Sabtu, 29 November 2008

Kiriman Naskah

Salah satu pertanyaan yang paling sering saya jawab di milis maupun di e-mail kantor adalah: “Apa persyaratan mengirim naskah novel ke GPU?”

Oke, mari kita bahas persyaratan umumnya:
1.naskah novel remaja panjangnya sekitar 100-150 halaman, novel dewasa 150-200 halaman
2.ukuran kertas A4
3.ketik komputer rapi dengan spasi 1,5
4.jenis font yang mudah dibaca, misalnya Times New Roman ukuran 12
5.sertakan data diri
6.sertakan sinopsis
7.kirim ke alamat redaksi fiksi GPU yang ada di sampul belakang tiap novelnya

Tapi pukul rata setiap bulan kira-kira ada sekitar 100 naskah yang masuk ke meja sekretariat redaksi. Kalau semuanya—termasuk naskah kamu—berukuran A4, ketik 1.5 spasi, dengan jenis font tersebut di atas, bagaimana mencuri perhatian editor?

Jawabannya jadilah kreatif. Kamu bisa mengirim naskah kamu dalam amplop khusus. Atau kamu bisa menjilid naskah kamu dengan rapi, bukan sekadar dengan lakban hitam. Kamu juga bisa menyertakan desain cover yang lucu. Selain itu tidak usah terpaku pada jenis font yang dianjurkan. Sebenarnya yang dianjurkan adalah font yang enak dibaca, dan font yang enak dibaca bukan hanya Times New Roman ukuran 12 poin.

Tapi bila menjilid dengan ring besi rasanya terlalu mahal, atau mencetak cover desain pribadi terlalu rumit, apa yang bisa kamu lakukan? Sederhana saja sebetulnya. Jadilah penulis yang rapi. Kirimkan naskah yang bersih dari kesalahan ejaan. Bila saat kamu periksa ulang hasil cetakan ternyata masih ada kesalahan, jangan di-tip-ex lalu diperbaiki dengan tulisan tangan, tapi print ulang halaman tersebut. Gunakan printer dengan tinta memadai sehingga hasil cetakannya tegas dan bersih, enak dilihat. Susun semua kelengkapan dengan runut dan rapi. Misalnya, data diri, sinopsis, baru kemudian masuk ke isi novel.

Bila mendesain dan menghias memang bukan sisi kuatmu (tentu saja kalau bisa mendesain, kamu jadi desainer grafis, bukan pengarang), gunakan yang memang menjadi bakatmu untuk mencuri perhatian editor. Tulislah data diri kamu semenarik mungkin. Saya pernah membaca curriculum vitae yang dibuat seolah si penulisnya sedang menjadi terdakwa di pengadilan—kreatif dan menarik sekali, kan? Kadang data diri yang lucu dan menarik (sebutkan saja semua pengalaman kamu terutama yang mendukung novel kamu) sudah membuat “a foot in the door” bagi novel kamu.

Selanjutnya tentu saja sinopsis. Sinopsis pendek sangat penting. Panjangnya sekitar setengah halaman atau 3-5 alinea saja. Buatlah semenarik mungkin. Tokoh-tokoh dan poin-poin penting cerita harus ada. Tunjukkan di mana serunya novel kamu. Saat menulis sinopsis pendek ini, bayangkan si pembaca ada di toko buku yang hiruk-pikuk dengan pilihan beragam buku. Bagaimana cara kamu menariknya untuk membeli buku kamu?

Lalu karena kiriman naskah ini ditujukan untuk dibaca editor, ada baiknya juga kamu sertakan sinopsis panjang. Sinopsis panjang ini isinya lebih mendetail, menguraikan seluruh alur cerita, dan membeberkan rahasianya, tapi panjangnya jangan lebih dari 3 halaman. Jangan membuat si editor belum-belum sudah bosan dengan tulisan yang berpanjang-panjang.

Dan akhirnya, menginjak bagian yang paling penting: naskah. Bila kamu sudah melakukan saran saya di atas, yaitu mengirimkan naskah yang “bersih”, maka secara sekilas tampilan naskah kamu pasti sudah lumayan enak dilihat. Selanjutnya, harap kamu perhatikan bahwa novel biasa menggunakan indent paragraph, bukan hanging. Perhatikan juga kebiasaan penerbit tujuan kamu dalam hal ejaan, bahasa selingkung, gaya penulisan percakapan, dll. Bila kamu sanggup, terapkan gaya penerbit tersebut pada naskah kamu.

Editor pasti lebih senang menilai naskah yang bersih dan menarik, dan dengan begitu tentu saja kans tembusnya naskah kamu untuk diterbitkan jadi lebih besar.

Jadilah Pembaca

Minggu lalu seorang sahabat saya menyatakan dia ingin menulis buku. Tentu saja saya sambut baik keinginan itu, siapa tahu cocok, saya bisa merekomendasikan buku karyanya itu ke kantor, lalu terbit, dan terjadilah yang namanya win-win situation—semua senang.

Maka kami membahas buku yang ingin dia tulis tersebut, yang adalah buku kumpulan resep. Dalam bayangannya, dia ingin membuat buku hard cover ukuran besar, dan memuat sekitar 100 resep. Tapi dia ingin menujukan buku tersebut bagi ibu-ibu muda yang baru menikah dan belajar masak.

Waduh, saya langsung menebak bahwa sahabat saya ini kurang mengenal target market-nya. Sekarang bayangkan dulu buku hard cover berukuran besar yang luks, isinya 100 resep sehingga tentu cukup tebal. Bayangkan harganya. Saya taksir harganya mungkin sekitar Rp100.000.

Setelahnya bayangkan ibu muda yang baru belajar masak. Buku macam apa yang akan dia beli? Mungkin buku tipis yang bisa dilipat dan dibawa ke dapurnya untuk disandarkan di dinding, tempat dia bisa membaca langkah demi langkah memasak yang harus dia lakukan. Mungkin buku yang spesifik membahas jenis masakan tertentu seperti masakan sayuran, masakan ayam, atau masakan sea food. Dan karena dia ibu muda yang mungkin baru menikah dan mungkin keuangan keluarganya belum stabil, maka saya rasa dia akan memilih membeli buku masak yang range harganya sekitar Rp15.000-30.000.

Sekarang apa hubungannya ilustrasi ini dengan judul posting di atas? Kembali ke pemikiran saya bahwa sahabat saya itu tidak mengenal target market-nya. Menurut saya, setiap pengarang harus mengerti target tulisannya. Pengarang novel remaja mesti mengenal dunia remaja. Pengarang novel percintaan harus kenal dunia ibu-ibu atau perempuan dewasa muda yang banyak membeli jenis novel begitu. Pengarang travel writings harus tahu kesukaan para backpacker. Dan sebagainya.

Sebelum mulai menulis, sebaiknya seorang penulis menempatkan diri atau membayangkan dirinya menjadi pembaca buku yang akan ditulisnya itu. Atau okelah, kalau terlalu lama membayang-bayangkan nanti ide tulisannya lenyap. Jadi, oke, buatlah dulu tulisan itu. Tumpahkanlah dulu semua keluar. Setelahnya, sebelum minta pendapat orang terdekat (bukankah pembaca pertama selalu orang-orang terdekat?), coba bayangkan diri kamu jadi pembacanya. Bukan sebagai diri kamu—kamu harus keluar dari diri kamu, harus jadi orang lain (karena pengarang kadang tidak bisa melihat lubang-lubang pada tulisannya sendiri). Bayangkan diri kamu ada di toko buku dan melihat buku karya kamu itu sudah terbit dan dipajang di rak. Apa yang akan kamu lakukan? Apakah kamu akan mengambilnya? Membaca sinopsisnya? Atau... melewatinya begitu saja?

Kalau kira-kira yang terjadi yang terakhir, waks! Pahitnya, lebih baik kamu simpan saja naskah itu. Tapi yang lumayan asem saja, yah, kamu jadi bisa melontarkan pertanyaan, kenapa kira-kira naskah itu jadi naskah yang dilewati? Dari situ mungkin kamu bisa memperbaikinya.

Dari sudut pandang pembaca/pembeli buku, kamu bisa mendapat poin-poin penting bagi naskah kamu. Kamu bisa menelaah ulang apakah tema yang kamu angkat dalam tulisan kamu cukup menarik? Apakah pembaca mendapat keuntungan tertentu setelah membaca karya kamu (tambahan pengetahuan atau kepuasan)? Apakah cover yang kamu bayangkan cukup eye-catching untuk bersaing dengan ribuan atau bahkan jutaan buku lain di toko buku? Apakah sinopsis yang kamu rancang bisa menarik perhatian calon pembaca sehingga mau membeli buku kamu? Bahkan sampai ke hal-hal praktis seperti apakah buku ini nanti akan terlalu tebal sehingga pembaca malas mulai membacanya (meskipun Twilight Saga sudah begitu ngetop, salah satu teman tetap malas membacanya karena melihat ketebalannya), apakah kamu bisa minta pada penerbit untuk men-setting ukuran khusus sehingga buku kamu gampang dibawa-bawa oleh pembaca? Atau apakah kamu bisa minta jenis kertas khusus sehingga buku kamu ringan bila dibawa atau harganya bisa lebih murah?

Semua ini akan lebih membantu kamu saat mencipta. Kamu jadi punya bayangan yang utuh akan karya akan akan kamu ciptakan, dalam bahasan ini adalah buku yang kamu karang. Kalau kamu punya gambaran yang utuh, kamu akan lebih semangat mengerjakan naskah kamu, dan naskah kamu juga akan lebih mudah tembus ke penerbit. Jadilah pembaca pertama naskah kamu sendiri, bayangkan kekurangan dan kelebihannya, dan selamat berkarya!

Menerjemahkan Tintin

Menerjemahkan Tintin adalah salah satu pekerjaan “me and my big mouth”. Saat kantor saya membeli hak terbit seri legendaris ini, saya dengan pede jaya mengatakan ingin menerjemahkan satu atau dua buku dalam seri ini. Akhirnya saya menerjemahkan 12 dari 24 judul seri ini. Wow, saya sendiri pun heran.

Jelas itu pekerjaan besar yang penuh darah dan air mata. Semangat kerja memang menggebu di awal, tapi sampai tengah semangat itu sudah berubah jadi semangat marah-marah. Ada banyak komplikasi yang merupakan rahasia dapur kantor sehingga tidak bisa dibuka di sini (atau di mana pun), yang akhirnya membuat saya—yang tadinya hanya mau menerjemahkan satu atau dua judul bagian akhir seri—jadi menerjemahkan 6 judul pertama.

Masih bersemangat terutama karena Tintin di Tanah Sovyet dan Tintin di Congo itu judul “baru”--alias belum pernah saya baca, saya mulai mengerjakan terjemahannya dengan lumayan giat. Terjemahan diperiksa teman di kantor dan dikomentari terlalu kaku. Waduh, bagaimana ya? Menurut saya kekakuan itu terjadi karena saya mengikuti gaya bahasa Hergé apa adanya. Tidak bisa dipungkiri bahwa pada judul-judul awal, Tintin memang kaku dan terasa sangat kuno—which is true, karena buku-buku awal itu terbit sekitar tahun 1940-an, sehingga dengan sendirinya gaya berbahasanya sangat berbeda dengan gaya berbahasa kita zaman sekarang.

Masalah berikut muncul saat proses setting. Format Tintin yang diambil (=disuruh ambil) kantor saya adalah format kecil, seukuran buku tulis AA, 18 x 22 cm. Berbeda dengan ukuran aslinya yang sebesar kertas A4. Dengan sendirinya semua kalimat yang saya terjemahkan—apalagi biasanya panjang terjemahan bahasa Indonesia 1,5 kali bahasa aslinya—tidak muat dalam kotak-kotak dan balon-balon percakapan. Editing dalam artian pemenggalan dan penjagalan besar-besaran dilakukan pada terjemahan saya.

Dummy Tintin di Congo siap dan dibawa oleh rekan kantor saya ke Frankfurt Buchmesse 2007 untuk approval dari pemegang hak terbit Tintin. Terjemahan tentu saja tidak dikomentari, karena mereka tidak mengerti bahasa Indonesia, tapi tampilan dikritik habis-habisan. Mulailah perjalanan penuh darah dan air mata demi tampilan gambar, warna, jenis font yang sesuai dengan keinginan pihak sananya. Tapi itu cerita lain.

Selesai dari Frankfurt, dummy Tintin tersebut jatuh ke tangan bos-bos di kantor saya. Terjemahan kembali dikritik terlalu kaku dan tidak lucu. Apa ada yang mau beli kalau begitu? Solusinya, terjemahan Tintin mana pun akan diperiksa oleh setidaknya 3 orang, demi validitas kelucuan terjemahan itu. Gawat betul! Dengan sendirinya, Tintin di Congo yang sebetulnya sudah diseparasi dan siap cetak, kembali diacak-acak, dipotong, ditempel, diganti, dan disesuaikan.

Sementara itu datang kabar kami tidak bisa memakai nama-nama tokoh yang sudah akrab di telinga Indonesia. Hak cipta nama-nama tersebut dipegang oleh penerbit Tintin di Inggris. Sebal. Kami dianjurkan memakai nama-nama asli versi Belgia/Prancis atau menciptakan nama-nama sendiri. Jalan tengahnya, ada nama-nama versi asli yang kami pertahankan (Tintin, Haddock, tentu saja, lalu Dupond-Dupont, Nestor, Abdallah, Alcazar), ada yang kami pelesetkan sedikit dari versi asli (Milo dari Milou), dan ada yang kami ciptakan seperti Lionel Lakmus dari Tryphon Tournesol (kami ambil kesamaan huruf awal. Tournesol bisa berarti kertas lakmus, penanda asam-basa yang menggambarkan keilmiahan karakter ini, tapi bisa juga berarti bunga matahari yang menandakan keceriaan karakter sang profesor), Pietro Maxx (nama di edisi aslinya Seraphin Lampion, yang sepertinya mengacu pada minyak lampu), dan si tukang daging Fillets. Perdebatan menentukan nama-nama ini lumayan panjang juga, karena kami berusaha mencari nama yang terdengar lucu bagi publik Indonesia, tapi tidak akan terdengar aneh bila dikenakan pada karakter Eropa-Belgia/Prancis.

Menginjak Kepiting Bercapit Emas, terjadi diskusi lagi soal umpatan-umpatan Kapten Haddock yang legendaris itu. Jelas kami tidak bisa dan tidak akan menggunakan umpatan terjemahan Indira yang sudah berurat berakar bagi pembaca Indonesia. Kami harus menciptakan umpatan-umpatan kami sendiri. Daftar umpatan pun dibuat. Arti dalam bahasa Prancis dan Inggris dicari, lalu padanan yang paling pas dalam bahasa Indonesia pun diciptakan. Maka lahirlah topan geledek, kepiting kurus kering, dan susu basi.

Dalam proses penerjemahan 12 judul Tintin itu, mau tak mau saya cek dan cek ulang edisi bahasa Prancis dan bahasa Inggris-nya (saya bisa berbahasa Prancis, tapi tetap saya lebih fasih berbahasa Inggris). Bahkan kadang-kadang saya memerlukan mengecek edisi Indira, sekadar membandingkan atau mencegah kesamaan pilihan kata—yang terkadang terpaksa tidak terelakkan juga, terutama untuk balon-balon kata yang singkat seperti jawaban ya/tidak. Ini sih keterlaluan kalau masih harus dibedakan juga.

Mengerjakan seri ini membuat saya membaca semua judul Tintin dalam waktu yang singkat. Saya jadi bisa mengerti perubahan karakter gambar Hergé, perubahan ideologinya, perubahan pola pikirnya seiring dengan perubahan zaman itu sendiri. Hergé ternyata karakter luar biasa yang memiliki wawasan serta ketertarikan pada banyak hal. Kepiawaiannya menyampaikan kritik politik dan wacananya tentang ilmu pengetahuan yang dapat dia paparkan dalam gambar serta humor, sangat hebat.

Perkembangan dan kesamaan karakter tokoh dalam seri ini juga menjadi jelas bagi saya. Sungguh lucu mengingat waktu kecil saya membaca dan membaca ulang buku-buku Tintin tapi saya tidak pernah menyadari detail-detail seperti kesialan Kapten Haddock atau perseteruan Milo dengan si kucing siam. Dulu saya tidak mengamati pola berulang yang ada dalam setiap buku. Saya membaca dan menikmatinya begitu saja.

Bila ditanya buku mana yang paling mudah pengerjaannya, mungkin bagi saya Laut Merah. Sebenarnya saya menyesal dengan penjudulan yang terasa terlalu menggampangkan ini. Di awal pengerjaan seri ini, karena harus memberi laporan pada pihak sana, saya terpaksa memberi judul semua buku, tanpa waktu panjang untuk berpikir atau meneliti lebih lanjut soal latar belakang tiap judul, sehingga saya langsung menempelkan judul Laut Merah bagi buku ini. Sebenarnya waktu kecil buku ini salah satu Tintin favorit saya. Saat mengerjakannya saya baru menyadari betapa rapi dan enak dinikmati gambar-gambarnya, ceritanya pun sangat dalam, kompleks, tapi tetap lucu. Saya merasa terjemahan saya cukup terjaga dan bagus untuk Tintin yang satu ini.

Yang paling gagal? Tentu saja Tintin di Congo. Tintin pertama yang saya kerjakan, dan selain alasan kekakuan bahasa yang sudah saya ajukan di depan tadi, isu yang diangkat dalam buku ini pun kurang saya sukai. Pada kenyataannya, buku ini memang kontroversial dan beberapa toko buku bahkan tidak mau memajangnya di rak buku anak.

Tintin yang sebenarnya ingin saya terjemahkan? Mungkin Tintin di Tibet. Meskipun sebenarnya saya takut pada yeti, tapi Tintin di Tibet adalah salah satu Tintin yang paling indah.

Tintin yang paling saya sukai? Sulit menjawabnya, hampir semua Tintin saya suka. Tapi utamanya karena saya penggemar seri ini sejak kecil, saya lebih menyukai gambarnya daripada ceritanya, sehingga saya lebih menyukai Tintin yang dibuat belakangan. Mungkin kembali lagi ke Laut Merah dan Tintin di Tibet.

Pada akhirnya, Tintin mungkin seri yang akan terus hidup. Orangtua memberikan buku ini untuk dibaca anaknya, dan pada gilirannya si anak akan memberikan pada anaknya lagi. Isu-isu yang diangkat Tintin mungkin mulai ketinggalan zaman sekarang, tapi bila ditempatkan dalam konteks sejarah dan mengingat nilai-nilai universal seperti persahabatan, keadilan, dan keberanian yang dibawanya, Tintin tidak akan pernah mati.

Vanishing Acts~Jodi Picoult

Memiliki anak benar-benar membuat saya bisa menghayati novel ini. Premis dasarnya, “kalau kau harus melanggar hukum demi anakmu, akankah kau melakukannya?” benar-benar jadi pertanyaan besar bagi semua orangtua.

Alkisah Delia Hopkins yang tinggal di New Hampshire punya kehidupan yang sempurna. Dia dibesarkan oleh ayah yang mengasihinya (Andrew), punya tunangan yang pengacara (Eric), punya putri berusia 5 tahun dari tunangannya itu (Sophie), dan sahabat masa kecil yang setia (Fitz). Dia juga punya pekerjaan Search-and-Rescue, mencari orang hilang dengan bantuan anjingnya, Greta.

Tapi saat Delia mempersiapkan pernikahannya, datang kejutan besar yang memorakporandakan hidupnya. Andrew ditahan dengan tuduhan menculik Delia waktu kecil. Awalnya Delia tidak percaya dan meminta Eric membela ayahnya, tapi kemudian terungkap Andrew memang membawa pergi Delia dari ibu kandungnya saat Delia berusia 4 tahun. Apa alasan Andrew? Ibu kandung Delia ternyata pemabuk, dan tidak bisa mengurus dirinya sendiri, apalagi mengurus anak kecil. Tapi apakah itu sudah cukup untuk membawa pergi Delia, memisahkannya dari ibu kandungnya? Pengadilan bergulir di negara bagian Arizona, tempat kejadian perkara. Delia bertemu lagi dengan ibunya, belajar lagi tentang masa lalunya yang hilang, berpusar dalam pertanyaan-pertanyaan, juga mengkaji ulang hubungannya dengan Eric dan Fitz, dan perannya sebagai ibu Sophie. Dia merasa kehilangan dirinya, mempertanyakan jati dirinya yang sesungguhnya.

Metafora-metafora yang digunakan Jodi Picoult dalam novel ini (dan sepertinya pada novel-novelnya yang lain juga) sangat kuat dan menyentuh. Misalnya Delia yang bekerja mencari orang hilang, tapi ternyata dirinya sendiri “hilang”. Lalu pernikahan Delia dan Eric yang terus-menerus tertunda karena ternyata Eric pemabuk—sementara Delia dibawa pergi dari ibunya karena wanita itu pemabuk.

Novel-novel Jodi Picoult selalu menyentuh masalah keluarga dan mempertanyakan hal-hal besar yang bisa terjadi di keseharian kita. Meskipun demikian tema yang diangkatnya sangat tidak umum. Misalkan saja dalam My Sister's Keeper, Jodi Picoult mengangkat tema anak yang dilahirkan untuk menjadi penolong kakaknya yang sakit-sakitan. Ini tema yang sangat khusus, tapi bukannya tidak mungkin terjadi dalam kehidupan nyata. Demikian pula tema dalam Vanishing Acts ini, penculikan oleh orangtua kandung sendiri, yang bukannya mustahil terjadi dalam hidup sehari-hari. Jodi juga sangat piawai meramu emosi-emosi yang mungkin muncul dan dialami oleh tokoh-tokoh ceritanya. Sisi keseharian tema tapi keuletan Jodi mengolahnya ini membuat saya jadi mengaguminya. Inilah pengarang profesional yang bukan sekadar menuliskan ide, tapi mengolah, meriset, mengulik segala sisi ide itu sebelum merangkaikannya menjadi narasi yang indah dan membuai pembacanya.

Senin, 03 November 2008

Why Bella Swann?

Iya nih, why, oh, why? Kalau judul Why Jacob Black? pada posting sebelumnya lebih mengacu ke “Kenapa dia tidak bisa dicintai juga (selain mencintai Edward)?” maka judul pada posting ini lebih ke jeritan hati: “Kok Bella? Kok cewek lenje itu yang jadi pusat cinta Edward dan Jacob? Why, oh, why?

Hayo, ngaku aja, siapa yang nggak (sempat) bete pas baca sikap Bella yang plintat-plintut? Lemah? Selalu butuh diselamatkan? Kebanyakan depresi sendiri? Blahblahblah.

Yang pasti saya sempet kesel banget sama tokoh ini. Ya ampun(g) (saking keselnya sampe pake g), apa cewek ini nggak bisa lebih kuat sedikit ya personafikasinya? Selain itu kenapa Edward (kemudian Jacob) bisa naksir dia? Apa kelebihannya? Plis deh! Cantik kagak, lemah iya...

Atau mungkin kata kuncinya di “lemah” itu tadi? Biar gimanapun, cowok pasti pengin dong jadi pahlawan buat ceweknya. Dus, cewek lemah jadi punya banyak cowok, karena, duh, dia kan lemah jadi butuh diselamatkan!!!

Tapi kata Stephenie Meyer, Bella sedikit-banyak adalah personafikasi dirinya sendiri (baca www.stepheniemeyer.com---jadi kayaknya yang bete sama Bella bukan cuma saya seorang, hehehe). Jadi menurut Meyer, dia pun cewek biasa-biasa aja, tapi pas kuliah di kota kecil (Meyer asalnya tinggal di Houston juga, sama kayak Bella) di bagian tengah Amerika Serikat, tiba-tiba dia jadi pusat perhatian. Bukan karena dia keren dan cantik, tapi karena sebagai anak yang berasal dari kota besar dia punya sesuatu yang “lebih”. Mungkin kalau ngomong versi lokalnya bisa kayak anak Jakarta tiba-tiba pindah ke Jogja ya? (Jadi inget My Friends, My Dreams-nya Ken Terate, Gramedia, 2005---lho kok promosi?)

Berikutnya, Meyer menjustifikasi daya tarik Bella dengan hal-hal supranatural: aromanya yang manis, yang sangat menggelitik nafsu vampir Edward. Tapi rupanya Edward bisa mengendalikan rasa hausnya dan mengubahnya jadi rasa cinta. Kalau saja Meyer tidak sepiawai itu menceritakan kisah cinta mereka, sangat mungkin Twilight cuma akan jadi buku sampah.

Tapi kembali ke masalah cinta yang manusiawi, dalam hal cinta Bella dan Jacob, pepatah Jawa-lah yang terjadi: witing tresna jalaran saka kulina... Saat Edward pergi, Bella menghabiskan banyak waktu bersama Jacob, dan otomatis banyak bersama jadi banyak curhat. Dan dekatlah mereka. Saat dua pribadi sudah terbuka, nggak masalah sama penampilan dll., cinta bisa tumbuh. (Apaan sih? Hihihi...)

Dan kembali ke pribadi Bella yang selalu perlu diselamatkan itu (bahkan dari membuka kado sekalipun!), apa nggak bisa ya Meyer membuat tokoh yang lebih kuat dan menyenangkan? Kuat sungguhan, nggak lenje, nggak plintat-plintut, nggak “sok” kuat?

Satu posting resensi Twilight Saga dari salah satu teman blogger menyebutkan kurang-lebih, “memang begitulah remaja, sikapnya masih selalu berganti-ganti dan suka merengek, dan Meyer bisa menggambarkannya dengan baik.” Hmm... ini jelas melihat tokoh ini dari sudut pandang yang baru. Dan membuat saya jadi ingat salah satu tokoh fiksi remaja yang sempat booming sekitar empat tahun yang lalu: Putri Amelia Mignonette Thermopolis Grimaldi dari Genovia alias Mia Thermopolis alias Putri Mia.

Sempat bergaul sangat akrab dengan Putri Mia, saya tahu betul betapa plin-plan sikapnya, betapa senangnya dia merengek dan mengeluh, betapa kepinginnya dia memiliki segalanya. Tapi di sisi lain, Putri Mia juga (setelah terdesak, mengeluh, pusing, dll, dsb) bisa punya sikap dan menunjukkan kekuatan serta kelebihannya.

Sebetulnya Bella Swann juga begitu. Ada sisi-sisi cerita yang mengungkapkan kekuatan dan keberaniannya. Tapi... (ya, masih ada tapi) tetap saja dia rasanya terlalu “biasa” bagi Edward dan Jacob. At least, bagi saya.

Jumat, 31 Oktober 2008

Why Jacob Black?

Pertama kali ketemu dalam Twilight, Jacob Black bukanlah tokoh yang signifikan. Dia cuma remaja yang masih kekanak-kanakkan yang digunakan Stephenie Meyer untuk menjelaskan siapa itu Edward Cullen dan klannya pada Bella (dan pada pembaca). Dikisahkan Jacob adalah teman kecil Bella karena ayah mereka juga berteman.

Tokoh ini jadi menarik bagi saya karena dia orang Indian Quileute--yaaah... semua yang berbau Indian memang menarik buat saya, please blame it on Karl May’s books. Anyway, memang sih Jacob bukan “lord of the plains” orang Sioux yang naik kuda dengan segala atribut bulu-bulu elang, war club dengan hiasan potongan scalp. Memang Jacob Indian pesisir barat Amerika yang dilukiskan di berbagai buku sebagai salmon-eater, kulitnya berminyak dan bau amis ikan, dll. dsb. pokoknya yang nggak keren deh. Apalagi Forks, setting Twilight Saga, adalah kota yang curah hujannya sangat tinggi, sehingga makin jadilah suku Quileute sebagai suku Indian yang nggak keren (bagi saya).

Tapi tentu saja, ini kan zaman modern. Zaman orang Sioux pun nggak naik kuda ke mana-mana lagi. Dan tentu saja, meskipun dulunya orang Indian pesisir Barat itu katanya raja lautan dan pemburu paus, tapi sekarang pun mereka lebih jago nyetir mobil. Jadi saya berusaha melupakan image Indian yang gagah perkasa, dan menukarnya dengan yah... orang Amerika modern biasa yang berkemeja flanel dan bercelana jins.

Which is, exactly begitulah penampilan si Jacob remaja. Sebagai Indian modern dia memang mainannya motor dan mobil, bukan kuda dan ikan paus lagi. Cuma, seperti kebanyakan orang Indian, Meyer menggambarkan Jacob berambut panjang. Narasi Meyer segera membawa saya pada seorang Indian muda yang saya temukan dalam film-film belakangan ini, Eddie Spears (pertanyaan beberapa teman saya: Apanya Britney Spears? Hihihi...) Jadi wajah dan bangun tubuh si Eddie inilah yang menjadi tampilan Jacob dalam imajinasi saya.

Karakter Jacob berkembang sejalan perkembangan Twilight Saga. Dari remaja tengil yang agak pemalu, pemarah, dan terkesan anak kecil banget, Jacob jadi bisa mengungkapkan perasaannya pada Bella dalam Eclipse. Jacob juga bisa jadi pelindung yang kuat. Dan pastinya Jacob jadi lebih manusiawi daripada Edward. Daya tarik tokoh ini juga berkembang dan membuat Bella sempat mendua. Sayang sekali, they’re not meant for each other---dan ini ditegaskan Meyer yang menggambarkan teman-teman Jacob yang punya soulmate, dan langsung “jatuh cinta pandangan pertama” pada soulmate itu, sementara Jacob tidak merasakan hal tersebut pada Bella.

Downside dari tokoh ini adalah ketika Meyer menjadikannya werewolf! Oh, please deh! setelah vampir lalu werewolf??? Pesona tokoh Jacob mendadak hilang buat saya. Tapi pesona itu perlahan kembali, karena meskipun jadi werewolf, Jacob ternyata tidak kehilangan kemanusiaannya.

Jacob tetap riil, remaja, pemarah, pemalu, bodoh, pendeknya manusiawi. Mau tidak mau Edward yang vampir jadi sureal. Jadi saat orang-orang lain ngiler pada Edward, saya tetap cinta Jacob. Bukan hanya karena dia Indian dan sangat manusiawi, tapi karena dia memang patut dicintai.

Rabu, 22 Oktober 2008

Awan Ide Melayang-Layang

“Dari mana sih idenya?” Itu pertanyaan standar yang selalu dilontarkan pada pengarang mana pun di mana pun di seluruh dunia ini. Saya bukan published novelist---yet (harapan selalu ada... hehehe), tapi mungkin saya bisa berbagi sedikit soal dari mana datangnya ide itu.

Buat saya, datangnya ide bisa dibagi dalam dua kelompok besar: yang dipaksa dan yang datang begitu saja.

Yang datang begitu saja hampir selalu datang dalam suasana santai:
· saat mandi
Jangan salah, kamar mandi bisa mendatangkan banyak ide cerita lho. Mungkin karena suasananya yang dingin, mungkin karena saat membersihkan diri kita juga membersihkan aura kita hingga ide mudah datang. Saat ngebom di wc pun jadi saat yang tepat bagi munculnya ide, mungkin karena saat ngebom kita sering melamun.
Konon kabarnya, wapres pertama kita, Bung Hatta juga penganut aliran kamar mandi ini. Di kamar mandinya sampai disediakan meja tulis, kertas, dan alat tulisnya sekalian, biar ide-ide segar yang muncul bisa cepat dituangkan di atas kertas dan tidak kabur entah ke mana.
· setengah tidur
Tidur-tidur ayam bisa membuat kita melamun ngalor-ngidul, akibatnya ide-ide cerita tiba-tiba bermunculan. Salah satu teman saya bilang dia menyimpan buku catatan dekat tempat tidurnya supaya kalau ada ide cerita, dia bisa langsung bangun dan menuliskannya. Saya pernah mencoba sih, tapiii... kemudian rasanya lebih enak bablas tidur ya... (makanya sampai sekarang belum jadi published novelist... hehehe)
· saat jalan kaki sendirian
Saat jalan kaki sendirian tanpa teman ngobrol, tanpa sadar kamu akan mengamati sekitarmu. Apakah mobil tua di sana benar-benar sudah teronggok lima tahun tanpa tersentuh? Apakah bakul jamu itu sebenarnya orang kaya di desanya? Pertanyaan-pertanyaan yang tanpa sadar muncul bisa jadi awal cerita.
·
saat baca buku, nonton film, atau mendengarkan lagu
Saat menemukan tokoh yang unik di buku atau film mungkin kita jadi teringat ada tokoh yang kurang-lebih sama dalam kehidupan kita, lalu ingin menulis tentang dia. Atau mungkin ada jalan cerita buku atau film yang melenceng dari keinginan kita hingga ingin kita reka ulang sendiri. Sementara saat mendengar lagu tertentu, mungkin tanpa sengaja perasaan kita jadi mellow atau riang, yang menimbulkan ide baru untuk tulisan kita.

Yang dipaksa:
·
dengan brainstorming dan mind maping
Tulis semua ide di kertas, jelek-bagus, cetek-deep, semua saja (brain storming). Atau tulis satu ide, lalu kaitannya ide itu dengan hal lain, sambungkan dengan yang lain lagi (mind maping).
·
sengaja nonton film, baca buku, atau mendengarkan lagu
Punya ide tapi masih kasar banget dan bingung bagaimana mengembangkannya, atau punya perasaan tertentu dan pengin nulis tapi nggak jelas arahnya ke mana? Cari buku, film, atau lagu yang mendukung ide atau perasaan itu, nikmati dan mungkin membantu. Atau lebih blank lagi, benar-benar tidak punya ide? Cari buku, film, atau lagu yang lagi in atau dibilang orang bagus, mungkin ada satu atau dua ide yang bisa dicuri dari sana.
·
mengamati lingkungan sekitar
Lingkungan kita punya banyak potensi cerita. Paling dekat saja, orangtua atau saudara di rumah, pasti ada tingkah polah atau pemikiran mereka yang bisa jadi sumber ide. Itu baru lingkungan terdekat, bagaimana lingkungan yang lebih luas? Sekolah, kampus, tempat kerja?
·
membongkar peti kenangan
Ingat-ingat lagi pas pertama kali pacaran rasanya kayak apa atau bagaimana asyiknya ngegeng pas SMA. Mungkin ada satu-dua detail yang layak dikembangkan jadi cerita.
·
latihan menulis
Tulislah sesuatu sedikit setiap hari. Dengan memaksa diri menulis, pelan-pelan ide akan muncul dengan lancar.
·
baca koran/majalah
Setiap hari ada aja peristiwa yang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan di kepala kita. Kenapa anak orang utan bisa lahir di kebun binatang di Austria, misalnya. Dari pertanyaan ini bisa aja muncul ide cerita tentang kisah cinta si pengasuh orang utan itu lho...

Nah, moga-moga tips ini bisa berguna buat menggali ide dari gumpalan abu-abu dalam kepala kita itu. Soal menuangkannya dengan runut, mengalir, dan menggugah rasa... hmm... itu nanti mungkin bisa dikulik di postingan yang lain. Ciao!

Minggu, 19 Oktober 2008

Kisah Cinta Editor dan Pengarang

Kisah ini tidak selalu manis. Kadang hubungan editor dan pengarang bisa juga diwarnai adegan piring terbang dan gelas pecah.

Tapi apakah benar sehari-harinya pekerjaan saya lempar-lemparan piring bersama pengarang? Sebetulnya tidak. Sebetulnya hubungan saya dan pengarang-pengarang saya (kecuali beberapa) lumayan harmonis. Saya sempat jalan-jalan bersama beberapa pengarang saya. Beberapa dari mereka juga main ke rumah saat saya melahirkan.

Jadi bagaimana supaya kisah cinta editor dan pengarang berakhir bahagia? Saya akan menceritakannya dari sisi editor dan tugas-tugasnya.

Pertama-tama, tentu saja datanglah sebundel naskah di meja editor (saya). Saya membacanya dan menilainya layak terbit. Lalu saya mengontak si pengarang (karena itu jangan lupa cantumkan nomor telepon yang mudah dihubungi--ehm, HP maksudnya, jangan kasih nomor telepon tetangga lagi--dan alamat e-mail). Hubungan pun dimulai dengan perkenalan. Ada editor yang supel dan bisa langsung ketawa-ketiwi bersama pengarangnya seperti teman saya si Vera. Saya sendiri tidak terlalu pandai bicara, jadi biasa setelah memperkenalkan diri saya langsung menyatakan maksud, dan dengan demikian kita menginjak poin kedua.

Kedua, saya akan memberitahu kekurangan dan kelemahan naskah yang saya baca itu. Di mana “bolongnya” alur, di mana kakunya bahasa (biasa pada percakapan). Atau kalau perubahan terlalu banyak, bisa juga saya hanya menceritakan garis besar lalu mengirim balik naskah yang sudah diberi catatan. Mendapat masukan begini, pengarang punya banyak reaksi. Ada yang ngambek, ada yang nggak ngambek tapi ogah mengubah apa pun (ya, ya, setiap titik-koma dalam naskah sudah dipikirkan matang-matang sebelum dibubuhkan di sana), tapi ada yang menerima dengan sukacita dan riang gembira.

Maka masuk ke tahap ketiga, pengarang merevisi naskah dan mengirim balik kepada saya. Ada pengarang yang begitu diintip naskah revisinya sudah oke banget, semua masukan dijalankan dan naskah jadi makin oke, bahkan bisa nyaris tak perlu editing lagi. Tapi, ada juga pengarang yang malah ngelantur, yang diminta apaaaa yang direvisi apaaaa. Ada juga yang ogah melakukan revisi.

Apa pun hasil revisinya, pada tahap keempat, naskah akan diedit. Kalau naskah sudah oke, editing hanya mencakup tata bahasa dan ejaan. Tapi kalau naskah masih berantakan, catatan di sana-sini atau bahkan pemotongan besar-besaran tentu masih harus dilakukan.

Kelima, saya biasa mengirim naskah hasil editing saya kembali ke si pengarang. Pengarang saya minta memeriksa ulang dan menanyakan ini-itu yang dirasanya kurang memuaskan.

Setelah pengarang puas, masuk ke langkah keenam, naskah akan di-setting, lalu setelahnya dibaca proof-nya. Dalam proses pembacaan proof, masih mungkin ada masukan lagi dari editor yang membacanya. Pernah saya sebagai pembaca proof menyatakan satu bab (SATU BAB) itu tidak nyambung dengan cerita keseluruhan dan bisa dibuang daripada membuat naskah terlalu panjang. Pernah juga editor lain yang membaca naskah yang saya edit menyatakan naskah tersebut kacau-balau yang berbuntut satu naskah (SATU NASKAH) ditulis ulang oleh pengarangnya. Jadi jangan sepelekan langkah keenam ini.

Tujuh, kalau semua langkah itu terlewati mulus, naskah akan dicetak, terbit, dan terpajang di toko buku. Tapi apakah hubungan editor dan pengarang sudah berakhir? Tentu tidak, saat buku sudah ada di pasar, mulailah proses memasarkan buku. Caranya? Temu pengarang, book launching, talkshow radio, dll. Saya pernah menemani pengarang saya jadi pembicara di suatu seminar membaca, tapi biasanya sih saya cuma menemani di belakang panggung saja.


Di luar masalah promosi ini bagaimana hubungan editor dan pengarang? Bisa manis seperti yang sudah saya kisahkan pada alinea kedua di atas. Utamanya, hubungan yang dijalin dengan sopan dan hangat tentu bisa terus mengikat tali silaturahmi, bahkan meningkatkan hubungan kerja jadi hubungan pertemanan yang erat dan akrab.

Senin, 13 Oktober 2008

Trilogi D’Angel ~ Luna Torashyngu





Tak terasa dalam 3 tahun sejarah penerbitan karyanya di GPU, Luna sudah menerakan angka 9. Pukul rata itu berarti ada 3 buku per tahun. Sungguh produktif untuk ukuran penulis cerita remaja Indonesia.

Tak heran, namanya pun mulai dikenal akrab di kalangan pecinta TeenLit Indonesia. Pooling majalah GADIS bahkan memilihnya jadi salah satu dari tiga pengarang cerita remaja lokal yang paling ngetop (dua lainnya adalah Esti Kinasih dan Rachmania Arunita).

Menurut saya, Luna mengawali karier menulisnya dengan strategi yang baik---entah disengaja ataupun tidak---yaitu merebut pasar dengan cerita-cerita cinta yang ringan, agak dorama, lembut, dan sangat berselera pasar remaja. Begitu pasar sudah di tangan, Luna mulai mengeksplorasi ranah yang tidak awam bagi pasar remaja: science fiction.

Luna mulai menunjukkan kelasnya pada Beauty and the Best (2006) dan mengulangi lagi kepiawaiannya merangkai cerita pada Lovasket (2007). Kedua novel ini sangat mengalir, alurnya padat, logika ceritanya terjaga baik. Memang kekuatan utama novel-novel Luna ada pada logika cerita yang sangat masuk akal dan alur yang padat hingga membuat pembaca menolak meletakkan novelnya hingga tamat. Ini juga yang disajikannya pada trilogi D’Angel.

Trilogi ini membawa Luna ke ranah science fiction, tanpa meninggalkan naungannya pada genre TeenLit. Dengan tokoh Fika yang masih remaja kelas 1 SMA (pada buku pertama, D’Angel), Luna tetap bisa bebas menggunakan bahasa yang tidak kaku dan lincah, meskipun tema yang ditawarkan bisa saja jadi berat bila pemilihan tokohnya bukan remaja. Kesan lincah khas remaja ini juga tidak hilang meskipun tema lalu meluas kepada spionase, militer, konspirasi internasional, dan percobaan ilmiah. Luna juga tidak berpanjang-panjang memusingkan pembacanya dengan teori-teori sulit. Teori ilmiah sekadar memenuhi logika cerita, sehingga cerita tidak timpang, dan novelnya masih sangat bisa dinikmati tanpa mengerutkan dahi.

Alkisah Rafika Handayani adalah siswi unggulan di sekolahnya. Bintang lapangan voli, juga bintang kelas. Fisiknya pun cantik bening, hingga memikat salah satu kakak kelasnya dan akhirnya mereka pacaran. Tapi saat merayakan peristiwa jadian itu, Fika diculik. Mulailah thriller kejar-kejaran dari basement salah satu mal di Jakarta yang diwarnai adegan tembak-tembakan. Kenapa Fika diculik? Andika, cowok yang menolongnya memberitahu bahwa Fika sebenarnya bukan manusia. Dia bisa sangat sempurna secara fisik dan otak karena dia adalah Genoid hasil percobaan yang mencoba membuat manusia sempurna. Saat ini nyawanya terancam karena Jenderal Rastaji ingin membuat pasukan yang terdiri atas Genoid, dan membutuhkan Fika sebagai contoh. Kejar-mengejar makin seru, dan ditutup dengan hancurnya laboratorium Genoid di dekat Bogor. Fika yang kehidupannya hancur lari ke Malaysia.

Buku kedua, D’Angel: Rose, dibuka dengan ditemukannya Fika di Malaysia. Fika diminta pulang ke Indonesia (meskipun dia dituduh melakukan pembunuhan) untuk membantu polisi menemukan putri seorang koruptor. Fika kembali menjadi anak SMA. Meskipun tugasnya berat, Fika merasa kembali menemukan dunianya. Fika mendapatkan sahabat-sahabat baru, tapi di lain pihak musuh lamanya, Jenderal Rastaji muncul lagi, semakin kuat serta sadis. Jenderal Rastaji juga mengincar putri koruptor yang dicari Fika, demi mendapatkan dana yang tersimpan di salah satu bank di Swiss. Akhirnya jenderal keji ini menculik sahabat-sahabat baru Fika. Ia harus menggunakan kemampuan Genoid-nya dan berkelahi habis-habisan dengan Genoid lain untuk menyelamatkan teman-temannya. Tapi di penghujung cerita, Jenderal Rastaji terbunuh.

Layaknya kisah thriller bersambung, benarkah sang musuh besar sudah mati? Pada D’Angel: Princess, Fika diminta menjadi pengawal putri presiden, karena ada ancaman pembunuhan keluarga presiden. Sekali lagi Fika menyamar jadi anak SMA supaya bisa membayangi sang putri, Gya. Tapi Gya bukan pribadi yang menyenangkan. Merasa teman-teman hanya mendekatinya untuk mencari keuntungan, Gya memasang topeng judes dan dingin. Fika berusaha mencairkan kebekuan hati Gya sambil menjalankan tugasnya. Dan akhirnya Fika menghadapi konfrontasi final dengan musuh besarnya. Kali ini Fika harus melawan Genoid yang lebih kuat. Juga menata hatinya lagi karena Andika kembali muncul.

Dilirik dari sudut cerita, kisah trilogi D’Angel sangat berbeda dengan TeenLit pop yang merajai pasar. D’Angel yang full action ala film Hollywood ini benar-benar bisa jadi pilihan bacaan seru yang menghibur.

Rupanya kiprah Luna di ranah science fiction-action-TeenLit ini belum akan usai. Atau mungkin tepatnya, Luna justru “pulang ke rumah”. Dan membawa warna baru bagi dunia TeenLit Indonesia.

Rabu, 08 Oktober 2008

Tips Menerbitkan Naskah

Kesan pertama yang tak terulang lagi
Kesan pertama yang ditampilkan oleh naskah kamu tidak bisa diulang lagi, karena itu naskah yang dikirim ke penerbit haruslah tampak bersih, rapi, enak dilihat. Cari tahu apakah penerbit sasaran kamu punya ketentuan tertentu misalnya jumlah halaman (jangan lupa beri nomor halaman pada naskah kamu) atau besar font dan spasi.

Jangan lupa sinopsis dan biodata
Sinopsis dan biodata adalah dua hal pertama yang dibaca oleh penilai naskah. Buat sinopsis yang menarik dan mencakup seluruh isi naskah kamu. Biodata juga dibuat semenarik mungkin dan masukkan pengalaman-pengalaman kamu yang paling oke.

Curilah sepuluh halaman pertama
Sepuluh halaman pertama adalah penentu diterima atau ditolaknya naskah kamu. Kalau dalam sepuluh halaman ini kamu berhasil memaparkan konflik yang menarik dengan gaya bercerita yang oke, pasti penilai ingin terus membaca seluruh naskah kamu sehingga bisa memberi penilaian yang utuh atas naskah kamu. Sebaliknya bila sepuluh halaman pertama saja sudah membosankan, pasti naskah kamu langsung ditaruh dalam tumpukan “ditolak”.

Cari tema yang unik
Tema cewek kutubuku yang jatuh cinta sama cowok basket sudah basi-si-si. Coba cari tema lain yang menarik. Sumbernya banyak, coba kulik lagi kehidupan kamu sehari-hari, kamu bisa terkaget-kaget mendapati detail-detail unik yang bisa diangkat dan dikembangan jadi cerita yang seru.

Buat plot dan konflik yang menarik
Tentu saja ini syarat utama naskah yang baik. Kalau plot dan konflik yang kamu susun tidak oke, pembaca bisa merasa tertipu, kesal, dan tidak mendapat apa-apa selesai membaca naskah kamu. Itu pun kalau naskahmu belum diletakkan lepas beberapa halaman dibaca.

Bersabar dan bersikap sopan
Penerbit biasa butuh waktu cukup panjang untuk menilai naskah kamu. Jadi sabarlah, dan tiap kali menelepon untuk menanyakan perkembangan naskah kamu, bersikaplah yang sopan.

Selasa, 07 Oktober 2008

Pindah

Kata ilmu psikologi yang suatu waktu dulu pernah gue pelajari, pindah itu salah satu stressor yang besar. Orang bisa stres berat saat pindahan. Bayangkan, mesti mempelajari wilayah baru lagi, meninggalkan kenyamanan tempat yang lama.

Tapi bagaimana bila tempat yang lama sudah jadi tidak memadai lagi? Bagaimana kalaupun tempat yang lama tetap menyenangkan, tapi mau tak mau harus ditinggalkan?

Maka, mulailah suatu yang baru. Genjotlah semangat petualangan itu.

Meskipun tidak janji untuk menulis secara reguler, gue akan coba mengisi bilah-bilah laman blog baru (yang nantinya akan jadi lama juga) ini tiap ada yang menggelitik indra-indra gue.

So, bienvenidos, bienvenue, welcome to... a jar full of honey!