Jumat, 31 Oktober 2008

Why Jacob Black?

Pertama kali ketemu dalam Twilight, Jacob Black bukanlah tokoh yang signifikan. Dia cuma remaja yang masih kekanak-kanakkan yang digunakan Stephenie Meyer untuk menjelaskan siapa itu Edward Cullen dan klannya pada Bella (dan pada pembaca). Dikisahkan Jacob adalah teman kecil Bella karena ayah mereka juga berteman.

Tokoh ini jadi menarik bagi saya karena dia orang Indian Quileute--yaaah... semua yang berbau Indian memang menarik buat saya, please blame it on Karl May’s books. Anyway, memang sih Jacob bukan “lord of the plains” orang Sioux yang naik kuda dengan segala atribut bulu-bulu elang, war club dengan hiasan potongan scalp. Memang Jacob Indian pesisir barat Amerika yang dilukiskan di berbagai buku sebagai salmon-eater, kulitnya berminyak dan bau amis ikan, dll. dsb. pokoknya yang nggak keren deh. Apalagi Forks, setting Twilight Saga, adalah kota yang curah hujannya sangat tinggi, sehingga makin jadilah suku Quileute sebagai suku Indian yang nggak keren (bagi saya).

Tapi tentu saja, ini kan zaman modern. Zaman orang Sioux pun nggak naik kuda ke mana-mana lagi. Dan tentu saja, meskipun dulunya orang Indian pesisir Barat itu katanya raja lautan dan pemburu paus, tapi sekarang pun mereka lebih jago nyetir mobil. Jadi saya berusaha melupakan image Indian yang gagah perkasa, dan menukarnya dengan yah... orang Amerika modern biasa yang berkemeja flanel dan bercelana jins.

Which is, exactly begitulah penampilan si Jacob remaja. Sebagai Indian modern dia memang mainannya motor dan mobil, bukan kuda dan ikan paus lagi. Cuma, seperti kebanyakan orang Indian, Meyer menggambarkan Jacob berambut panjang. Narasi Meyer segera membawa saya pada seorang Indian muda yang saya temukan dalam film-film belakangan ini, Eddie Spears (pertanyaan beberapa teman saya: Apanya Britney Spears? Hihihi...) Jadi wajah dan bangun tubuh si Eddie inilah yang menjadi tampilan Jacob dalam imajinasi saya.

Karakter Jacob berkembang sejalan perkembangan Twilight Saga. Dari remaja tengil yang agak pemalu, pemarah, dan terkesan anak kecil banget, Jacob jadi bisa mengungkapkan perasaannya pada Bella dalam Eclipse. Jacob juga bisa jadi pelindung yang kuat. Dan pastinya Jacob jadi lebih manusiawi daripada Edward. Daya tarik tokoh ini juga berkembang dan membuat Bella sempat mendua. Sayang sekali, they’re not meant for each other---dan ini ditegaskan Meyer yang menggambarkan teman-teman Jacob yang punya soulmate, dan langsung “jatuh cinta pandangan pertama” pada soulmate itu, sementara Jacob tidak merasakan hal tersebut pada Bella.

Downside dari tokoh ini adalah ketika Meyer menjadikannya werewolf! Oh, please deh! setelah vampir lalu werewolf??? Pesona tokoh Jacob mendadak hilang buat saya. Tapi pesona itu perlahan kembali, karena meskipun jadi werewolf, Jacob ternyata tidak kehilangan kemanusiaannya.

Jacob tetap riil, remaja, pemarah, pemalu, bodoh, pendeknya manusiawi. Mau tidak mau Edward yang vampir jadi sureal. Jadi saat orang-orang lain ngiler pada Edward, saya tetap cinta Jacob. Bukan hanya karena dia Indian dan sangat manusiawi, tapi karena dia memang patut dicintai.

Rabu, 22 Oktober 2008

Awan Ide Melayang-Layang

“Dari mana sih idenya?” Itu pertanyaan standar yang selalu dilontarkan pada pengarang mana pun di mana pun di seluruh dunia ini. Saya bukan published novelist---yet (harapan selalu ada... hehehe), tapi mungkin saya bisa berbagi sedikit soal dari mana datangnya ide itu.

Buat saya, datangnya ide bisa dibagi dalam dua kelompok besar: yang dipaksa dan yang datang begitu saja.

