Rabu, 30 November 2011

Belitung November 2011

Bagian 1 dari 4 tulisan

Diawali dengan trip keluarga yang mreteli satu per satu, kami---saya, anak saya, dan tante saya---akhirnya berangkat ke Belitung. Sudah sejak sekitar tahun 2004 saya ingin ke pulau yang satu ini. Waktu itu saya melihat foto-foto Mariana Renata di pulau ini dalam suatu majalah tamasya. Sekitar waktu itu juga iklan sabun yang dibintangi Dian Sastro mengambil lokasi di pulau ini. Jadi saya sudah naksir pantainya lumayan agak jauh sebelum demam Laskar Pelangi melanda. Setelah Laskar Pelangi, urmm... jadi makin pengin sih. Tapi kebetulan saya belum baca dan nonton Laskar Pelangi. Sampai sekarang. Sekarang, sepulang dari Belitung, dvd-nya sudah saya pinjam, tapiii entah kapan sempat menontonnya... hehehe...

Anyway, kisah Belitung saya bisa dimulai dari...

The Hassles of Preparation...
Yap, persiapan memang perlu. Mulai dari menentukan siapa saja yang ikut, sampai akhirnya hanya tersisa tiga nama itu saja prosesnya lumayan panjang. Berikutnya, menentukan mau ikut tur atau jalan sendiri. Ikut tur... Awalnya saya merasa tidak pede merambah daerah yang tidak dikuasai kalau tidak ikut tur. Tapi di sisi lain, tur customized untuk kami sendiri jatuhnya jadi mahal banget. Kalau mau yang agak murah, campur sama orang lain. Nah, dengan bawa anak kecil, kalau si anak rewel, capek, mogok, dll dsb yang menyebalkan itu, apa kami gak jadi ruined other people's fun? Tapi awalnya kami toh mendaftar ke sebuah tur. Tapi, rupanya tante saya yang kreatif dan energik itu tiada pantang mundur untuk menghubungi juga beberapa hotel di Tanjung Pandan. Tak kurang dua hotel di-booking-nya. Plus sewa mobil. Tentu saja si tante juga mem-book pesawat. Jadi, saya yang tadinya berpangkat tour organizer tinggal ongkang-ongkang kaki lah. Sungguh boljug untuk jalan lagi sama tante yang satu ini... hehehe... Tentu karena Tante yang sibuk ini-itu dan telepon sana-sini, sampai detik akhir pun dia yang sibuk, dan saya akhirnya tinggal angkat ransel dan angkat si kecil, siap berangkat.

Oya, setelah menimbang kanan-kiri, maju-mundur, telepon sana-sini, akhirnya kami memutuskan jalan sendiri tanpa tur. Jadi, booking yang kami gunakan adalah hotel Pondok Impian 2, dan mobil pun di-book via hotel.

Day 1: Tempat Syuting Laskar Pelangi
Sulitnya ke Belitung adalah hanya ada dua maskapai penerbangan yang melayani rute Jakarta-Tanjung Pandan pp. Dua-duanya (sebenarnya semua maskapai lokal seeeh) raja delay. Jadi akhirnya kami pilih raja delay yang lebih murah dan lebih mudah cara pemesanan online-nya.

Namanya juga raja delay, tentu saja keberangkatan kami tertunda satu setengah jam. Untunglah sekarang terminal 1C SHIA udah keren dengan jendela yang besar-besar, sehingga anak saya terhibur dengan pemandangan segala macam pesawat itu. Oya, patut dicatat, rennaisance terminal 1 ini lumayan terasa loh, bukan hanya di bagian fisik bangunan saja (terutama WC!!!), tapi juga di pelayanan dengan banyaknya petugas kebersihan dan petugas informasi. Dan mereka bekerja loh... Seringnya kan kita melihat petugas banyak tapi sibuk gosip, bukan kerja... hehehe...

So, penerbangan lumayan lancar. Mendarat di Tj. Pandan hampir 13.30, kami serasa jadi punya bandara pribadi. Yang ada di landasan cuma pesawat kami. Bandara pun lengang, dengan hamparan pegunungan di belakang landasan. Hasrat foto-foto gila pun langsung tersalurkan, sampai ada panggilan, “Bu, Bu, cepetan! Penumpang ke Jakarta udah mau boarding!” Hehehe... Keluar dari pintu kedatangan, kami (hampir) langsung ketemu sama penjemput kami. Mobil Avanza pesanan pun meluncur ke lobi bandara untuk mengangkut kami. Saat menanyakan nama sopir, saya jadi agak wagu. “Namanya siapa, Pak?” “Saya? Neli,” jawab si sopir. “Hah? Siapa?” tegas saya. “Neli!” Saya diam. Si sopir penampilannya cowok dengan rambut cepak, kemeja lengan pendek, plus rokok di sakunya. Suaranya pun berat-berat gimana gitu. Tapi kok namanya Neli? Saat mobil berhenti untuk isi bensin, saya bertanya pada tante saya, “Sopirnya cewek ya?” Tante saya membantah, “Ah, enggak ah! Gak mungkin!” Ya sudah, saya diam lagi.

Kami berhenti untuk beli mie Belitung yang diulas di mana-mana itu di warung Mie Atep. lokasinya di dekat bundaran tengah kota. Lalu langsung meluncur ke hotel. Sembari jalan Pak Neli bertanya-tanya tentang jadwal acara kami. Dari Jakarta, hasil riset internet dan baca sana-sini, saya sudah membuat itinerary hari pertama kami eksplorasi sekitar hotel saja (karena perhitungan saya kami akan tiba sore hari---menghitung delay *uhuk*), hari kedua ke Laskar Pelangi (LP) di Manggar-Gantong, lalu hari ketiga island hoping, dan hari keempat belanja oleh-oleh sebelum pulang ke Jakarta. Rupanya Pak Neli kurang setuju kami ke LP, “Gak ada apa-apa di sana, tapi yah, kalau Ibu mau...” Pak Neli juga mengusulkan kami langsung saja ke pantai sore itu. Akhirnya kami memutuskan merem aja deh, ngikut aja... hehehe... Puji Tuhan, itu keputusan yang benar. Karena ada kan ya yang merem aja ikut aja akhirnya malah gak senang atau gak puas. Tapi dalam kasus kami rupanya Pak Neli ini tidak menyesatkan.

Sesungguhnya, selama 4 hari saya di Belitung, saya melihat budaya mereka sangat menjunjung tinggi kejujuran dan sangat berusaha menjaga kepercayaan. Mau nangis kan, sementara di Jakarta orang sudah sangat sulit untuk tidak mencurigai orang lain. Di Belitung, kami mau kasih dp hotel, “Nanti aja, Bu, kita percaya kok.” Mau dp sewa kapal, “Nanti aja, Bu, kita percaya kok.” Tapi bukannya kejujuran dan kepercayaan warga Belitung ini tidak pernah disalahgunakan. Pak Neli cerita, pernah juga mobil sewaan dilarikan sampai Jakarta oleh si penyewa. Tapi katanya, “Itu kan emang niatannya udah nggak benar. Nggak semua orang begitu, kan?”

So, back to cerita Day 1. Kami makan si mie Belitung superlezat di kamar hotel. (Oya, kamar hotelnya pun sangat memuaskan, dengan twin bed yang ukurannya besar, AC yang sudah siap menyala, kamar mandi dalam ber-water heater. Memadai banget lah.) Mie ini unik banget karena dibungkus daun simpor khas Belitung. Bentuknya adalah mie kering campur irisan tahu goreng, kentang goreng, bakwan udang, ketimun, dan dimakan dengan siraman kuah udang yang kental gurih manis udang. Kuah ini yang nendang banged. Top dah pokoknya! Kami juga membeli nasi tim ayam untuk ransum anak saya. Nasi tim ini pun dahsyat rasanya. Apalagi saya memakannya dengan diikuti sesuapan kuah udang dari mie. Slurufs, nyam!

Usai makan, sedikit bongkar bawaan dan ganti baju, kami siap berangkat. To the beach we go! Yeah!

Yeah, indeed! Tanjung Tinggi yang pertama kami singgahi penuh batu granit raksasa. Mantap bana buat foto-foto. Saya dan Tante langsung sibuk jeprat-jepret. Anak saya? Dia langsung jongkok begitu melihat pasir! Yeah, pasir, yeah! Di Jakarta mana bisa dia main pasir?

Tapi rupanya, bagi Pak Neli, pantai yang ini kurang oke, lebih oke yang di sonoan dikit. Kebetulan yang sonoan dikit itu jadi tempat syuting film LP. Ada prasastinya segala loh, “Pantai ini pernah menjadi lokasi syuting film LP.” Pantainya juga berbatu-batu granit raksasa yang tumpang tindih membentuk labirin-labirin yang menggoda untuk dijelajahi. Puji Tuhan, ada Pak Neli! Anak saya kembali langsung jongkok begitu melihat pasir dan bergeming main pasir, ditemani Pak Neli. Saya dan Tante langsung foto-foto lagi dong ah! Hehehe... Saat kami kembali dari mblusukan di antara batu-batu, gundukan kue pasir sudah tercipta di depan kedua orang yang setia main pasir itu. Sayangnya gerimis mulai turun, jadi foto-foto di situ harus diakhiri.

Selesai? Tidak dong ah! Kami pindah pantai lagi ke Tanjung Kelayang. Pantai ini surga dunia banget dah! Kebetulan hujan juga stop, jadi kami bisa turun ke bibir air. Pasirnya luar biasa putih. Airnya biru. Dan ini yang terpenting: tidak ada sampah sama sekali. Catat! Tidak ada sampah! Yah, daun-daun kering gitu sih ada, tapi sama sekali tidak ada sampah bawaan manusia seperti puntung rokok atau bungkus permen. Jelang senja itu suasananya sepi, airnya pun tenang nyaris tidak berombak. Gileee... saya mau tuh tinggal di situ selamanya! Anak saya? Jongkok di pasir lagi dong ah! Habis makan sereal bekalnya, dia lalu kembali membuat istana pasir. Setengah mati saya minta dia turun ke air, dia tidak mau. Meskipun akhirnya mau juga siiih... Maklum, anak malang, baru lihat pantai sekali ini, belum kenal ombak dia... Begitu ombak kecil datang berdebur dan menyerbu mukanya, dia teriak-teriak, “Asin! Asin!” Oya, notabene lagi, air asin di perairan Belitung ini nggak amis sama sekali. Bau lautnya pun nggak amis. Mungkin karena semua masih bersih tanpa sampah. Semoga kondisi ini bisa terjaga selamanya, amin!

Kami kembali ke hotel, mandi, lalu keluar lagi untuk makan. Restoran Sari Laut kayaknya wajib kunjung karena disebut di mana-mana. Pak Neli membawa kami ke sana, dan sepertinya sudah kenal sama semua orang di sana. (Kemudian hari terbukti tidak semua rekomendasi yang kami dapat dari internet maupun bacaan berkenan di hati Pak Neli. Bahkan ada beberapa spot yang langsung dia bilang, “Ah, di situ makanannya gak enak!” Tapi memang terbukti tempat yang menjadi rekomendasi dia memang enak-enak makanannya.) Kami memesan ikan ketarap bakar, kepiting isi (@5rb), otak-otak (@2rb), dan toge cah ikan asin. Minumnya es jeruk kunci. Rasa makanannya semua mantaf! Ikan ketarapnya tidak dibakar sampai kering, tapi masih moist. Rasanya gurih manis, kaldu ikannya itu yang enak banget karena bakarnya gak sampai kering. Kepiting isinya juga enak. Dan yang paling oke justru otak-otaknya, ikan semua, bow! Menurut Tante yang sudah coba otak-otak seluruh Indonesia, termasuk otak-otak Bangka dan Palembang, otak-otak Belitung inilah yang paling mantap. Sayang ukurannya sedang menuju mini, jadi dalam dua suap lenyap.

Seusai makan kami masih belanja air minum dan susu. Lalu langsung pulang ke hotel. And that's it for today, nite-nite!

Tidak ada komentar: