Rabu, 30 November 2011

Day 2 Belitung November 2011

Bagian 2 dari 4 tulisan

Day 2: It's Islands Hoping Day

Mengikuti saran Pak Neli, kami menukar itinerary LP hari ini dengan islands hoping. Hari cerah, langit biru agak berawan. Kami kembali ke Tj. Kelayang, spot pemberangkatan untuk islands hoping. Pak Neli sudah memesankan kapal untuk kami sedari kemarin sore, tapi rupanya kami harus menunggu agak lama demi life jacket kecil untuk anak saya. Bersama kami satu per satu rombongan berangkat, ada sekitar 5 rombongan yang menjelajah laut hari itu. Ada yang bersama anak-anak kecil juga. Ada juga yang membawa ibu hamil 7 bulan!

Akhirnya si life jacket datang, dan kapal kami pun menepi. Kami diperkenalkan dengan Pak Taufik yang akan memandu perjalanan kami hari itu. Masuk kapal kayu bermesin diesel itu, anak saya langsung duduk di dasar kapal, berpegangan erat-erat pada bangku kayunya. Duileh, takut nih anak. Masalahnya, mamanya juga jeri! Hahaha... membayangkan mengarung laut dengan kapal kayu yang kayaknya ringkih aja udah sakit perut, apalagi melakukannya sendiri! Waktu naik tangga kayu ke atas kapal saja kapal sudah goyang-goyang teterpa ombak... Oh, no! Saya ikut duduk di dasar kapal dan berpegangan pada bangku dudukan. Kayaknya yang tetap semangat '45 cuma si tante... hehehe... Kapal mundur untuk keluar dari pantai, lalu maju. Wah, salah arah nih duduknya... Saya dan si kecil beringsut memutar pantat dan haluan duduk. Yak, brangkat!

Pertama-tama, kapal dilewatkan pada Batu Burung. Senyum! Cekrik! Senyum! Cekrik! Tante sibuk foto-foto, bahkan minta tolong difotokan oleh saya. Sambil mesem-mesem sakit perut takut, saya fotokan juga. Sambil tetap berpegangan erat-erat, saya mengagumi kebesaran Tuhan, kok bisa ya batu-batu sebesar-besar itu tumpuk-menumpuk kayak begitu? Ajaib banget!

Dan kapal merapat ke pulau pertama; Babi Kecil. “Di sini ngapain nih, Pak?” tanya saya setelah susah payah turun ke pantai dari kapal yang oleng. “Foto-foto!” kata Pak Taufik santai. Di sini mulai terungkaplah rahasia Pak Taufik! Rupanya dia sering membawa rombongan fotografer, jadinya dia tahu spot-spot cantik untuk mengambil foto. Bukan hanya itu, rupanya dia piawai megang kamera. Kamera profesional saja pernah dipegangnya, jadi gak usah tanya kamera pocket digital kami... Ah, yang begini mah gampiiilll... Gitu kali, katanya... hehehe... Tante langsung memanfaatkan keterampilan plus-plus Pak Taufik ini dong untuk mengabadikan pemandangan yang hular bizaza itu. Anak saya? Jongkok di pasir lagi dong ah!

Kami naik kapal lagi untuk pindah ke Pulau Kepayang. Si kecil mulai santai dan tidak lagi berpegangan erat-erat. Mamanya masih. Turun di Pulau Kepayang, kami melihat peradaban... hehehe... Maksudnya, di situ ada warung/restoran sederhana, fasilitas outbound, tempat bilas/WC yang bersih dan sama sekali gak bau (Catatan: rata-rata WC di Belitung ini bersih dan gak bau loh! Ini penting banget! Kecuali yang di Pantai Tanjung Pendam, itu bener-bener hoeeeek dah!)). Di pulau ini juga disediakan cottage untuk penginapan, dan ada tempat penangkaran penyunya juga. Batu-batunya juga besar-besar dan cantik-cantik. Tante foto-foto lagi, sambil menggandeng Pak Taufik sebagai fotografer dadakan. Anak saya jongkok lagi di pasir, sementara saya agak garing jomblo soalnya bingung mau ngapain. Akhirnya, saya foto-foto juga pemandangannya (habis kalo foto diri sendiri akhirnya gayanya itu lagi-itu lagi), ikut bikin istana pasir, dan sekali-sekali masukin kaki ke ombak. Air di antara batu-batunya agak dalam (boong ding, palingan sepaha) jadi saya cuma berani maju selangkah-dua asal airnya kena mata kaki gitu... hehehe...

Setelah dengan susah payah membujuk si kecil supaya mau pindah pulau dan membilas serta menggantikan baju dia, kami kembali naik kapal ke Pulau Lengkuas. Pulau Lengkuas pasirnya juga putih dan cantik, sayangnya agak kotor. Di pulau bermercusuar ini juga kami menyaksikan tragedi: rombongan si ibu hamil 7 bulan itu meninggalkan berbotol-botol Aqua yang masih setengah/tiga perempat berisi di atas meja yang disediakan di depan mercusuar. Padahal tempat sampah ada di samping meja itu!!! Botol-botol masih penuh air itu rasanya eman-eman banget! Minta ampun deh orang Indonesia! Akhirnya daripada eman-eman air bersih itu dan tidak ada yang memasukkannya ke tempat sampah, air itu kami gunakan untuk cuci tangan-kaki seusai makan. Botol air yang isinya sudah habis kami gunakan kami masukkan tong sampah. Apa susahnya sih jalan ke tong sampah? Huhuhu... menangiiiiis... Anak saya kembali jongkok ngorek-ngorek pasir, padahal meski putih pasir di P. Lengkuas ini kotor penuh sampah puntung rokok, potongan plastik dll. Kegembiraan si kecil makin bertambah saat teman-temannya kucing-kucing datang. Sayangnya di pulau ini tidak ada warung seperti di P. Kepayang tadi. Jadi kami harus puas dengan pop mie. (Sebenarnya tadi pagi sebelum brangkat, kami stop by di warung nasi uduk rekomendasi Pak Neli, sayangnya nasinya habis! Tinggal lauk-pauk. Terpaksalah kami hanya beli arem-arem dan sate ati-ampla serta sate telur puyuh di sana.) Usai sekadar mengganjal perut, Tante keliling-keliling pulau untuk foto-foto, sementara saya menemani si kecil. Lalu gantian, Tante menemani si kecil, dan saya keliling-keliling pulau. Ada beberapa plang penunjuk jalan seperti: kuburan Belanda, kolam bidadari, rumah tua, penangkaran penyu. Saya ikuti plang arah ke rumah tua. Rumah itu sebenarnya tidak tampak tua sama sekali karena sepertinya baru dicat. Tapi pemandangan di depan rumah... Ya Tuhanku dan Allahku, sungguh sepotong surga di bumi! Indah, indah, indah, dan damai. Langsung saya ceprat-cepret di sana. Pantai berpasir putih bersambungan dengan lapangan berumput hijau dengan aksen pohon kelapa menjulang. Luar biasa! Yap, tapi agak creepy juga sih karena sendirian, jadi usai ceprat-cepret, saya langsung kabuuuurrr! Saya masuk ke dalam mercusuar buatan tahun 1882 yang menjulang 18 tingkat. Naik sampai lantai 1, saya langsung turun lagi, baru satu lantai saja rasanya kok tinggi amat yak? Tapi, pasti seru kalau datang ke sana bawa Bos Ade Purnama dari Sahabat Museum. Pasti ceritanya banyak, dan kehidupan zaman Belanda di P. Lengkuas ini bisa terbayangkan lebih semarak.

Lanjut ke Pulau Burung. Sekali ini kami serasa punya pulau pribadi. Anak saya langsung duduk (bukan jongkok lagi) di pasir putih, dekat speedboat parkir dan sibuk dengan perangkat main pasirnya. Saya dan Tante menggunakan bakat terpendam Pak Taufik sebagai fotografer dadakan dan foto lompat-lompatan. Setelahnya, Tante ikut Pak Taufik melihat rumah pemilik pulau (yap, pulau yang ini memang pulau milik pribadi), sementara saya ikut main pasir dan celup-celup kaki. Lumayan lama juga kami di pulau “pribadi” yang ini. Di depan pantai tempat kami ngejogrok di pasir terdapat beberapa keramba. Sebetulnya saya tertarik juga ke sana. Tapi kata Pak Taufik, keramba ikan itu dijaga anjing galak. Terbukti saat ada rombongan kapal yang merapat di sana, gonggongan anjing langsung bergema.

Akhirnya, naik kapal lagi. Oya, dari yang tadinya pegangan erat-erat, ibu dan anak sekarang sudah jadi anak laut. Mamanya sudah naik pangkat dari dasar kapal ke bangku kayu, sementara anaknya berkembang lebih cepat dengan menolak pakai life jacket. Ealah... Selain itu, yang patut diceritakan dan sering dilupakan adalah perjuangan si nakoda kapal. Tiap merapat di suatu pulau, Pak Taufik pertama-tama melempar jangkar di buritan. Jangkar nyangkut, mesin dipelankan. Lunas kapal mencium pasir. Byur! Pak Taufik lompat ke air, meraih jangkar haluan, jangkar dipancangkan ke pasir, kapal ditarik sampai lunasnya lebih masuk pasir. Pak Taufik lari lagi ke belakang, menyetir kapal sampai pas berhenti, lari lagi ke depan menurunkan tangga. Ngeliatnya aja capek, gimana ngelakuinnya? Apalagi seharian bisa ke 5-6 pulau coba... Oya, pas di Pulau Babi Kecil, kapal sempat kabur terbawa ombak. Tentu Pak Taufik ikut kabur mengejar kapalnya. Sementara saya sakit perut membayangkan yang tidak-tidak karena ransel berisi bekal (dan duit!!!) ada di kapal. Tapi, puji Tuhan, orang Belitung memang jujur-jujur, Pak Taufik ya balik lagi dong ah dan mengulangi lagi proses lempar jangkar, tarik kapal, dll dsb itu.

Nah, kali ini kapal membawa kami ke pulau pasir. Tempat ini lenyap bila air pasang, dan muncul bila air surut. Di gundukan pasir kecil ini merapat 3 kapal dan turun sekitar 20an turis---dan beberapa kapal lain yang datang dan pergi tanpa menurunkan penumpangnya. Semua berfoto narsis, juga berfoto sama bintang laut. Patrick di sini warnanya pink kecokelatan dengan tanduk-tanduk cokelat tua kehitaman. Baru kali ini saya lihat bintang laut begitu loh. Cantik banget. Atraksi paling afdol di pulau kecil ini adalah memiliki laut dan menikmati ombak. Kita bisa jalan ke tengah laut sampai cukup jauh karena pasirnya datar banget. Bisa juga cuma masuk laut beberapa langkah terus jongkok, duduk, atau tengkurap. Byur! Ombak menerpa dari kanan-kiri depan-belakang! Seru banget! Ombaknya pun nggak gede, jadi rasanya aman-aman saja. Saya dan anak saya sibuk main ombak. Sudahlah kami basah kuyup gak keruan. Rasanya ogah deh naik lagi begitu sudah masuk air. Rombongan lain pada ada yang snorkeling di spot ini. Sebetulnya Pak Neli dan Pak Taufik mengusulkan supaya kami snorkeling juga. Tapi saya ogah, takut sama air dalam soalnya... hehehe... jadi sejak dari Tj. Kelayang pun saya sudah bilang saya ogah snorkeling. Satu per satu kapal beranjak pergi. Kapal kami termasuk yang terakhir pergi. Saya sempat melihat rombongan yang snorkeling dan full berkostum selam memunguti lagi bintang-bintang laut yang dipakai foto-foto narsis tadi. Mereka dengan panduan seorang bapak berkaus seragam (gak tau seragam apa, pokoknya kayak seragam aja) memasukkan bintang-bintang laut itu ke air, menekan-nekan sana-sini. Mengetes apakah si bintang laut mengapung atau tenggelam. Setelah tenggelam, si bintang laut dilempar jauh-jauh ke tengah laut. Rupanya bintang laut itu kemasukan angin saat dipegang-pegang dan berada di luar air. Akibatnya mereka tidak bisa tenggelam ke dasar laut, melainkan mengapung menantikan kematian. Ah, kasihan... Selalu alam tak berdosa harus jadi korban manusia.

Pindah dari pulau pasir, kami singgah di Pulau Kelayang. Di sana, kami hanya foto-foto dan main air lagi. Kami bahkan tidak berusaha menjelajah masuk hutan yang memagari teluk berpasir putih tempat kapal kami merapat. Tidak lama, rembang petang dan mendung makin menggantung, kami buru-buru kembali ke kapal untuk menuju pulang.

Kembali ke Tj. Kelayang, si kecil kembali jongkok di pasir, ogah disuruh berbilas. Hmm... dasar anak-anak, kalau sudah ketemu kesukaannya saja, sulit sekali bergeming. Akhirnya kami berbilas juga. Tersedia kamar bilas dan wc sederhana yang relatif bersih dan tidak bau, tapi airnya berwarna merah meski tawar. Nafsu berbilas jadi agak lenyap. Dengan pikiran akan mandi di hotel saja, kami membersihkan diri sekadarnya. Cuma si kecil yang bersabun, itu pun tidak keramas.

Usai berbilas dan ganti pakaian, Tante menyambangi kios sewa perahu untuk membayar sewa. “Pak, mau bayar kapal pesanan Pak Neli,” kata si tante. “Hah? Siapa, Bu?” tanya bapak di kios. “Pak Neli,” tegas si tante. “Oh, gak papa, Bu. Dia senang kok dikira laki, pasti nanti dia bakal bangga deh,” kata si bapak sambil senyum-senyum. Haaa... langsung si tante merasa nggak enak. Di mobil, Tante langsung meng-SMS saya---emang deh, sekarang zamannya SMS-an, bukan tuker-tukeran potongan kertas kecil lagi... hehehe---”the driver is female,” bunyi pesan singkatnya. Saya mesem-mesem saja. Jadi “Pak” Neli berganti menjadi “Kak” Neli deh... hehehe...

Kami kembali ke Tj. Tinggi untuk makan seafood. Kami memesan gangan kepala ikan ketarap---hidangan khas Belitung yang bentuknya seperti ikan masak nanas, cumi bakar (soalnya saya ngiler ngeliat pesanan orang di P.Lengkuas siangnya), sayur genjer, dan ikan terisi goreng kering. Gangannya ternyata pedas, jadi saya kurang suka. Cumi bakarnya enak tapi agak biasa aja. Ikan terisi goreng keringnya yang wokeh banget. Sayur genjer cah terasinya juga oke banget. All in all meskipun diawali dengan lapar sampai kalap, ternyata hidangan itu terlalu banyak untuk dihabiskan 3 dewasa dan 1 anak. Lauk yang sisa pun dibungkus dan dibawa pulang ke hotel.

Si kecil lelap di mobil dan tidak terbangun lagi sampai esok paginya. Yang dewasa mandi lagi, cuci baju, lalu leyeh-leyeh. Saya ngemil cumi bakar sambil nonton TV, sebelum akhirnya bergabung dengan alam mimpi.

Tidak ada komentar: