Kamis, 17 November 2011

Editor dan Pengarang

Suatu hari dulu, waktu saya masih bekerja penuh waktu di kantor penerbitan, saya pernah diminta tolong “mengajari” seorang mahasiswa. Bukan pekerjaan yang aneh sebetulnya, karena kantor kami sering menerima mahasiswa magang atau mahasiswa yang membuat skripsi. Jadi, sesekali para editor diminta mendampingi mahasiswa-mahasiswa seperti ini.

Yang agak spesial, kali ini yang meminta bukan bos saya langsung, melainkan seorang rekan editor yang rupanya mendapat titah langsung potong kompas. “Mahasiswa ini anaknya temannya si bapak yang di lantai enam,” kata rekan saya itu. Oh, oke, bukan masalah (sedikit membuat sakit perut sih...). “Dia mahasiswa Harvard loh!” Oh, wow, what an honor! Mahasiswa Harvard mau belajar sama saya? Oh, wow! Siapalah saya ini?

Dan datanglah si mahasiswa. Mungil, mungkin baru dua puluh tahun, kelihatan malu-malu juga.

Saya dengan penuh semangat memulai pembicaraan---tentu setelah basa-basi, sudah berapa lama di Harvard, senang nggak di Amerika, dll dsb---jadi, apa yang bisa saya bantu?

“Saya mau jadi editor, Mbak,” katanya.

“Menarik!” kata saya, tentu senang mendengar orang mau jadi editor seperti saya. Masalahnya, profesi editor kan bukan profesi yang ngetop seperti dokter, pilot, polisi, guru, atau presiden. Tapi, kalau ini bukan profesi ngetop, jadi, “Kenapa mau jadi editor?”

“Supaya bisa marahin pengarang, Mbak! Kayaknya seru tuh,” katanya dengan bersemangat.

Hah, apa? Maaf, coba diulang? – Serius, saya mengatakan itu!

Dengan santai si mahasiswa Harvard mengulanginya, “Supaya bisa marahin pengarang, Mbak!”

Saya terdiam. Segala semangat ingin mengajar (kalau naskah diterima di sini prosesnya gini, gini, terus diedit gini, gini, lalu kita desain cover gini, gini, blablabla dst dsb) lenyap.

“Ooo... gitu ya?” Lalu percakapan jadi tersendat-sendat, dan kaku, dan aneh. Sampai akhirnya si mahasiswa Harvard dijemput oleh teman yang menitipkannya pada saya.

Oke, ketika saya mulai mencari kerja di tahun 2000 duluuuu... cita-cita saya adalah menjadi pengarang. Kenapa saya ingin jadi pengarang? Karena saya sangat suka sekali banget membaca. Jadi, ketika kemudian terbuka kesempatan untuk menjadi editor—which is sebenarnya waktu itu saya juga kurang mengerti apa pekerjaannya, selain bahwa saya akan membaca novel setiap hari—langsung saya meraihnya. Bukan pekerjaan tanpa minus. Yang pasti pekerjaan saya sebelumnya memberi saya gaji dua kali lipat daripada pekerjaan menjadi editor ini (capeknya juga dua kali lipat). Tapi rupanya panggilan hati itu tidak salah. Sebelas tahun kemudian saya tetap menjadi editor, dan terus belajar.

Langkah saya menjadi editor tidaklah mulus. Benar saya lulus tes penerimaan, yang artinya penguasaan bahasa Indonesia saya lumayan lebih bagus daripada rekan-rekan pelamar lain. Tapi, saya sungguh belum memahami esensi mengedit. Tugas pertama saya yang diperiksa rekan senior mendapat bisik-bisik merdu ke telinga bos, “Kayak belum diedit saja!” Syukurlah bos saya bijaksana, “Namanya juga baru belajar. Kamu dong ngajarin dia.” Berkas naskah pertama dan kedua dan terus sepanjang tahun pertama selalu kembali ke tangan saya dengan penuh coretan. Mungkin bisa dibilang coretan para senior pada berkas naskah yang saya kerjakan baru agak sedikit berkurang di tahun keempat saya menjadi editor. Sedemikian sulitnya tugas seorang editor, sedemikian tingginya tuntutan akan ketelitian bagi seorang editor.

Pun demikian saya tidak luput dari kesombongan. Dalam suatu rapat redaksi pernah saya berkomentar tentang para editor junior saya, “Yah, saya saja mencapai tahap ini, bisa seperti ini setelah sekian tahun!” Untunglah rekan editor, Hetih Rusli, cepat menyergah saya, “Dan kita masih terus belajar kan, Don?” Ehem. Benar. Saya masih harus terus belajar menajamkan mata melihat selipan-selipan huruf yang salah, menemukan kalimat-kalimat yang aneh. Saya juga masih harus terus mengikuti perkembangan bahasa (dulu memperhatikan, kemarin memerhatikan, dan hari ini kembali jadi memperhatikan!).

As for the editor-author relationship? Saya sungguh beruntung tahun 2005, kantor tempat saya bekerja mengadakan lomba novel remaja. Dari sanalah saya kemudian menjadi sangat terlibat dengan para pengarang lokal. Indahnya bekerja sama dengan pengarang lokal sangat banyak.

Pertama, saya harus berhubungan langsung dengan mereka. Mulai dari yang manis, ramah, sopan, dan penurut, sampai yang sombong, bebal, dan hanya mementingkan diri sendiri. Sungguh, ilmu kehidupan saya teruji saat harus berhubungan dengan aneka pengarang ini—terutama mereka yang karakternya sulit. Bila harus berhubungan dengan mereka-mereka yang sulit ini, terkadang saya menunda-nunda-nunda sampai tidak bisa ditunda lagi, dan akhirnya menghubungi mereka dengan sakit perut.

Kedua, saya bisa ikut membentuk naskah. Terkadang naskah yang tiba di tangah saya dari pengarang lokal masih mentah, masih harus dipoles kanan-kiri. Memikirkan usulan-usulan apa saja yang bisa diberikan untuk memperbagus suatu novel merupakan proses kreatif tersendiri yang sangat menarik dan membangkitkan semangat. Sungguh seru. Menemukan naskah rapi yang sudah jadi pun menjadi keasyikan tersendiri, karena sama seperti bos saya dulu menemukan Marga T. dan mengangkat Karmila, saya seolah menemukan mutiara terpendam pada novel-novel yang sudah rapi.

Ketiga, proses hubungan antara editor dan pengarang tidak berhenti pada urusan naskah. Proses berlanjut dengan bentuk setting dan tampilan cover, dan tentu juga proses promosi dan penjualan. Sering kali alasan menemani pengarang talkshow di radio anu atau di mal itu jadi alasan yang tokcer untuk keluar kantor... hehehe...

Lalu, masalah marahin pengarang, sesuai cita-cita si mahasiswa Harvard itu. Sepanjang sejarah saya menjadi editor, saya rasa saya belum pernah berkonfrontasi terbuka dengan pengarang. Alias saya belum pernah marahin para pengarang yang bekerja sama dengan saya. Sejauh ini saya masih berhasil mengomunikasikan apa yang saya inginkan, sehingga si pengarang bisa menerima dan mengerti. Ada memang beberapa pengarang yang... ya ampun, susahnya dihadapi. Saya pun pernah dimarahi pengarang senior akibat pekerjaan saya kurang sempurna. Tapi saya rasa sikap menghargai pengarang ini merupakan salah satu ajaran almarhum bos saya, Listiana Srisanti. Meskipun saat menghadapi pengarang yang sulit saya merasa “kenapa sih gak boleh balas marah ke pengarang ini, wong dia yang sombong kok!” tapi saya rasa dasar menghargai pengarang itu ada benarnya. Pertama, hukum emas: hargailah orang lain seperti kamu menghargai diri sendiri. Kedua, si pengarang yang punya ide dan tulisan. Ketiga, editor mungkin ensiklopedia berjalan atau menguasai empat bahasa, tapi tetap saja editor berfungsi membantu pengarang. Keempat, hubungan tanpa marah-marah pasti lebih enak, bukan? Sesungguhnya bukankah editor dan pengarang saling membutuhkan?

Tidak ada komentar: