Kamis, 06 Oktober 2011

Referensi Liburan

Buku-buku yang baik bisa jadi teman yang paling oke untuk mencari ilmu tentang liburan, tentu selain ranah maya yang sekarang ini telah menyediakan segalanya. Belakangan saya sempat membaca tiga buku tentang jalan-jalan yang meskipun gaya jalan-jalannya agak tidak mungkin untuk diterapkan dengan membawa anak-anak, tapi bisa juga memberi inspirasi.

Flashpacking Keliling Indonesia
Deedee Caniago
Gramedia Pustaka Utama

Berisi cerita sang penulis keliling Indonesia, gaya buku ini hip, gaul, dan modern banget. Deedee banyak menghadapi kesulitan saat bepergian, tapi rupanya bukan Deedee kalau lalu menyerah dan tidak bisa melihat sisi menyenangkan dari petualangannya. Sayangnya, pantai-pantai cantik yang diuraikan dalam buku ini agaknya memiliki jalan yang terlalu menantang bagi ibu beranak balita seperti saya. Pantai-pantai itu rata-rata dicapai dengan perjalanan berjam-jam dengan kondisi jalan yang ajaib, dan dengan fasilitas yang minim. Meskipun saya penganut “jalan-jalan minim”, tapi tingkat keminiman pun ada batasannya bila membawa anak. Tapi buku ini tetap sangat berguna bagi saya dari segi: 1) cerita yang seru dan lucu, membuat ngiler pengin pergi ke tempat-tempat yang dikisahkan Deedee, 2) ada bagian referensi penyedia tur yang cukup lengkap di bagian belakang buku yang bisa saya hubungi untuk menanyakan customized tour bagi keluarga dengan anak kecil 3) bagi destinasi yang terlalu ekstrem tingkat kesulitannya, saya jadi tetap mempunyai impian dan harapan suatu hari nanti saat anak saya sudah lebih besar, lebih dewasa dalam cara pikir, dan lebih kuat secara fisik, dia mau diajak ke sana.

Meraba Indonesia
Ahmad Yunus
Serambi

Ada unsur mau meniru Che Guevara keliling Amerika Selatan dengan sepeda motornya (The Motorcycle Diaries, sudah difilmkan juga dengan bintang *oh* Gael Garcia Bernal *keterangan ini penting gak seh?*) dua wartawan, satu senior---Farid Gaban, dan satu setengah senior---Ahmad Yunus, berangkat keliling Indonesia naik dua sepeda motor tua. Diawali dari Jakarta ke arah barat ke Sumatera lalu melingkar ke Kalimantan, Sulawesi, Ambon, Papua, lalu berakhir di Nusa Tenggara, mereka berdua berusaha mencari titik-titik paling terpencil dan paling sulit dicapai di negara ini. Perjalanan kurang-lebih setahun ini (diselingi beberapa kali kembali ke Jakarta untuk mencari tambahan biaya), mereka menyisiri pelosok paling jauh di negeri ini, bertemu orang-orang yang paling kesulitan, menggunakan alat-alat transportasi yang paling merakyat (selain sepeda motor), menjumpai pemandangan yang paling indah dan pengalaman yang paling murni. The grand scheme-nya luar biasa. Siapa pun harus cukup gila untuk menjalani petualangan ini. Sayang sekali Ahmad kurang detail bercerita. Sering kali Ahmad hanya menyebutkan “kami menginap di rumah tetua kampung A, mengobrol, lalu tidur.” Saya sebagai pembaca merasa, “What? What's the fun of that? Di mana asyiknya? Di mana serunya? Ngobrol terus tidur mah di rumah juga bisa.” Ahmad kurang mengeksplorasi kekayaan pengalamannya. Demikian pula saat bercerita tentang pemandangan tertentu di pulau terpencil mana, Ahmad kurang mengeksplorasi tulisannya. Padahal bila digambarkan dengan lebih detail mungkin bisa membuat orang lebih terpacu untuk mengunjungi pulau itu, dus lebih mengenal Indonesia. Dan terakhir, maafkan saya bila naluri editor muncul, tapi ya ampun... buku ini banyak sekali miss-nya! Mulai dari tipo sampai ke kalimat yang nggak nyambung. Jadi ya sudah, mari kita berfokus pada the grand scheme-nya saja...

Wonderful Europe
Aloys Budi Nugroho
Gramedia Pustaka Utama

Setelah bersusah-susah keliling Indonesia, meskipun yang pertama sambil hura-hura dan bersenang-senang tiada tara, sementara yang kedua susah beneran dengan idealisme tinggi, mari kita melongok ke negeri seberaaaaaaaaaaaang sono. Saya tertarik dengan buku ini karena tempat-tempat yang didatangi si romo (penulis buku ini adalah seorang pastor Katolik) nyaris tepat sama dengan tempat-tempat yang saya datangi dalam perjalanan Eropa saya tahun lalu, yaitu Paris, Lourdes, Roma. Tentu dengan variasinya. Buku ini mengulas tentang perjalanan si romo menjadi pembimbing rohani sebuah tur. Senangnya membaca perjalanan dengan menggunakan jasa tur, saya makin yakin memang gaya perjalanan yang paling pas bagi saya adalah mengatur sendiri. Dengan demikian saya bisa puas menikmati apa pun yang ingin saya nikmati saat jalan-jalan itu. Sedihnya, tentu saja saya jadi tahu ada lumayan banyak juga yang miss dengan gaya jalan saya yang independen itu. Misalnya di Roma saja saya tidak sempat ke tiga basilika besar selain Basilika St. Petrus. Saya juga tidak sempat berputar mengunjungi biara St. Bernadet di Nevers. Meskipun demikian saya lumayan bangga bisa sampai ke Kapel Medali Wasiat di Paris, meski sambil menggendong anak dan pakai jalan 1,5 km, hohoho... Pelajaran dari buku ini bagi saya: sebelum berangkat ke satu tempat, riset riset riset riset lagi. Pastikan tempat-tempat menarik mana yang mau didatangi biar nanti pas pulang tidak menyesal!

Tidak ada komentar: