Selasa, 05 Mei 2009

Brisingr~Christopher Paolini

“Buku yang membuat saya rela bergadang.”---Washington Post.

Dan tepat itulah yang saya lakukan satu setengah minggu ini. Brisingr edisi Indonesia yang tebalnya kurang-lebih 900 halaman itu membuat saya tidur tengah malam selama berhari-hari karena adegan-adegannya yang seru.

Saat membaca Eragon, saya merasa wagu karena banyak kemiripannya dengan The Lord of the Rings---mungkin juga karena masa itu trilogi LOTR juga lagi naik daun. Selain itu, tulisan Paolini pun masih terasa sangat kekanakan. Saat Eldest, dialog-dialog panjang pelajaran Eragon terasa membosankan, dan petualangan Roran terasa lebih seru. Tapi pada Brisingr, semua elemen cerita terasa seru dan perlu. Brisingr menyuguhkan petualangan demi petualangan, perang demi perang, perkelahian demi perkelahian baik secara fisik langsung maupun dengan sihir. Semuanya seru dan intens, dan meskipun ukuran bukunya yang hampir 900 halaman tampak masif, secara keseluruhan buku ini sama sekali tidak membosankan.

Paolini jelas telah berkembang dengan baik sebagai penulis (dan kalau dilihat dari fotonya, sebagai pemuda juga... hehehe). Ia bisa menautkan simpul-simpul lepas dan menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan tak terjawab yang ada pada buku-buku sebelumnya. Ia bisa memberi kilas balik dan penjelasan dengan sangat baik dengan menyelipkannya pada dialog-dialog, sehingga pembaca mengerti dan tidak merasa digurui. Ia bisa memberi gambaran sejelas film action pada adegan-adegan laganya. Dan utamanya, ia berhasil menciptakan dunia Alagaësia yang utuh, baik itu dunia sihirnya maupun dunia manusianya. Saat membaca Brisingr, saya tidak lagi berusaha membanding-bandingkan Kull dengan Uruk Hai atau elf di Alagaësia dengan elf di Middle Earth.

Cerita dibuka dengan seru saat Eragon membantu Roran merebut kembali Katrina dari tangan para Ra'zac. Tekanan kengerian ditambah Paolini dengan meninggalkan Eragon di Helgrind, sarang Ra'zac tanpa Saphira yang harus membawa pulang Roran dan Katrina ke markas Varden. Pertempuran Eragon dan Ra'zac yang seru diikuti kisah Eragon (dan Arya) menjelajah Kekaisaran untuk kembali ke Varden serta apa yang dialaminya saat itu sangat patut disimak.

Sementara itu di markas kaum Varden, Nasuada harus mempertahankan wibawa dan kepemimpinannya dengan Duel Pisau Panjang yang mengerikan. Dan Roran memutuskan untuk mengabdikan diri padanya (kedua hal ini sebetulnya tidak berkaitan secara langsung). Roran lalu terlibat dalam berbagai pertempuran “kecil” dan membuktikan dirinya pantas menjadi pejuang dan pemimpin.

Saat kembali ke Varden, Eragon (dan Saphira) harus menghadapi Murtagh dan Thorn sekali lagi. Dalam pertempuran kali ini Eragon dan Saphira yang dibantu dua belas elf perapal mantra dan Arya berhasil mengusir dan mengalahkan Murtagh dan Thorn. Tapi pertempuran “di tanah” mengalami kekacauan besar, saat pasukan Varden mendapati Galbatorix telah menciptakan prajurit-prajurit perang yang tak bisa mati kecuali dipenggal. Meskipun berhasil menghancurkan pasukan Galbatorix, kaum Varden mengalami kerugian besar.

Usai menikahkan Roran dan Katrina, Eragon ditugasi oleh Nasuada untuk pergi kepada kaum kurcaci di Pegunungan Beor untuk memastikan raja kurcaci yang baru mendukung perjuangan kaum Varden. Sekali lagi Eragon dan Saphira harus berpisah. Eragon pergi ditemani Nar Garhzvog, pemimpin Kull. Sampai di tempat saudara angkatnya, Grimzborith Orik yang mengepalagi klan Ingeitum, Eragon mendapati bahwa ia mungkin harus mengikuti rapat kaum kurcaci yang bisa berlangsung berminggu-minggu dan tidak bisa melakukan apa-apa untuk mempercepat prosesnya.

Saat tiba di kota bawah tanah kaum kurcaci, ternyata secara tidak langsung Eragon dapat mempercepat proses pemilihan raja itu karena percobaan pembunuhan yang dilancarkan padanya oleh salah satu pemimpin klan. Orik terpilih menjadi raja baru, dan dukungannya pada kaum Varden bisa dipastikan. Eragon dan Saphira menghadiri upacara penobatannya, lalu terbang ke kota kaum elf, Ellesmera, di tengah hutan Du Weldenvarden.

Di sana, saat bertemu dengan gurunya, Oromis dan naganya Glaedr, Eragon mendapati bahwa ternyata dirinya bukan putra Morzan dan adik Murtagh. Dengan lega, Eragon mengetahui bahwa ayahnya ternyata Brom, yang ia anggap gurunya yang pertama. Berikutnya, Eragon---yang sepanjang berbagai pertempuran merasa tidak memiliki senjata yang tepat sejak Za'roc diambil Murtagh dari tangannya---berusaha membujuk elf tua Rhunon untuk membuatkan pedang baginya. Rhunon sudah bersumpah tidak akan membuat pedang lagi sejak senjata buatannya dipakai untuk membantai naga dan penunggangnya oleh Galbatorix. Tapi, kalaupun ia mau melanggar sumpahnya, ia tidak memiliki bahan untuk membuat pedang lagi karena bahan tersebut besi yang terkandung dalam komet yang jatuh di Du Weldenvarden.

Mengikuti saran Solembum, si kucing jadi-jadian, Eragon dan Saphira mencari besi tersebut di bawah akar pohon Menoa yang tertua di Du Weldenvarden. Mereka membangkitkan kemarahan pohon tersebut, tapi berhasil meyakinkannya untuk menyerahkan besi itu. Semalaman Eragon menjadi “alat” Rhunon, yang untuk menjaga sumpahnya tidak menempa sendiri besi tersebut, untuk membuat pedangnya sendiri. Paginya, pedang biru seperti sisik Saphira telah jadi. Pedang terindah yang “dibuat” Rhunon. Eragon menamai pedang itu Brisingr, alias api dalam bahasa kuno. Setiap kali ia mengucapkan nama pedang tersebut, pedang itu menyalakan api biru.

Kunjungan Eragon dan Saphira pada guru-guru mereka juga memberikan pengetahuan baru tentang Eldunari naga, jantung dari jantung naga, tempat mereka menyimpan seluruh kesadaran dan pengetahuan mereka. Mereka juga mengetahui bahwa kekuatan Galbatorix datang dari kumpulan Eldunari yang ditawannya. Pada akhirnya, sebelum Oromis dan Glaedr ikut terbang untuk berperang bersama Ratu Islanzadi, Glaedr memberikan Eldunari-nya untuk dijaga Eragon dan Saphira.

Kembali ke kaum Varden, Eragon dan Saphira segera terlibat dalam perang menjatuhkan kota Feinster. Reuni dengan Arya, Roran, dan yang lain yang awalnya gembira harus diakhiri dengan sedih saat lewat Eldunari Glaedr, mereka mendapat kejutan besar.

