Rabu, 04 Juli 2012

Mekarsari

Mumpung liburan, ngumpul sambil ngajak anak-anak jalan, yuk! Jadilah saya dan dua sahabat sehidup-semati sepakat untuk menyewa mobil dan membawa anak-anak kami ke suatu tempat. Bukan ibu-ibu dong ah namanya kalau nentuin tempat aja nggak pake berantem… Tapi setelah menimbang dan menakar, akhirnya kami memutuskan memilih pergi ke… Mekarsari! Yay! Norak ya, taman buah itu kan udah ada sejak kapan-kapan, tapi ternyata tidak ada satu pun dari kami yang sudah pernah menyambanginya.

Cihui sampai akhir? Belum… namanya juga baru awal cerita. Setelah meraih suara bulat dalam pengambilan keputusan, rupanya ada informasi-informasi baru yang masuk antara lain jalanan yang supermacet, kondisi yang panas dan kotor, dll dsb. Jadilah tiga ibu-ibu ini kembali tarik urat, tarik ulur, cari-cari tempat-tempat wisata lain yang bisa jadi kandidat… dan… ibu-ibu memiliiiih… tetap ke Mekarsari, dengan segala risikonya.

Jadilah, Sabtu kemarin saya menggotong si kecil yang masih tidur dalam piamanya masuk ke mobil sewaan. Sesuai janji, saya dan anak berangkat tepat jam tujuh pagi, menjemput dua ibu dan dua anak lain di tempat perjanjian. Perjalanan cukup lancar, setelah ketemu kakak-kakak, anak saya pun jadi segar dan mau disuapi sekadar pengganjal perut di pagi hari.

Kami lewat Cibubur dengan aman sejahtera, mengingat masih pagi, dan tiba di Mekarsari jam sembilan teng. Di sana kami clingak-clinguk, dan akhirnya mampir di konter informasi. Di sana oleh mbak-mbak yang ramah, kami ditawari berbagai paket kegiatan yang asyik-asyik---sayangnya tidak semuanya bisa dilakukan oleh anak-anak kami yang masih balita serta kelas 2 dan 3 SD, antara lain naik banana boat, tube, dan outbound yang untuk dewasa. Jadilah kami memilih paket Greenland Tour yang sebenarnya kegiatannya hanya keliling kebun-kebun buah. Sebelum membayar, anak-anak diukur tingginya, dan… ternyata semua masih di bawah 120 cm, jadinya hrrraaatiiishhh… HOREEE!!! Mamak-mamaknya saja yang bayar, per paket Rp50.000 saja, dengan serenceng tiket untuk ditukarkan berbagai macam macam-macam. Di konter info/tiket ini saya sih cuek saja dengan rencengan tiket, maksud saya, ini mau dikasih apaan sih? Paling berat-beratin bawaan aja, males ah ambilnya, dll dsb. Tapi… ternyata… kita lihat cerita selanjutnya…

Acara pertama adalah naik kereta mobil. Anak saya, maklum cowok, girang benar. Tapi karena hratish, anak-anak diwajibkan dipangku (hanya terjadi pada leg pertama tur keliling kebun ini, selewatnya tidak ada yang ingat). Leg pertama ke kebun melon. Di kebun ini kami dipersilakan menukarkan sobekan tiket yang pertama dengan softdrink. Yang ada di kepala saya tentu saja Coca-Cola, Fanta, dkk. Eh, taunya yang disiapkan adalah jus buah segar merk Mekarsari. Ambil dong, ah. Taunya lagi, si kecil suka! Sial, jatahnya cuma sebotol! Tapi the highlight of this leg tentu saja kebun melonnya dong. Melon ditanam dalam rumah kaca (yang memerangkap sinar matahari dan menaikkan suhu 3 derajat), satu pohon hanya diperkenankan berbuah satu saja, sehingga buah yang dihasilkan sangat maniiisshh (saya buktikan sendiri dengan icip-icip potongan buahnya). Pengunjung diperkenankan memetik buah sendiri, yang bentuknya biasa-biasa saja alias bulat hanya Rp15.000/kg, sementara yang bentuknya aneh-aneh Rp25.000/kg. Aneh-aneh? Iya, ada yang bentuknya segitiga, kotak, dan hati---sayang pas nggak ada yang bentuknya bintang. Taunya saat seukuran telur ayam, buah melon itu dipasangi cetakan. Lucu ya… Sayangnya, kami tidak memetik buah, karena mempertimbangkan perjalanan masih panjang dan buah itu cuma jadi beban saja.

Kembali ke kendaraan, kami ditransfer ke bus gandeng yang lebih kecil. Sempat terjadi perdebatan saat si kecil ngotot mau naik bus yang warna biru, bukan hijau. Tapi dengan dalih bus biru sudah penuh, akhirnya si kecil berhasil dibujuk. Kebun kedua adalah kebun salak. Kembali kami dipersilakan menukar sobekan tiket dengan setengah kilogram salak dalam keranjang anyam yang lucu. Selanjutnya, rombongan kecil kami disapa mbak-mbak baik hati yang menerangkan sedikit tentang pohon salak, buahnya, dan kebun secara garis besar. Saking asyiknya mendengarkan cerita si mbak, kami nyaris ketinggalan bus (hijau) kami.

Berikut, kebun belimbing. Dan yak, kami kembali dipersilakan menukar sobekan tiket dengan sebuah belimbing yang ukurannya lumayan besar. Mulai merasa beruntung kan, tadi tidak beli melooonn… Dan perjalanan pun berlanjut. Sepanjang perjalanan ada guide yang menerangkan kebun apa saja yang kami lewati. Yang sangat menarik dan membuat saya ingin mencicipi adalah jambu rosa… Kayaknya asyik ya, rasa jambu manis-manis gitu tapi aromanya harum mawar… hmmm… Oya, ada juga nangka campur cempedak. Ini juga kayaknya oke banget nih… Sayang saat kemudian clingukan di kios-kios buah yang banyak tersedia, sama sekali tidak ada tuh penampakan jambu rosa atau nangdak alias nangka-cempedak itu.

Anyway, kami lalu diturunkan di dekat danau, pusat segala keriaan. Jam sekitar pukul sebelas, dan matahari terik banget. Untung daerah itu dipayungi banyak pohon. Kami duduk-duduk istirahat sebentar sembari mengatur strategi mau ngapain setelahnya. Akhirnya kami lalu memutuskan untuk naik perahu naga (Rp15.000/orang). Perahunya lumayan besar, mungkin muat sekitar 30 orang sekali jalan. Kami juga diminta mengenakan jaket pelampung, jadi soal keselamatannya cukup diperhatikan lah. Trayeknya sih cuma sekali mengelilingi danau, sekitar sepuluh menit maksimal. Taunya, dasar anak kecil gampang puas, anak saya minta lagi. Akhirnya dibujuk biar makan siang dulu, baru naik perahu naga lagi. Si kecil setuju, tapi tidak lupa janji. Begitu acara makan siang bubar, dia menuntut balik naik perahu naga. Walhasil, saya dan si kecil pisah jalan sementara dengan teman-teman kami.

Setelah putaran kedua perahu naga, panas makin menyengat, dan kami mulai beranjak perlahan ke halte kuning tempat perhentian bus yang akan membawa kami kembali ke bagian depan Taman Mekarsari. Menunggu beberapa lama, bus pun datang. Anak-anak duduk diam, mungkin agak lelah dan kepanasan sedari tadi, selain itu angin sepoi-sepoi dari jendela terbuka memang asoy. Tenang? Tunggu dulu… angin sepoi itu tiba-tiba menerbangkan topi anak saya! Aaa… iii… Pak Sopir berhenti!!! Sekejap seisi bus dilanda kepanikan karena sepotong topi. Untungnya topi nyangkut di anak tangga bus, sehingga tidak ada yang perlu turun berlari-lari balik arah mengambilnya. Terima kasih ya, kakak yang baik hati, sudah mengambilkan topi Papu keramat!