Yang datang begitu saja hampir selalu datang dalam suasana santai:
· saat mandi
Jangan salah, kamar mandi bisa mendatangkan banyak ide cerita lho. Mungkin karena suasananya yang dingin, mungkin karena saat membersihkan diri kita juga membersihkan aura kita hingga ide mudah datang. Saat ngebom di wc pun jadi saat yang tepat bagi munculnya ide, mungkin karena saat ngebom kita sering melamun.
Konon kabarnya, wapres pertama kita, Bung Hatta juga penganut aliran kamar mandi ini. Di kamar mandinya sampai disediakan meja tulis, kertas, dan alat tulisnya sekalian, biar ide-ide segar yang muncul bisa cepat dituangkan di atas kertas dan tidak kabur entah ke mana.
· setengah tidur
Tidur-tidur ayam bisa membuat kita melamun ngalor-ngidul, akibatnya ide-ide cerita tiba-tiba bermunculan. Salah satu teman saya bilang dia menyimpan buku catatan dekat tempat tidurnya supaya kalau ada ide cerita, dia bisa langsung bangun dan menuliskannya. Saya pernah mencoba sih, tapiii... kemudian rasanya lebih enak bablas tidur ya... (makanya sampai sekarang belum jadi published novelist... hehehe)
· saat jalan kaki sendirian
Saat jalan kaki sendirian tanpa teman ngobrol, tanpa sadar kamu akan mengamati sekitarmu. Apakah mobil tua di sana benar-benar sudah teronggok lima tahun tanpa tersentuh? Apakah bakul jamu itu sebenarnya orang kaya di desanya? Pertanyaan-pertanyaan yang tanpa sadar muncul bisa jadi awal cerita.
·
saat baca buku, nonton film, atau mendengarkan lagu
Saat menemukan tokoh yang unik di buku atau film mungkin kita jadi teringat ada tokoh yang kurang-lebih sama dalam kehidupan kita, lalu ingin menulis tentang dia. Atau mungkin ada jalan cerita buku atau film yang melenceng dari keinginan kita hingga ingin kita reka ulang sendiri. Sementara saat mendengar lagu tertentu, mungkin tanpa sengaja perasaan kita jadi mellow atau riang, yang menimbulkan ide baru untuk tulisan kita.

Yang dipaksa:
·
dengan brainstorming dan mind maping
Tulis semua ide di kertas, jelek-bagus, cetek-deep, semua saja (brain storming). Atau tulis satu ide, lalu kaitannya ide itu dengan hal lain, sambungkan dengan yang lain lagi (mind maping).
·
sengaja nonton film, baca buku, atau mendengarkan lagu
Punya ide tapi masih kasar banget dan bingung bagaimana mengembangkannya, atau punya perasaan tertentu dan pengin nulis tapi nggak jelas arahnya ke mana? Cari buku, film, atau lagu yang mendukung ide atau perasaan itu, nikmati dan mungkin membantu. Atau lebih blank lagi, benar-benar tidak punya ide? Cari buku, film, atau lagu yang lagi in atau dibilang orang bagus, mungkin ada satu atau dua ide yang bisa dicuri dari sana.
·
mengamati lingkungan sekitar
Lingkungan kita punya banyak potensi cerita. Paling dekat saja, orangtua atau saudara di rumah, pasti ada tingkah polah atau pemikiran mereka yang bisa jadi sumber ide. Itu baru lingkungan terdekat, bagaimana lingkungan yang lebih luas? Sekolah, kampus, tempat kerja?
·
membongkar peti kenangan
Ingat-ingat lagi pas pertama kali pacaran rasanya kayak apa atau bagaimana asyiknya ngegeng pas SMA. Mungkin ada satu-dua detail yang layak dikembangkan jadi cerita.
·
latihan menulis
Tulislah sesuatu sedikit setiap hari. Dengan memaksa diri menulis, pelan-pelan ide akan muncul dengan lancar.
·
baca koran/majalah
Setiap hari ada aja peristiwa yang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan di kepala kita. Kenapa anak orang utan bisa lahir di kebun binatang di Austria, misalnya. Dari pertanyaan ini bisa aja muncul ide cerita tentang kisah cinta si pengasuh orang utan itu lho...

Nah, moga-moga tips ini bisa berguna buat menggali ide dari gumpalan abu-abu dalam kepala kita itu. Soal menuangkannya dengan runut, mengalir, dan menggugah rasa... hmm... itu nanti mungkin bisa dikulik di postingan yang lain. Ciao!

Minggu, 19 Oktober 2008

Kisah Cinta Editor dan Pengarang

Kisah ini tidak selalu manis. Kadang hubungan editor dan pengarang bisa juga diwarnai adegan piring terbang dan gelas pecah.

Tapi apakah benar sehari-harinya pekerjaan saya lempar-lemparan piring bersama pengarang? Sebetulnya tidak. Sebetulnya hubungan saya dan pengarang-pengarang saya (kecuali beberapa) lumayan harmonis. Saya sempat jalan-jalan bersama beberapa pengarang saya. Beberapa dari mereka juga main ke rumah saat saya melahirkan.

Jadi bagaimana supaya kisah cinta editor dan pengarang berakhir bahagia? Saya akan menceritakannya dari sisi editor dan tugas-tugasnya.

Pertama-tama, tentu saja datanglah sebundel naskah di meja editor (saya). Saya membacanya dan menilainya layak terbit. Lalu saya mengontak si pengarang (karena itu jangan lupa cantumkan nomor telepon yang mudah dihubungi--ehm, HP maksudnya, jangan kasih nomor telepon tetangga lagi--dan alamat e-mail). Hubungan pun dimulai dengan perkenalan. Ada editor yang supel dan bisa langsung ketawa-ketiwi bersama pengarangnya seperti teman saya si Vera. Saya sendiri tidak terlalu pandai bicara, jadi biasa setelah memperkenalkan diri saya langsung menyatakan maksud, dan dengan demikian kita menginjak poin kedua.

Kedua, saya akan memberitahu kekurangan dan kelemahan naskah yang saya baca itu. Di mana “bolongnya” alur, di mana kakunya bahasa (biasa pada percakapan). Atau kalau perubahan terlalu banyak, bisa juga saya hanya menceritakan garis besar lalu mengirim balik naskah yang sudah diberi catatan. Mendapat masukan begini, pengarang punya banyak reaksi. Ada yang ngambek, ada yang nggak ngambek tapi ogah mengubah apa pun (ya, ya, setiap titik-koma dalam naskah sudah dipikirkan matang-matang sebelum dibubuhkan di sana), tapi ada yang menerima dengan sukacita dan riang gembira.

Maka masuk ke tahap ketiga, pengarang merevisi naskah dan mengirim balik kepada saya. Ada pengarang yang begitu diintip naskah revisinya sudah oke banget, semua masukan dijalankan dan naskah jadi makin oke, bahkan bisa nyaris tak perlu editing lagi. Tapi, ada juga pengarang yang malah ngelantur, yang diminta apaaaa yang direvisi apaaaa. Ada juga yang ogah melakukan revisi.

Apa pun hasil revisinya, pada tahap keempat, naskah akan diedit. Kalau naskah sudah oke, editing hanya mencakup tata bahasa dan ejaan. Tapi kalau naskah masih berantakan, catatan di sana-sini atau bahkan pemotongan besar-besaran tentu masih harus dilakukan.

Kelima, saya biasa mengirim naskah hasil editing saya kembali ke si pengarang. Pengarang saya minta memeriksa ulang dan menanyakan ini-itu yang dirasanya kurang memuaskan.

Setelah pengarang puas, masuk ke langkah keenam, naskah akan di-setting, lalu setelahnya dibaca proof-nya. Dalam proses pembacaan proof, masih mungkin ada masukan lagi dari editor yang membacanya. Pernah saya sebagai pembaca proof menyatakan satu bab (SATU BAB) itu tidak nyambung dengan cerita keseluruhan dan bisa dibuang daripada membuat naskah terlalu panjang. Pernah juga editor lain yang membaca naskah yang saya edit menyatakan naskah tersebut kacau-balau yang berbuntut satu naskah (SATU NASKAH) ditulis ulang oleh pengarangnya. Jadi jangan sepelekan langkah keenam ini.

Tujuh, kalau semua langkah itu terlewati mulus, naskah akan dicetak, terbit, dan terpajang di toko buku. Tapi apakah hubungan editor dan pengarang sudah berakhir? Tentu tidak, saat buku sudah ada di pasar, mulailah proses memasarkan buku. Caranya? Temu pengarang, book launching, talkshow radio, dll. Saya pernah menemani pengarang saya jadi pembicara di suatu seminar membaca, tapi biasanya sih saya cuma menemani di belakang panggung saja.


Di luar masalah promosi ini bagaimana hubungan editor dan pengarang? Bisa manis seperti yang sudah saya kisahkan pada alinea kedua di atas. Utamanya, hubungan yang dijalin dengan sopan dan hangat tentu bisa terus mengikat tali silaturahmi, bahkan meningkatkan hubungan kerja jadi hubungan pertemanan yang erat dan akrab.

Senin, 13 Oktober 2008

Trilogi D’Angel ~ Luna Torashyngu





Tak terasa dalam 3 tahun sejarah penerbitan karyanya di GPU, Luna sudah menerakan angka 9. Pukul rata itu berarti ada 3 buku per tahun. Sungguh produktif untuk ukuran penulis cerita remaja Indonesia.

Tak heran, namanya pun mulai dikenal akrab di kalangan pecinta TeenLit Indonesia. Pooling majalah GADIS bahkan memilihnya jadi salah satu dari tiga pengarang cerita remaja lokal yang paling ngetop (dua lainnya adalah Esti Kinasih dan Rachmania Arunita).

Menurut saya, Luna mengawali karier menulisnya dengan strategi yang baik---entah disengaja ataupun tidak---yaitu merebut pasar dengan cerita-cerita cinta yang ringan, agak dorama, lembut, dan sangat berselera pasar remaja. Begitu pasar sudah di tangan, Luna mulai mengeksplorasi ranah yang tidak awam bagi pasar remaja: science fiction.

Luna mulai menunjukkan kelasnya pada Beauty and the Best (2006) dan mengulangi lagi kepiawaiannya merangkai cerita pada Lovasket (2007). Kedua novel ini sangat mengalir, alurnya padat, logika ceritanya terjaga baik. Memang kekuatan utama novel-novel Luna ada pada logika cerita yang sangat masuk akal dan alur yang padat hingga membuat pembaca menolak meletakkan novelnya hingga tamat. Ini juga yang disajikannya pada trilogi D’Angel.

Trilogi ini membawa Luna ke ranah science fiction, tanpa meninggalkan naungannya pada genre TeenLit. Dengan tokoh Fika yang masih remaja kelas 1 SMA (pada buku pertama, D’Angel), Luna tetap bisa bebas menggunakan bahasa yang tidak kaku dan lincah, meskipun tema yang ditawarkan bisa saja jadi berat bila pemilihan tokohnya bukan remaja. Kesan lincah khas remaja ini juga tidak hilang meskipun tema lalu meluas kepada spionase, militer, konspirasi internasional, dan percobaan ilmiah. Luna juga tidak berpanjang-panjang memusingkan pembacanya dengan teori-teori sulit. Teori ilmiah sekadar memenuhi logika cerita, sehingga cerita tidak timpang, dan novelnya masih sangat bisa dinikmati tanpa mengerutkan dahi.

Alkisah Rafika Handayani adalah siswi unggulan di sekolahnya. Bintang lapangan voli, juga bintang kelas. Fisiknya pun cantik bening, hingga memikat salah satu kakak kelasnya dan akhirnya mereka pacaran. Tapi saat merayakan peristiwa jadian itu, Fika diculik. Mulailah thriller kejar-kejaran dari basement salah satu mal di Jakarta yang diwarnai adegan tembak-tembakan. Kenapa Fika diculik? Andika, cowok yang menolongnya memberitahu bahwa Fika sebenarnya bukan manusia. Dia bisa sangat sempurna secara fisik dan otak karena dia adalah Genoid hasil percobaan yang mencoba membuat manusia sempurna. Saat ini nyawanya terancam karena Jenderal Rastaji ingin membuat pasukan yang terdiri atas Genoid, dan membutuhkan Fika sebagai contoh. Kejar-mengejar makin seru, dan ditutup dengan hancurnya laboratorium Genoid di dekat Bogor. Fika yang kehidupannya hancur lari ke Malaysia.

Buku kedua, D’Angel: Rose, dibuka dengan ditemukannya Fika di Malaysia. Fika diminta pulang ke Indonesia (meskipun dia dituduh melakukan pembunuhan) untuk membantu polisi menemukan putri seorang koruptor. Fika kembali menjadi anak SMA. Meskipun tugasnya berat, Fika merasa kembali menemukan dunianya. Fika mendapatkan sahabat-sahabat baru, tapi di lain pihak musuh lamanya, Jenderal Rastaji muncul lagi, semakin kuat serta sadis. Jenderal Rastaji juga mengincar putri koruptor yang dicari Fika, demi mendapatkan dana yang tersimpan di salah satu bank di Swiss. Akhirnya jenderal keji ini menculik sahabat-sahabat baru Fika. Ia harus menggunakan kemampuan Genoid-nya dan berkelahi habis-habisan dengan Genoid lain untuk menyelamatkan teman-temannya. Tapi di penghujung cerita, Jenderal Rastaji terbunuh.

Layaknya kisah thriller bersambung, benarkah sang musuh besar sudah mati? Pada D’Angel: Princess, Fika diminta menjadi pengawal putri presiden, karena ada ancaman pembunuhan keluarga presiden. Sekali lagi Fika menyamar jadi anak SMA supaya bisa membayangi sang putri, Gya. Tapi Gya bukan pribadi yang menyenangkan. Merasa teman-teman hanya mendekatinya untuk mencari keuntungan, Gya memasang topeng judes dan dingin. Fika berusaha mencairkan kebekuan hati Gya sambil menjalankan tugasnya. Dan akhirnya Fika menghadapi konfrontasi final dengan musuh besarnya. Kali ini Fika harus melawan Genoid yang lebih kuat. Juga menata hatinya lagi karena Andika kembali muncul.

Dilirik dari sudut cerita, kisah trilogi D’Angel sangat berbeda dengan TeenLit pop yang merajai pasar. D’Angel yang full action ala film Hollywood ini benar-benar bisa jadi pilihan bacaan seru yang menghibur.

Rupanya kiprah Luna di ranah science fiction-action-TeenLit ini belum akan usai. Atau mungkin tepatnya, Luna justru “pulang ke rumah”. Dan membawa warna baru bagi dunia TeenLit Indonesia.

Rabu, 08 Oktober 2008

Tips Menerbitkan Naskah

Kesan pertama yang tak terulang lagi
Kesan pertama yang ditampilkan oleh naskah kamu tidak bisa diulang lagi, karena itu naskah yang dikirim ke penerbit haruslah tampak bersih, rapi, enak dilihat. Cari tahu apakah penerbit sasaran kamu punya ketentuan tertentu misalnya jumlah halaman (jangan lupa beri nomor halaman pada naskah kamu) atau besar font dan spasi.

Jangan lupa sinopsis dan biodata
Sinopsis dan biodata adalah dua hal pertama yang dibaca oleh penilai naskah. Buat sinopsis yang menarik dan mencakup seluruh isi naskah kamu. Biodata juga dibuat semenarik mungkin dan masukkan pengalaman-pengalaman kamu yang paling oke.

Curilah sepuluh halaman pertama
Sepuluh halaman pertama adalah penentu diterima atau ditolaknya naskah kamu. Kalau dalam sepuluh halaman ini kamu berhasil memaparkan konflik yang menarik dengan gaya bercerita yang oke, pasti penilai ingin terus membaca seluruh naskah kamu sehingga bisa memberi penilaian yang utuh atas naskah kamu. Sebaliknya bila sepuluh halaman pertama saja sudah membosankan, pasti naskah kamu langsung ditaruh dalam tumpukan “ditolak”.

Cari tema yang unik
Tema cewek kutubuku yang jatuh cinta sama cowok basket sudah basi-si-si. Coba cari tema lain yang menarik. Sumbernya banyak, coba kulik lagi kehidupan kamu sehari-hari, kamu bisa terkaget-kaget mendapati detail-detail unik yang bisa diangkat dan dikembangan jadi cerita yang seru.

Buat plot dan konflik yang menarik
Tentu saja ini syarat utama naskah yang baik. Kalau plot dan konflik yang kamu susun tidak oke, pembaca bisa merasa tertipu, kesal, dan tidak mendapat apa-apa selesai membaca naskah kamu. Itu pun kalau naskahmu belum diletakkan lepas beberapa halaman dibaca.

Bersabar dan bersikap sopan
Penerbit biasa butuh waktu cukup panjang untuk menilai naskah kamu. Jadi sabarlah, dan tiap kali menelepon untuk menanyakan perkembangan naskah kamu, bersikaplah yang sopan.

Selasa, 07 Oktober 2008

Pindah

Kata ilmu psikologi yang suatu waktu dulu pernah gue pelajari, pindah itu salah satu stressor yang besar. Orang bisa stres berat saat pindahan. Bayangkan, mesti mempelajari wilayah baru lagi, meninggalkan kenyamanan tempat yang lama.

Tapi bagaimana bila tempat yang lama sudah jadi tidak memadai lagi? Bagaimana kalaupun tempat yang lama tetap menyenangkan, tapi mau tak mau harus ditinggalkan?

Maka, mulailah suatu yang baru. Genjotlah semangat petualangan itu.

Meskipun tidak janji untuk menulis secara reguler, gue akan coba mengisi bilah-bilah laman blog baru (yang nantinya akan jadi lama juga) ini tiap ada yang menggelitik indra-indra gue.

So, bienvenidos, bienvenue, welcome to... a jar full of honey!