karena kunjungan bersama si bapak Jerman yang edisinya udah tahun 2000-an. Ini ingatan dari masa kecil gue. Dan kalo gak nyewa guide, gue rasa sih gue gak akan punya kenangan itu.

Menyinggung museum, gue adalah pecinta museum, biarpun museum di Indonesia kondisinya masih yah... (eh, tapi tahun-tahun terakhir ini museum-museum di Indonesia makin cantik loh!). Tapi, sayangnya gue jarang-jarang pakai guide di Jakarta. Lain halnya pas ke Bali, gue langsung dipepet guide saking dikira orang Jepang (wakarimasen! Wakarimasen!). Akibatnya, meskipun gue selalu terkagum-kagum sama koleksi Museum Gajah, tapi gue baru benar-benar jatuh cinta sama museum ini saat mengunjunginya bareng guru sejarah SMA gue. Guru sejarah gue itu piawai banget cerita ini-itu tentang patung-patung di dalam museum. Kecintaan dan kekaguman gue sama koleksi Museum Gajah makin bertambah waktu main ke sana pas Pameran Majapahit dengan narasumber Pak Dwi dari Malang yang diundang Sahabat Museum. Wow, keren! Terutama ceritanya tentang arca Bima yang perkasa... hehehe... Tuh,kan, kalo guide-nya oke, biarpun udah lewat bertahun-tahun tetap inget ceritanya apa...

Di museum-museum lain (di Indonesia) yang gue kunjungi, gue tidak pernah menggunakan jasa guide. Akibatnya, ya lempeng dot com aja deh. Cuma lihat-lihat, terus foto-foto (atau bahkan gak foto-foto karena gue gak segitu narsisnya) lalu pulang deh kita. Eh, kecuali pas ke museum di Bali itu... yang pas gue dikira orang Jepang itu... hehehe... Kadang keterangan yang disematkan pada barang koleksi museum sudah cukup memuaskan rasa ingin tahu, tapi kadang tulisannya cuma “Piring, tahun 1600-an”. Thanks... garing amat keterangannya.

Soal guide-nya sendiri, kadang ada guide yang helpful banget dan seru bercerita ini-itu. Tapi kadang ketemu juga guide yang sama garingnya dengan keterangan “Piring, tahun 1600-an” itu. Alias si guide cuma membaca ulang keterangan yang ada. Woi, Pak, kalo baca doang mah saya juga bisa! Tapi, kata salah satu sumber yang bisa dipercaya, kita sebagai pengguna jasa guide juga mesti rajin nanya, biar ceritanya keluar semua. Masalahnya terkadang mau nanya apa juga bingung yak.

Anyway, tanpa guide, barang-barang di museum mungkin jadi sekadar barang pajangan dan pohon-pohon serta anggrek cantik di KRB cuma jadi sekadar pohon dan anggrek yang cantik. Mereka bukan mangkuk gerabah yang digunakan di zaman Majapahit serta bunga yang persilangannya diawasi sendiri oleh Megawati yang presiden itu. Dan yang pasti, selain menambah poin pada perjalanan kita, kalo ada guide kita bisa minta tolong buat difoto serombongan komplet dong ah!