Demikian buku ketiga ini ditutup dengan baik oleh Paolini, meninggalkan banyak pertanyaan untuk dijawab pada buku keempat. Antara lain pertanyaan yang berkaitan dengan ramalan mengenai nasib Eragon yang beberapa kali dikutuk untuk meninggalkan Alagaësia. Apakah setelah menaklukkan Galbatorix, satu-satunya penunggang naga yang merdeka itu harus meninggalkan tanahnya? Atau jangan-jangan Galbatorix memang tak terkalahkan? Rasanya pertanyaan terakhir ini---meskipun apa pun mungkin saja terjadi di dunia fiksi---tidak mungkin terjadi. Semua kisah epik kebaikan vs. kejahatan pasti berakhir dengan kekalahan pihak yang jahat. Tapi bagaimana si jahat mati? Semua pasti menunggu-nunggu pertempuran akhir antara Eragon dan Saphira vs. Galbatorix dan Shruikan. Sssshhh... penantian yang panjang pun dimulai...

Nicholas Evans

Saya baru menginjak bab kelima The Divide, saat terpesona sungguh pada kepiawaian Nicholas Evans melukiskan emosi tokoh-tokohnya. Saya benar-benar bisa merasa ikut berada dalam setting cerita, dan terlibat dalam kejemuan yang dialami sang tokoh, Sarah Cooper.

Setting-nya sebagai berikut: pagi hari, Sarah ikut sarapan bersama Ben, mantan suaminya dan sheriff lokal. Mereka berada di Missoula, Montana, akan menjemput jenazah putri Sarah dan Ben. Evans menggambarkan kejadian itu dengan sangat detail, berapa pil penghilang rasa sakit yang ditelan Sarah, apa yang dialaminya sejak malam sebelumnya, sampai ke roti gandum yang dipesannya tapi tak mampu ditelannya. Saya langsung bisa berempati pada tokoh ini, dia datang untuk menjemput putrinya yang sudah meninggal, tapi terpaksa melayani basa-basi dengan mantan suami dan sheriff lokal itu. Sungguh dahsyat.

Tapi kemudian Evans mulai menarik-ulur rasa empati dan simpati pembaca pada tokoh-tokohnya. Bagaimana sebenarnya Sarah yang sepertinya patut dikasihani, ternyata sangat dingin dan tinggi hati. Bagaimana Ben yang sepertinya hangat dan menjadi korban, ternyata juga brengsek. Jadi mana yang benar? Evans sangat piawai menciptakan tokoh-tokoh yang abu-abu, dan justru malah jadi sangat duniawi dan wajar. Semua orang di dunia ini toh abu-abu, mejikuhibiniu, bukan? Orang-orang yang wajar bukanlah tokoh sinetron yang benar-benar hitam-putih, yang jahat benar-benar jahat, yang baik benar-benar baik. Weks, itu cuma terjadi di sinetron! Benar-benar dibuat-buat.

Ternyata ada yang menyebut Evans “the animal writer”. Apa pasal? Dalam dua dari empat novelnya, Evans mengambil tema binatang: The Horse Whisperer dan The Loop. Sementara dari judulnya saja The Horse Whisperer sudah tampak berkutat di dunia kuda, The Loop mengulik masalah serigala yang akan punah. Tapi apa benar Evans cuma menulis tentang binatang? “Kalaupun ada binatang yang saya bahas, itu the human animal,” kata Evans kecewa dalam situsnya www.nicholasevans.com. Sesungguhnya Evans justru sangat tertarik pada manusia, hubungan-hubungan antara para anggota keluarga, suami-istri, ayah-ibu-anak, kakak-adik, dan antarsahabat. Semua novelnya mengisahkan ikatan emosi yang sangat kuat antarmanusia. Ia juga sangat kuat menggambarkan emosi-emosi dan perdebatan yang muncul dalam diri manusia saat terjadi konflik benar-salah.

Ambil contoh novel ketiganya, The Smoke Jumper. Dalam novel ini Evans mengisahkan pergulatan kisah cinta segitiga yang tidak biasa. Bagaimana dua sahabat Ed dan Connor berebut cinta seorang gadis. Mana yang benar dan mana yang salah saat Connor jatuh cinta pada pacar sahabatnya? Bagaimana perasaan-perasaan itu memengaruhi tugas mereka sebagai smoke jumper alias pemadam kebakaran hutan? Bagaimana perasaan ketiga tokoh ini saat Ed kemudian menjadi buta? Evans dengan cerdik menempatkan tokoh-tokohnya sebagai tokoh sehari-hari---the guys next door---yang mungkin saja menjadi Anda atau saya. Semua memiliki sisi baik, semua sulit untuk dibenci, sehingga pembaca benar-benar bisa merasa ikut menjadi tokoh-tokoh tersebut dan terseret dalam pusaran emosi mereka.

Omong-omong soal sisi baik dalam tiap tokoh, rupanya kebiasaan Evans menciptakan tokoh demikian sudah dimulai sejak novel pertamanya, The Horse Whisperer. Bagaimana si ibu bisa saling jatuh cinta dengan si penjinak kuda, saat sebenarnya pernikahannya baik-baik saja dan suaminya sempurna? Pembaca ikut menangis karena tahu si ibu tak bisa meninggalkan suaminya demi si penjinak kuda, karena ya dia tidak bisa melakukan itu. Sisi emosional itulah yang membuat novel ini sangat kuat.

The Divide mengupas lebih dalam hubungan antar-anggota keluarga. Bagaimana kisahnya Ben dan Sarah dan anak-anak mereka. Bagaimana si sulung Abigail yang sempurna bisa berubah menjadi eco-terrorist, bahkan kemudian ditemukan sudah membeku dalam es di pegunungan Montana. Dalam novel keempat ini Evans lebih luwes dalam memberikan alasan-alasan bagi perpecahan keluarga Ben dan Sarah, tapi sayangnya jadi sedikit mengurangi tarik-ulur emosional yang dirasakan pembaca dalam The Horse Whisperer dan The Smoke Jumper.

Yang tidak berkurang adalah perencanaan dalam pengaturan plot. Saat membaca The Divide, saya menyadari betapa jagoannya Evans merangkai plot dan cerita serta menerakan emosi. Semua cerita terasa pas, tidak berlebihan atau berpanjang-panjang (salah satu yang sempat saya rasakan saat membaca The Smoke Jumper, sehingga novel ini meskipun sangat indah bagi saya agak antiklimaks). Saya sempat membalik-balik lagi beberapa adegan yang saya baca di The Divide. Wow, pasti Evans berpikir panjang sebelum menempatkan adegan ini, atau mengarang adegan itu. Semua ada pada tempatnya dengan porsi yang tepat. Inilah penulis yang membuat perencanaan dulu sebelum menulis, penulis yang menggodok dulu sampai matang, sehingga hasil tulisannya tidak bisa tidak menjadi hiburan yang berbobot bagi pembacanya.

Dan pujian terakhir bagi Evans adalah kepeduliannya pada lingkungan. Meskipun lahir dan besar di Inggris, Evans sangat tertarik pada wilayah Midwestern Amerika, tepatnya Montana. Ia menggambarkan daerah yang masih berhutan lebat itu dengan sangat indah. Kegiatan-kegiatan alamnya pun dia ceritakan dengan fasih. Pembaca diajak ikut naik gunung, kayaking, rafting, dan berkuda. Semua kegiatan alam bebas yang menantang dan seru itu membangkitkan sisi petualangan dalam diri pembaca. Dalam The Divide, Evans lebih menekankan lagi pentingnya pelestarian lingkungan dengan menyinggung langsung soal illegal logging dan konferensi-konferensi lingkungan hidup. Kalau salah satu penulis besar---Michael Crichton---menyinggung soal pemanasan global dalam rangka cerita yang jauh lebih bombastis dan multinasional dalam State of Fear, Evans menyampaikan pesan lingkungan hidupnya dengan mengajak pembaca turun langsung ke lapangan, menginjak tanah subur Montana dan mengisi paru-paru dengan aroma hutan yang menyegarkan.

Breaking Dawn~Stephenie Meyer

Mungkin agak telat dibandingkan die hard fans-nya Twilight Saga, saya baru membaca Breaking Dawn bulan lalu. Dan... yah, terus terang saya kecewa dengan ending kisah cinta Bella dan Edward ini. Why so?

Saya merasa terlalu banyak poin yang dipaksakan dalam novel ini. Saya merasa novel ini ditulis oleh seorang remaja yang bercerita karena ya memang dia mau ceritanya begitu. Logika ditempel dan dikarang di sana-sini, hanya supaya ceritanya bisa jalan.

Dan menganggap resensi ini sudah ketinggalan zaman, saya akan langsung to the point saja merujuk pada bagian-bagian yang menurut saya terlalu maksa. Spoiler alert.

Bella dan Edward harus punya anak (manusia dan vampir? Ini mah bener-bener supaya yang ngarang happy aja.). Anak itu namanya harus Renesmee (dari ibu Bella, Rennee, dan ibu Edward, Esme—oh oh oh, kalo anaknya cowok, namanya E.J.--Edward Jacob... Ya ampun! Plis deh, namain anak dengan nama “mantan”?). Dan Jacob harus imprint pada anak itu (yeah, right, married sama anak cewek yang dia taksir? Hmm... jadi inget filmnya Kevin Costner sama Jennifer Aniston itu... apa judulnya? Oh iya, Rumor Has It). Saat kehadiran anak itu menimbulkan kehebohan di dunia vampir, keluarga Cullen kudu mengumpulkan berbagai vampir dari segala penjuru dunia untuk mendukung mereka... hhmm... ini remaja banget, ngumpulin semua tokoh untuk mendukung tokoh utama. Ehem, kalau setting-nya di SMA, mungkin ngumpulin semua cowok demi si tokoh utama cewek. Seru, kan? Mengingatkan saya pada film kartun jadul yang ngumpulin banyak tokoh superhero dan anak-anak mereka, kalo gak salah judulnya Defenders of the Earth. Oh ya, omong-omong superhero, Bella terus punya kekuatan super membuat tameng. Tentu saja awalnya cuma untuk menamengi dirinya sendiri, tapi lalu tiba-tiba dia bisa menamengi semua vampir. Dan di detik terakhir, saat mestinya ada perkelahian mati-matian, tiba-tiba muncul makhluk setengah manusia-setengah vampir, sejenis Renesmee... dan damai turun di Bumi. Mana berantemnya? Mana? Setelah semua konflik dan ketegangan menuju ke sana, setelah pembaca membayangkan seluruh klan Cullen berikut teman-teman mereka bakal dihapus dari muka Bumi, dan... tidak ada seujung kuku pun yang patah... aaaaaaaaaaaa... rasanya mo marah!!! At least biarkan Emmett atau Jasper atau siapa itu vampir yang baru muncul itu berantem dulu kek!!! Meskipun tentu saja pasti pembaca mengharapkan Edward atau Jacob yang berantem.

Anyway, cerita novel ini berlanjut dari bagian yang terpotong di Eclipse—pernikahan Edward dan Bella. Yang dilanjutkan dengan bulan madu mereka, yang diceritakan dengan sangat aneh. Maksud saya, c'mon pas bulan madu, dan lagi hot-hot-nya, Bella cuma diceritakan bangun pagi-pagi dengan tubuh memar-memar dan nggak ingat apa-apa kejadian malamnya? Huh? Emangnya ini adegan perkosaan? Which was itulah sudut pandang Edward, dia terlalu menyakiti Bella. Tapi ya sudahlah, apa pun yang mereka lakukan, Bella end up hamil, dan namanya anak vampir, kehamilannya abnormal. Anaknya berkembang dengan sangat cepat dan membuat tubuhnya babak belur dari dalam. Edward dan Carlisle berusaha membujuk Bella untuk aborsi, tapi tentu saja Bella nggak mau. Keinginan Bella didukung Rosalie yang sebenarnya pengin punya anak.

Di La Push, Jacob berusaha menggunakan kesepakatan bahwa werewolf tidak akan menyerang vampir kalau tidak ada manusia yang disakiti atau dibunuh untuk membuka front dengan klan Cullen. Alasannya Bella kan pasti sudah dijadikan vampir, alias dibunuh. Jacob tidak peduli kata teman-temannya bahwa Bella jadi vampir atas keinginan sendiri. Tapi saat Jacob menengok Bella di rumah keluarga Cullen, kondisinya ternyata jauh lebih mengerikan dari kematian, karena semakin hari bayi yang dikandungnya semakin membuat kondisi tubuhnya payah. Melihat kondisi gadis yang dicintainya, Jacob jadi kebingungan. Di satu sisi dia tidak ingin Bella mati, di sisi lain dia hanya ingin Bella bahagia. Masalah Jacob bertambah saat para werewolf yang tadinya tidak mau menyerang klan Cullen malah berbalik jadi agresif karena menganggap anak Bella dan Edward—yang tidak ketahuan jenis makhluk apa itu—bisa jadi ancaman baru. Jacob lalu melepaskan ikatan dengan kelompoknya. Tindakannya ini diikuti Seth dan Leah, membuat Jacob jadi punya kelompok baru.

Akhirnya anak Bella-Edward pun lahir dengan proses yang mengerikan. Edward langsung menjadikan Bella vampir untuk “menyelamatkan nyawanya”. Dan Jacob langsung tahu Renesmee adalah belahan jiwanya.

Masa indah setelah Bella mendapatkan segala yang diinginkannya—menjadi vampir dan punya anak dari Edward, plus tidak kehilangan Jacob—berlangsung singkat. Kehadiran Renesmee tercium oleh klan Volturi, polisi dunia vampir. Akibatnya klan Volturi, yang sebenarnya sudah lama iri pada klan Cullen pun bergerak untuk menumpas klan saingan ini, dengan alasan mereka punya anak vampir, sementara kehadiran anak vampir telah di-banned dari dunia pervampiran karena anak vampir tidak bisa dikontrol tindak-tanduknya.

Carlisle segera mengatur strategi. Mereka harus mengumpulkan sekutu yang mau bersaksi bahwa Renesmee bukanlah anak vampir. Renesmee masih tumbuh bak anak kecil lainnya, meskipun dengan lebih cepat. Renesmee bisa belajar dan mengontrol dirinya. Datanglah vampir-vampir dari segala penjuru dunia. Alaska, Mesir, Brazil, Rumania, dll. Selain menjadi saksi, mereka juga mempersiapkan diri untuk berperang melawan klan Volturi.

Jacob dan para werewolf tentu juga siap membantu. Apalagi setelah Jacob imprint pada Renesmee.

Sedikit twist yang menambah ketegangan tercipta saat Alice dan Jasper malah pergi meninggalkan keluarga mereka di saat genting. Anggota keluarga yang lain menganggap mereka mencari selamat, tapi ternyata di akhir cerita Alice dan Jasper yang membawa makhluk setengah vampir-setengah manusia seperti Renesmee yang menyelamatkan klan Cullen dan sekutu mereka.

Oh ya, satu lagi yang mengganggu dan lame banget. Adegan akhir, adegan happily ever after itu loh... Aduh! Dengan banyak kata forever-nya itu. Aduh!

Sebenarnya Stephenie Meyer mungkin seharusnya tidak melanjutkan Twilight. Novel pertama itu sangat kuat dan membuai. Membuat semua orang ikut tersengat listrik kisah cinta Edward dan Bella. Buku keduanya bisa dibilang payah, meskipun bagi saya porsi Jacob yang cukup besar di situ memberi nuansa yang lebih membumi bagi kisah ini. Eclipse lebih bagus dan seru daripada New Moon. Mulai dari sejarah vampirnya (hahaha... Anne Rice pasti sempet misuh-misuh kenapa nggak memikirkan sejarah vampir seperti Meyer) yang seru, sampai ke adegan cinta segitiga yang bikin geli-geli tapi mau (adegan dalam tenda itu loooh). Tapi Breaking Dawn ini... yaaaaaaaah... mungkin tepatnya membuat saya jadi heart broken ya membacanya...