Minggu, 29 Januari 2012

Just Keep Swimming!

Just keep swimming! Just keep swimming!” Itu kata Dory si ikan Napoleon dalam film “Finding Nemo”. Pernah nonton, kan? Dalam film itu Dory menyemangati Marlin yang selalu pesimis dan punya aura “Gue pasti gagal! Gue pasti gagal!” Intinya nyanyian si Dory, ayo, jangan patah semangat, jangan berhenti, terus lakukan!

Petuah si Dory bisa juga diaplikasikan ke kegiatan menulis (dan banyak hal lain dalam hidup ini); jangan berhenti, terus lakukan, jangan patah semangat! Dalam hal menulis, just keep writing menjadi jauh lebih penting daripada sekadar membakar semangat kita, para penulis. Just keep writing membuat kita jadi semakin luwes, ide-ide kita semakin berkembang dan bermunculan, pilihan kata kita juga jadi makin variatif.

So, luangkan waktu untuk menulis tiap hari! Jangan malas! Jangan malu! Disiplin! Disiplin! Disiplin! (Sejujurnya, ini teriakan-teriakan untuk diri sendiri.)

Contoh paling mudah dari kegagalan menulis sedikit setiap harinya adalah... ta-daaa... Saya sendiri. Tentu saja sebagai ibu rumah tangga banyak urusan, saya ya... banyak urusan yang membuat saya jadi bisa mencari-cari alasan untuk tidak menulis, misalnya... anak rewel, anak merebut komputer, anak minta ditemenin, setelah anak tidur, ibunya capek, ibunya ngantuk, saat nemenin tidur ikut ketiduran dll dsb dst.

Sama seperti banyak hal lain di dunia ini, alasan-alasan itu bisa dinulifikasikan asalkan ada niat dan semangat untuk melakukannya. Argh.

So, step one: niat untuk membuang semua alasan dan mulai menulis.

Step two: memilih media menulis. Bagi saya mudah, saya sudah punya blog ini. Jadi tinggal mendisiplinkan diri untuk mengisinya dengan tulisan. Bagi orang lain bisa saja dia memilih buku tulis, diary cantik, atau ketak-ketik di komputernya, baik di-share dengan orang lain ataupun tidak. Media sosial seperti facebook atau twitter bisa membantu juga. Tapi saya pribadi merasa twitter tidak membantu seseorang menjadi penulis, karena ruang yang disediakannya hanya cukup untuk lontaran pendapat.

Step three: mengisi media itu dengan tulisan. Mulailah kita menghadapi masalah pertama... Mau nulis apa? Semua orang yang mulai menulis pasti menghadapi ini. Mau dia itu penulis andal dan berbakat, mau dia penulis pemula. Maka muncullah pertanyaan standar bagi para pengarang: Idenya datang dari mana? Dan jawaban standar (tapi benar) pun muncul: dari mana-mana...

Mind mapping seperti yang diajarkan oleh Tony Buzan sangat membantu. Sayang saya agak gaptek sehingga tidak bisa memasang gambarnya di sini, tapi moga-moga saya bisa menjelaskan dengan cukup baik. Mind mapping seperti brain storming, menuliskan segala hal yang berkaitan dengan topik yang ingin kita tulis, tetapi dengan lebih rapi. Misalnya kita ingin menulis soal kamar tidur, apa yang muncul dalam kepala kita saat mendengar kata kamar tidur? Tempat tidur, lemari, nakas. Apa yang terpikir saat mendengar kata tempat tidur? Bantal, seprai, kasurnya latex atau kapuk, letaknya di tengah ruangan atau dekat jendela, ukurannya dobel atau singel, pencahayaan yang mengenai tempat tidur itu terang atau remang-remang. Apa yang terpikir saat mendengar kata bantal? Jumlahnya berapa, sarung bantalnya motifnya apa... Dst dst. Itu baru satu topik kamar tidur (tempat tidur) yang dipecah-pecah. Nah, bayangkan betapa banyak yang bisa “dipecah-pecah” lagi dari topik kamar tidur. Jadi, teknik mind map adalah salah satu teknik menarik untuk mencari ide.

Just keep writing juga membuat kita lebih luwes dalam mencari ide. Soalnya begini, semakin banyak kita menulis, semakin banyak kita menyinggung berbagai topik, semakin luas kita bereksplorasi dengan pengetahuan kita, otomatis makin banyak juga ide yang muncul. Itulah gunanya latihan dan tidak berhenti menulis.

So, mari kita kembali ke step one: niat.

Oke, niat saja tidak cukup. Untuk membakar niat dan semangat kita, terus terang harus ada semacam reward. Sesungguhnya, bisa membuat tulisan yang baik itu sudah membawa kepuasan yang bisa menjadi reward bagi kita. Tapi bisa juga kita menciptakan reward yang lain. Salah satu reward yang menyenangkan bagi saya adalah... ternyata tulisan saya dibaca orang! Yay! Ada follower blog saya! Yay! Biarpun masih sedikit, gak papa... tapi ya, itu salah satu contoh reward.

So... ayo rajin... ayo rajin... disiplin... jangan setengah-setengah... AYO!

Kamis, 19 Januari 2012

Blink!

Awal Desember tahun lalu, saya mendapat kejutan yang lumayan membuat ge-er: Blink! Clothes meminta saya jadi pembicara dalam acara launching produknya. Idiiiih... Antara mau-mau-tak-mau, ya ge-er ya malu. Ceritanya saya diminta kesediaannya ini gara-gara buku-buku saya: Traveling with Tots dan Traveling with Kids, temanya cocok dengan produk yang akan mereka launching yaitu pakaian khusus traveling untuk ibu dan anak putri balita.

Sempat bingung nih, apa ya yang mau dibicarakan dalam kesempatan itu? Akhirnya saya memilih memberi ringkasan isi buku saya Traveling with Tots, mengingat audience yang dituju adalah ibu beranak balita. Presentasi yang coba saya buat tentu payah banget, mengingat ini pertama kalinya membuat presentasi dan menggunakan program power point (yang sebenarnya sangat mudah itu), sekaligus nyaris tidak mungkin mereka-reka poin-poin yang keren juga ilustrasi foto yang tepat saat ada kurcaci yang selalu teriak, “Ma, mau liat Lego City!!!” setiap kali laptop saya keluar dari peraduannya. Anyway, syukurlah punya adik yang sudah sering berpresentasi, sehingga presentasi bapuk saya akhirnya dipercantik dengan bantuannya.

Singkat cerita, setelah beberapa kali ngomong sendiri kayak orang gila, pura-puranya di depan audience, berangkatlah saya ke venue di Birdcage, Wijaya 9. OMG! Taunya tempat ini dulu bekas TK saya! Sungguh, dulu saya menjalani satu tahun ajaran TK kecil (dulu TK B) di sana! Saya langsung memuaskan hasrat masa kecil saya untuk naik hingga ke lantai 3 bangunan ini. Dulu saya selalu merasa lantai 3 yang pas berada di bawah atap miring ini pasti cantik banget. Katanya dulu ada guru yang tingal di lantai 3 ini. Saya membayangkan ruang tinggalnya dihias dengan renda-renda dan jendela kayu menjorok seperti rumah-rumah di pegunungan Swiss (hint: bacaan masa kecil, Heidi). Tentu sekarang lantai 3 ini juga difungsikan sebagai restoran.

Anyway, sama pentingnya dengan memeriksa khayalan masa kecil, saya diperkenalkan juga dengan beberapa jurnalis dari dunia maya maupun nyata: Ninit Yunita dari Urban Mama, Karmenita dari Mom's Guide, dan Inge dari V Radio. Senangnya dapat teman baru, membangun jejaring itu kan perlu...

Awalnya pengunjung acara kok sepi banget. Sudah ngobrol ngalor-ngidul pun acara tidak dimulai-mulai, sehingga kantuk mulai menyerang. Tapi, ternyata perlahan pengunjung berdatangan. Para mommy muda yang classy beserta para anak kecil yang sering sekali digodain sama kedua MC.

Akhirnya, tibalah giliran saya maju. Setelah berdoa-doa, saya pun duduk di panggung dan mulai bla-bla-bla. Kedua MC yang sebenarnya adalah dua pemuda yang benar-benar muda dan pasti belum pada punya anak, sangat membantu dengan pertanyaan-pertanyaan dan komentar-komentar sepanjang saya presentasi. Lucu juga sih, karena sebelumnya yang ada di pikiran saya adalah MC-nya bakalan mami-mami juga. Tapi, poinnya adalah mereka sangat membantu menghidupkan presentasi saya, dan I thank them for that.

Lucunya, mungkin saking gugupnya (meskipun rasanya gak gugup-gugup amat juga sih) atau saking kakunya saya, justru ada beberapa hal yang ingin saya bagi malah nggak kesampean. Misalnya tip soal kantong plastik saat packing itu. Agak sayang juga ya, soalnya itu tip yang justru tidak ada di buku, dan baru saya dapatkan belakangan.

MC juga mengarahkan supaya saya sedikit memaparkan dan menjelaskan bedanya jalan-jalan sama balita dan jalan-jalan sama anak SD, which is quite different loh!

So, all in all, rasanya acara ini berjalan cukup baik. Sayangnya karena waktu mulainya yang agak molor, saya memilih untuk pulang duluan seusai tampil karena merasa sudah meninggalkan anak terlalu lama. Tapi, melihat dari media online yang meliput, sepertinya acara berlangsung lancar sampai akhir.

Kalau ada yang meminta jadi pembicara lagi... hmm... ayoooo... (Lho?)

Senin, 16 Januari 2012

Do the Talk

Haaaaiii... Sudah lama ya saya tidak sempat menulis blog, ada beberapa pekerjaan kejar tayang selain tentu saja liburan akhir tahun (Nggak... saya nggak ke mana-mana, bahkan staycation pun gagal memberi suatu pengalaman yang lumayan menarik, karena kami hanya ke mal, ke mal, dan ke mal lagi... Very not inspiring as a self-claimed travel writer). Selama masa-masa tidak sempat menulis itu, sebenarnya ada beberapa pengalaman yang ingin saya share di blog ini. Salah satunya adalah MENULIS PERCAKAPAN.

Hah?

Betul. Masalahnya begini, kemarin-kemarin ini saya kebetulan mengedit naskah novel pengarang Indonesia. Kebetulan naskah ini punya masalah yang sama dengan banyak naskah lain yang pernah saya tangani: adegan percakapannya parah banget. Maksudnya parah bukan percakapannya bolong-bolong, atau tokoh A bertanya tokoh B tidak menjawab, tapi nyaris tidak ada keterangan apa pun tentang nuansa, situasi, latar belakang, perasaan-perasaan si tokoh-tokoh yang terlibat dalam percakapan itu. Jadi percakapan dalam novel hanya terdiri atas kalimat-kalimat dalam tanda petik yang sambung-menyambung berderetan ke bawah. Ini menyebalkan saya sebagai editor, karena saya jadi harus memoles banyak sekali (atau mengembalikan naskah ke pengarang, yang artinya memperlama waktu penerbitan).

Masih bingung? Begini contohnya (contoh ini murni karangan saya, bukan mengutip dari novel mana pun):
Ani masuk kelas dan meletakkan tasnya di bangku. Budi mengekor di belakangnya.
“Hai, Ani!”
“Hai, Budi. Selamat pagi...”
“Kamu sudah buat PR fisika belum?”
“Sudah sih, tapi aku bingung yang nomor empat...”
“Wah, asyik... Aku boleh pinjam gak?”
“Yah, jangan dooong... Buat PR sendiri, kenapa sih?”
“Ah, kamu nggak asyik ah, anaknya! Hei, Cici sudah buat PR fisika, belum?”
“Belum tuh...”
“Wah, kalian payah ah, aku mau ke kantin aja, sarapan!”
“Hei, ikut dooong!”

Nah, setelah “Hai, Ani” dan “Hai, Budi” sebenarnya jelas nggak sih siapa yang ngomong? Nggak jelas, kan... Apalagi setelah tokoh ketiga, si Cici, memasuki arena percakapan dan percakapan menjadi panjang. Gawat, gawat, gawat. Semakin nggak jelas. Itu masih percakapan pendek, bagaimana percakapan dalam novel yang sering kali panjangnya berhalaman-halaman?

Pengarang sering kali merasa sudah cukup memaparkan dan menjelaskan adegan-adegan yang ada di dalam kepalanya. Padahal belum cukup. Pembaca bukanlah pengarang, pembaca tidak tinggal dalam kepala pengarang, dan pembaca buku bukanlah pembaca pikiran. Dengan demikian pengarang yang ingin naskahnya dinikmati pembaca punya kewajiban untuk menggambarkan sejelas mungkin adegan-adegan dan percakapan-percakapan dalam novelnya. Pendeknya, jangan membuat bingung pembaca. Bermurah-hatilah dengan kata-kata dan huruf-huruf, buatlah deskripsi sebaik mungkin dan sejelas mungkin. Ajaklah pembaca masuk ke alam pikiranmu, wahai Pengarang! Ajak mereka ikut merasakan terik matahari atau sepoi angin, buat mereka ikut merasakan kemarahan dan kekesalan si tokoh, buat mereka juga tersipu-sipu saat si tokoh melirik pujaan hatinya.

Anyway, coba bandingkan adegan si Ani, si Budi, dan si Cici kalau sudah dipermak seperti ini:
Ani masuk kelas dan meletakkan tasnya di bangku. Budi mengekor di belakangnya.
“Hai, Ani!” sapa Budi dengan mata berbinar nakal.
“Hai, Budi. Selamat pagi...,” jawab Ani sambil duduk di bangkunya. Wajahnya datar-datar saja.
“Kamu sudah buat PR fisika belum?” tanya Budi sambil nangkring di meja Ani. Sikapnya sih sok cuek, tapi sebenarnya dadanya berdebar-debar. Budi bahkan merasa wajahnya agak menghangat, padahal pagi berhujan ini lumayan dingin.
“Sudah sih, tapi aku bingung yang nomor empat...,” jawab Ani, tetap dengan datar.
“Wah, asyik... Aku boleh pinjam gak?” seru Budi gembira. Seruannya mengisi kelas yang baru berisi beberapa murid saja.
“Yah, jangan dooong... Buat PR sendiri, kenapa sih?” Kali ini Ani melirik Budi, bahkan sedikit mendelik. Dia memang pintar, tapi pelit meminjamkan pekerjaannya. Bukannya pelit sih, tapi Ani merasa tiap murid harus berusaha mengerjakan PR-nya sendiri, kalau tidak kapan pintarnya?
“Ah, kamu nggak asyik ah, anaknya! Hei, Cici sudah buat PR fisika, belum?” Budi cemberut dan melorot turun dari meja Ani, langsung mengalihkan perhatiannya pada Cici yang baru masuk kelas.
“Belum tuh...,” jawab Cici santai.
“Wah, kalian payah ah, aku mau ke kantin aja, sarapan!” Budi berbalik dan berjalan ke pintu kelas.
“Hei, ikut dooong!” Tak diduga, Ani bangkit dari bangkunya dan mengejar Budi.

Percakapan yang sudah ditambah-tambahi ini lebih “seru”, kan? Pembaca bisa menangkap bahwa si Budi sebenarnya mungkin ada hati pada si Ani, dan mungkin perasaan itu tidak bertepuk sebelah tangan. Nuansa kelas di pagi hari saat murid-murid mulai berdatangan lumayan ada, dan perasaan-perasaan tokoh-tokoh juga digambarkan.

Saya bisa membayangkan dalam alam pikiran pengarang percakapan Ani dan Budi ini memang terjadi begitu saja. Pagi yang hujan, suasana kelas yang masih sepi, semua mengabur menjadi latar belakang, yang penting adalah dua tokoh utama si Ani dan si Budi. Dalam alam pikiran pengarang, Ani dan Budi berbalasan kata-kata secara langsung. Dan perasaan si Budi yang berdebar-debar, wah, itu kan sudah jelas banget... (dalam pikiran si pengarang).

Semua itu memang sudah jelas bagi si pengarang, tapi belum tentu pembaca bisa menangkap dan mengertinya.

Memang perlu latihan dan latihan serta kejelian untuk menangkap “bolong” ini. Selain itu, tentu saja pembaca awal sangat membantu untuk memberitahu di mana saja letak “bolong” pada naskah. Orang-orang dekat biasanya mau menyediakan waktu untuk menjadi pembaca awal. Mintalah para pembaca awal ini untuk mencermati “bolong” seperti ini.

Semoga obrolan pagi ini lumayan berguna ya... Sampai nanti!