Sampai di bagian depan taman buah, barulah kami menemukan area Kid’s Fun, yang sebenarnya lebih cocok untuk anak-anak seusia anak-anak kami. Sekali lagi rombongan terpaksa pecah karena anak saya mau naik bom-bom car, anak-anak lain mau naik monorail. Selesai bom-bom car, yang lain raib, jadilah dilanjut anak saya naik monorail (plus saya yang mau pengsan tiap keretanya belok), lalu naik pesawat. Lalu saat bereuni, eh, anak-anak lain mau naik bom-bom car, sementara anak saya mau naik helikopter---yang akhirnya jadi naik taksi. Apalah… terserah…

Akhirnya, setelah rombongan berhasil bersatu lagi, kami berjalan pelan-pelan mencari toko suvenir untuk menukarkan sobekan tiket (lagi! Gila ya, gak abis-abis tuh sobekan tiket!). Saya memilih suvenir mug, sementara teman-teman saya memilih topi. Setelah itu kami masuk toko buah di sebelah tok suvenir dan belanja-belanji sedikit.

Dan… sobekan tiket yang terakhir---akhirnya! Kami mencari pusat bibit, dan menukarkan sobekan tiket terakhir dengan tiga bibit pohon jeruk limau yang moga-moga bisa tumbuh subur menyediakan penyedap buat sambal nyam-nyam!

Dan perjalanan pulang pun dimulai pukul tiga… The real ordeal had began… eng ing eng… Suprisingly, leg Cileungsi-pintu tol yang ditempuh selama kurang-lebih dua jam tidak terasa membebani. Dua anak tidur, satu anak main iPod, dan mamak-mamak entah tidur entah gosip, so… lumayan lah. Masuk Jakarta, keluar di pintu tol Fatmawati, untuk mengantar satu pasang ibu-anak ke daerah Blok M, lalu perjalanan lanjut ke daerah Ciputat untuk mengantar sepasang ibu-anak lagi. All in leg kedua ini ditempuh juga dalam sekitar 2 jam. Daaan… leg ketiga… kasihanilah kami yang rumahnya paling jauh… Ciputat-Serpong. Secara teori, jarak yang ditempuh mestinya tidak segimana banget. Tol pun ada di mana-mana. Eh, taunya… justru ya justru… Kami terbentur macet di mana-mana, Gintung, Pondok Ranji, Tegal Rotan, tidak bisa masuk tol, balik arah, macet lagi di Bintaro 2. Akhirnyaaa… setelah mengambil rute pulang jin buang anak, di Kampung Parigi nan gelap, kami berhasil sampai rumah jam… sembilan malam!

Sungguh ya, sungguh… Mekarsari-nya sih oke banget. Harga yang ditawarkan dengan yang didapatkan oke banget. Tapi, jalanannya itu loh. Sungguh deh, nggak ngulangin lagi jalanannya. Kalo ada yang ngajak lagi lain kali, mungkin saya akan nyewa helikopter, bukan mobil!

Kamis, 02 Februari 2012

Blessings

Dalam dua hari ini dua kali saya mendapat pesan yang nyaris sama, yang sayang kalau tidak dibagikan.

Yang pertama begini: rezeki itu kakinya sepuluh, kita kakinya dua. Mau sampai kapan kita ngejar rezeki, nggak bakalan kekejar. Mendingan kita diam saja, bikin diri kita semenarik mungkin, nanti rezeki yang datang sendiri ke kita. (www.manislegit.blogspot.com)

Itu mungkin versi "bisnis" dan "modern"-nya.

Lalu saya dapat versi "biblis"-nya: Kita mengikuti berkat (versi di atas: mengejar rezeki) atau berkat mengikuti kita (versi di atas: membuat diri menarik sehingga rezeki datang). Kalau kita ngotot mengikuti berkat, dalam artian kita berdoa hanya untuk hal-hal duniawi, kita akan mati dan jauh dari Tuhan. Tapi kalau kita "diam saja", dalam artian berdoa untuk menyerahkan segalanya ke tangan Tuhan, maka berkat akan datang sendiri bagi kita.

Oke, versi pertama lebih mudah dimengerti kali yaaa... hehehe... Tapi kedua versi ini punya makna yang sama dan menurut saya sih benar. Menurut saya, kita harus berusaha 101% untuk menjadi the best we can do, lalu everything else will follow.

Misalnya saya sebagai ibu rumah tangga, selama ini kebanyakan whining dan minta pengertian orang-orang "ih, gue kan gak punya pembantu blablabla". So what? Orang lain juga nggak punya pembantu kok, just live it! Saya merasa karena saya kebanyakan mengasihani diri sendiri, justru akhirnya saya tidak 101% sebagai ibu, males ini, males itu, minta dimengerti ini dan itu. Padahal seharusnya kalau saya bisa put my heart in to it, maka saya bisa mendapat hasil yang lebih baik, rumah yg lebih rapi, makanan yang lebih sehat, anak yang lebih berkembang, dll dst.

Masalah tidak 101% ini rupanya sudah jadi penyakit saya sejak kecil. Saya masih ingat guru-guru SD saya yang memberi nasihat supaya lebih rajin setiap acara penerimaan rapor. Tapi ya itulah... Kayaknya selalu saja ada hal lain yang lebih menarik untuk dilakukan ketimbang belajar (waktu kecil dulu). Khawatirnya, sekarang meskipun sudah dewasa dan mengerti ini-itu, saya tetap selalu berhasil mendapat pengalih perhatian dari hal-hal lain yang seharusnya lebih utama untuk saya lakukan.

Kesimpulan paragraf di atas: untuk jadi 101% kita harus fokus... hehehe...

(Betapa menulis blog ini membawa pencerahan.)

Yah, anyway, kembali ke masalah berkat dan rezeki. Berkat memang tidak harus dikejar, tapi tetap harus diusahakan. Diusahakan dengan... fokus dan berjuang 101%. Semangat!!!

Minggu, 29 Januari 2012

Just Keep Swimming!

Just keep swimming! Just keep swimming!” Itu kata Dory si ikan Napoleon dalam film “Finding Nemo”. Pernah nonton, kan? Dalam film itu Dory menyemangati Marlin yang selalu pesimis dan punya aura “Gue pasti gagal! Gue pasti gagal!” Intinya nyanyian si Dory, ayo, jangan patah semangat, jangan berhenti, terus lakukan!

Petuah si Dory bisa juga diaplikasikan ke kegiatan menulis (dan banyak hal lain dalam hidup ini); jangan berhenti, terus lakukan, jangan patah semangat! Dalam hal menulis, just keep writing menjadi jauh lebih penting daripada sekadar membakar semangat kita, para penulis. Just keep writing membuat kita jadi semakin luwes, ide-ide kita semakin berkembang dan bermunculan, pilihan kata kita juga jadi makin variatif.

So, luangkan waktu untuk menulis tiap hari! Jangan malas! Jangan malu! Disiplin! Disiplin! Disiplin! (Sejujurnya, ini teriakan-teriakan untuk diri sendiri.)

Contoh paling mudah dari kegagalan menulis sedikit setiap harinya adalah... ta-daaa... Saya sendiri. Tentu saja sebagai ibu rumah tangga banyak urusan, saya ya... banyak urusan yang membuat saya jadi bisa mencari-cari alasan untuk tidak menulis, misalnya... anak rewel, anak merebut komputer, anak minta ditemenin, setelah anak tidur, ibunya capek, ibunya ngantuk, saat nemenin tidur ikut ketiduran dll dsb dst.

Sama seperti banyak hal lain di dunia ini, alasan-alasan itu bisa dinulifikasikan asalkan ada niat dan semangat untuk melakukannya. Argh.

So, step one: niat untuk membuang semua alasan dan mulai menulis.

Step two: memilih media menulis. Bagi saya mudah, saya sudah punya blog ini. Jadi tinggal mendisiplinkan diri untuk mengisinya dengan tulisan. Bagi orang lain bisa saja dia memilih buku tulis, diary cantik, atau ketak-ketik di komputernya, baik di-share dengan orang lain ataupun tidak. Media sosial seperti facebook atau twitter bisa membantu juga. Tapi saya pribadi merasa twitter tidak membantu seseorang menjadi penulis, karena ruang yang disediakannya hanya cukup untuk lontaran pendapat.

Step three: mengisi media itu dengan tulisan. Mulailah kita menghadapi masalah pertama... Mau nulis apa? Semua orang yang mulai menulis pasti menghadapi ini. Mau dia itu penulis andal dan berbakat, mau dia penulis pemula. Maka muncullah pertanyaan standar bagi para pengarang: Idenya datang dari mana? Dan jawaban standar (tapi benar) pun muncul: dari mana-mana...

Mind mapping seperti yang diajarkan oleh Tony Buzan sangat membantu. Sayang saya agak gaptek sehingga tidak bisa memasang gambarnya di sini, tapi moga-moga saya bisa menjelaskan dengan cukup baik. Mind mapping seperti brain storming, menuliskan segala hal yang berkaitan dengan topik yang ingin kita tulis, tetapi dengan lebih rapi. Misalnya kita ingin menulis soal kamar tidur, apa yang muncul dalam kepala kita saat mendengar kata kamar tidur? Tempat tidur, lemari, nakas. Apa yang terpikir saat mendengar kata tempat tidur? Bantal, seprai, kasurnya latex atau kapuk, letaknya di tengah ruangan atau dekat jendela, ukurannya dobel atau singel, pencahayaan yang mengenai tempat tidur itu terang atau remang-remang. Apa yang terpikir saat mendengar kata bantal? Jumlahnya berapa, sarung bantalnya motifnya apa... Dst dst. Itu baru satu topik kamar tidur (tempat tidur) yang dipecah-pecah. Nah, bayangkan betapa banyak yang bisa “dipecah-pecah” lagi dari topik kamar tidur. Jadi, teknik mind map adalah salah satu teknik menarik untuk mencari ide.

Just keep writing juga membuat kita lebih luwes dalam mencari ide. Soalnya begini, semakin banyak kita menulis, semakin banyak kita menyinggung berbagai topik, semakin luas kita bereksplorasi dengan pengetahuan kita, otomatis makin banyak juga ide yang muncul. Itulah gunanya latihan dan tidak berhenti menulis.

So, mari kita kembali ke step one: niat.

Oke, niat saja tidak cukup. Untuk membakar niat dan semangat kita, terus terang harus ada semacam reward. Sesungguhnya, bisa membuat tulisan yang baik itu sudah membawa kepuasan yang bisa menjadi reward bagi kita. Tapi bisa juga kita menciptakan reward yang lain. Salah satu reward yang menyenangkan bagi saya adalah... ternyata tulisan saya dibaca orang! Yay! Ada follower blog saya! Yay! Biarpun masih sedikit, gak papa... tapi ya, itu salah satu contoh reward.

So... ayo rajin... ayo rajin... disiplin... jangan setengah-setengah... AYO!

Kamis, 19 Januari 2012

Blink!

Awal Desember tahun lalu, saya mendapat kejutan yang lumayan membuat ge-er: Blink! Clothes meminta saya jadi pembicara dalam acara launching produknya. Idiiiih... Antara mau-mau-tak-mau, ya ge-er ya malu. Ceritanya saya diminta kesediaannya ini gara-gara buku-buku saya: Traveling with Tots dan Traveling with Kids, temanya cocok dengan produk yang akan mereka launching yaitu pakaian khusus traveling untuk ibu dan anak putri balita.

Sempat bingung nih, apa ya yang mau dibicarakan dalam kesempatan itu? Akhirnya saya memilih memberi ringkasan isi buku saya Traveling with Tots, mengingat audience yang dituju adalah ibu beranak balita. Presentasi yang coba saya buat tentu payah banget, mengingat ini pertama kalinya membuat presentasi dan menggunakan program power point (yang sebenarnya sangat mudah itu), sekaligus nyaris tidak mungkin mereka-reka poin-poin yang keren juga ilustrasi foto yang tepat saat ada kurcaci yang selalu teriak, “Ma, mau liat Lego City!!!” setiap kali laptop saya keluar dari peraduannya. Anyway, syukurlah punya adik yang sudah sering berpresentasi, sehingga presentasi bapuk saya akhirnya dipercantik dengan bantuannya.

Singkat cerita, setelah beberapa kali ngomong sendiri kayak orang gila, pura-puranya di depan audience, berangkatlah saya ke venue di Birdcage, Wijaya 9. OMG! Taunya tempat ini dulu bekas TK saya! Sungguh, dulu saya menjalani satu tahun ajaran TK kecil (dulu TK B) di sana! Saya langsung memuaskan hasrat masa kecil saya untuk naik hingga ke lantai 3 bangunan ini. Dulu saya selalu merasa lantai 3 yang pas berada di bawah atap miring ini pasti cantik banget. Katanya dulu ada guru yang tingal di lantai 3 ini. Saya membayangkan ruang tinggalnya dihias dengan renda-renda dan jendela kayu menjorok seperti rumah-rumah di pegunungan Swiss (hint: bacaan masa kecil, Heidi). Tentu sekarang lantai 3 ini juga difungsikan sebagai restoran.

Anyway, sama pentingnya dengan memeriksa khayalan masa kecil, saya diperkenalkan juga dengan beberapa jurnalis dari dunia maya maupun nyata: Ninit Yunita dari Urban Mama, Karmenita dari Mom's Guide, dan Inge dari V Radio. Senangnya dapat teman baru, membangun jejaring itu kan perlu...

Awalnya pengunjung acara kok sepi banget. Sudah ngobrol ngalor-ngidul pun acara tidak dimulai-mulai, sehingga kantuk mulai menyerang. Tapi, ternyata perlahan pengunjung berdatangan. Para mommy muda yang classy beserta para anak kecil yang sering sekali digodain sama kedua MC.

Akhirnya, tibalah giliran saya maju. Setelah berdoa-doa, saya pun duduk di panggung dan mulai bla-bla-bla. Kedua MC yang sebenarnya adalah dua pemuda yang benar-benar muda dan pasti belum pada punya anak, sangat membantu dengan pertanyaan-pertanyaan dan komentar-komentar sepanjang saya presentasi. Lucu juga sih, karena sebelumnya yang ada di pikiran saya adalah MC-nya bakalan mami-mami juga. Tapi, poinnya adalah mereka sangat membantu menghidupkan presentasi saya, dan I thank them for that.

Lucunya, mungkin saking gugupnya (meskipun rasanya gak gugup-gugup amat juga sih) atau saking kakunya saya, justru ada beberapa hal yang ingin saya bagi malah nggak kesampean. Misalnya tip soal kantong plastik saat packing itu. Agak sayang juga ya, soalnya itu tip yang justru tidak ada di buku, dan baru saya dapatkan belakangan.

MC juga mengarahkan supaya saya sedikit memaparkan dan menjelaskan bedanya jalan-jalan sama balita dan jalan-jalan sama anak SD, which is quite different loh!

So, all in all, rasanya acara ini berjalan cukup baik. Sayangnya karena waktu mulainya yang agak molor, saya memilih untuk pulang duluan seusai tampil karena merasa sudah meninggalkan anak terlalu lama. Tapi, melihat dari media online yang meliput, sepertinya acara berlangsung lancar sampai akhir.

Kalau ada yang meminta jadi pembicara lagi... hmm... ayoooo... (Lho?)

Senin, 16 Januari 2012

Do the Talk

Haaaaiii... Sudah lama ya saya tidak sempat menulis blog, ada beberapa pekerjaan kejar tayang selain tentu saja liburan akhir tahun (Nggak... saya nggak ke mana-mana, bahkan staycation pun gagal memberi suatu pengalaman yang lumayan menarik, karena kami hanya ke mal, ke mal, dan ke mal lagi... Very not inspiring as a self-claimed travel writer). Selama masa-masa tidak sempat menulis itu, sebenarnya ada beberapa pengalaman yang ingin saya share di blog ini. Salah satunya adalah MENULIS PERCAKAPAN.

Hah?

Betul. Masalahnya begini, kemarin-kemarin ini saya kebetulan mengedit naskah novel pengarang Indonesia. Kebetulan naskah ini punya masalah yang sama dengan banyak naskah lain yang pernah saya tangani: adegan percakapannya parah banget. Maksudnya parah bukan percakapannya bolong-bolong, atau tokoh A bertanya tokoh B tidak menjawab, tapi nyaris tidak ada keterangan apa pun tentang nuansa, situasi, latar belakang, perasaan-perasaan si tokoh-tokoh yang terlibat dalam percakapan itu. Jadi percakapan dalam novel hanya terdiri atas kalimat-kalimat dalam tanda petik yang sambung-menyambung berderetan ke bawah. Ini menyebalkan saya sebagai editor, karena saya jadi harus memoles banyak sekali (atau mengembalikan naskah ke pengarang, yang artinya memperlama waktu penerbitan).

Masih bingung? Begini contohnya (contoh ini murni karangan saya, bukan mengutip dari novel mana pun):
Ani masuk kelas dan meletakkan tasnya di bangku. Budi mengekor di belakangnya.
“Hai, Ani!”
“Hai, Budi. Selamat pagi...”
“Kamu sudah buat PR fisika belum?”
“Sudah sih, tapi aku bingung yang nomor empat...”
“Wah, asyik... Aku boleh pinjam gak?”
“Yah, jangan dooong... Buat PR sendiri, kenapa sih?”
“Ah, kamu nggak asyik ah, anaknya! Hei, Cici sudah buat PR fisika, belum?”
“Belum tuh...”
“Wah, kalian payah ah, aku mau ke kantin aja, sarapan!”
“Hei, ikut dooong!”

Nah, setelah “Hai, Ani” dan “Hai, Budi” sebenarnya jelas nggak sih siapa yang ngomong? Nggak jelas, kan... Apalagi setelah tokoh ketiga, si Cici, memasuki arena percakapan dan percakapan menjadi panjang. Gawat, gawat, gawat. Semakin nggak jelas. Itu masih percakapan pendek, bagaimana percakapan dalam novel yang sering kali panjangnya berhalaman-halaman?

Pengarang sering kali merasa sudah cukup memaparkan dan menjelaskan adegan-adegan yang ada di dalam kepalanya. Padahal belum cukup. Pembaca bukanlah pengarang, pembaca tidak tinggal dalam kepala pengarang, dan pembaca buku bukanlah pembaca pikiran. Dengan demikian pengarang yang ingin naskahnya dinikmati pembaca punya kewajiban untuk menggambarkan sejelas mungkin adegan-adegan dan percakapan-percakapan dalam novelnya. Pendeknya, jangan membuat bingung pembaca. Bermurah-hatilah dengan kata-kata dan huruf-huruf, buatlah deskripsi sebaik mungkin dan sejelas mungkin. Ajaklah pembaca masuk ke alam pikiranmu, wahai Pengarang! Ajak mereka ikut merasakan terik matahari atau sepoi angin, buat mereka ikut merasakan kemarahan dan kekesalan si tokoh, buat mereka juga tersipu-sipu saat si tokoh melirik pujaan hatinya.

Anyway, coba bandingkan adegan si Ani, si Budi, dan si Cici kalau sudah dipermak seperti ini:
Ani masuk kelas dan meletakkan tasnya di bangku. Budi mengekor di belakangnya.
“Hai, Ani!” sapa Budi dengan mata berbinar nakal.
“Hai, Budi. Selamat pagi...,” jawab Ani sambil duduk di bangkunya. Wajahnya datar-datar saja.
“Kamu sudah buat PR fisika belum?” tanya Budi sambil nangkring di meja Ani. Sikapnya sih sok cuek, tapi sebenarnya dadanya berdebar-debar. Budi bahkan merasa wajahnya agak menghangat, padahal pagi berhujan ini lumayan dingin.
“Sudah sih, tapi aku bingung yang nomor empat...,” jawab Ani, tetap dengan datar.
“Wah, asyik... Aku boleh pinjam gak?” seru Budi gembira. Seruannya mengisi kelas yang baru berisi beberapa murid saja.
“Yah, jangan dooong... Buat PR sendiri, kenapa sih?” Kali ini Ani melirik Budi, bahkan sedikit mendelik. Dia memang pintar, tapi pelit meminjamkan pekerjaannya. Bukannya pelit sih, tapi Ani merasa tiap murid harus berusaha mengerjakan PR-nya sendiri, kalau tidak kapan pintarnya?
“Ah, kamu nggak asyik ah, anaknya! Hei, Cici sudah buat PR fisika, belum?” Budi cemberut dan melorot turun dari meja Ani, langsung mengalihkan perhatiannya pada Cici yang baru masuk kelas.
“Belum tuh...,” jawab Cici santai.
“Wah, kalian payah ah, aku mau ke kantin aja, sarapan!” Budi berbalik dan berjalan ke pintu kelas.
“Hei, ikut dooong!” Tak diduga, Ani bangkit dari bangkunya dan mengejar Budi.

Percakapan yang sudah ditambah-tambahi ini lebih “seru”, kan? Pembaca bisa menangkap bahwa si Budi sebenarnya mungkin ada hati pada si Ani, dan mungkin perasaan itu tidak bertepuk sebelah tangan. Nuansa kelas di pagi hari saat murid-murid mulai berdatangan lumayan ada, dan perasaan-perasaan tokoh-tokoh juga digambarkan.

Saya bisa membayangkan dalam alam pikiran pengarang percakapan Ani dan Budi ini memang terjadi begitu saja. Pagi yang hujan, suasana kelas yang masih sepi, semua mengabur menjadi latar belakang, yang penting adalah dua tokoh utama si Ani dan si Budi. Dalam alam pikiran pengarang, Ani dan Budi berbalasan kata-kata secara langsung. Dan perasaan si Budi yang berdebar-debar, wah, itu kan sudah jelas banget... (dalam pikiran si pengarang).

Semua itu memang sudah jelas bagi si pengarang, tapi belum tentu pembaca bisa menangkap dan mengertinya.

Memang perlu latihan dan latihan serta kejelian untuk menangkap “bolong” ini. Selain itu, tentu saja pembaca awal sangat membantu untuk memberitahu di mana saja letak “bolong” pada naskah. Orang-orang dekat biasanya mau menyediakan waktu untuk menjadi pembaca awal. Mintalah para pembaca awal ini untuk mencermati “bolong” seperti ini.

Semoga obrolan pagi ini lumayan berguna ya... Sampai nanti!