Sabtu, 29 November 2008

Kiriman Naskah

Salah satu pertanyaan yang paling sering saya jawab di milis maupun di e-mail kantor adalah: “Apa persyaratan mengirim naskah novel ke GPU?”

Oke, mari kita bahas persyaratan umumnya:
1.naskah novel remaja panjangnya sekitar 100-150 halaman, novel dewasa 150-200 halaman
2.ukuran kertas A4
3.ketik komputer rapi dengan spasi 1,5
4.jenis font yang mudah dibaca, misalnya Times New Roman ukuran 12
5.sertakan data diri
6.sertakan sinopsis
7.kirim ke alamat redaksi fiksi GPU yang ada di sampul belakang tiap novelnya

Tapi pukul rata setiap bulan kira-kira ada sekitar 100 naskah yang masuk ke meja sekretariat redaksi. Kalau semuanya—termasuk naskah kamu—berukuran A4, ketik 1.5 spasi, dengan jenis font tersebut di atas, bagaimana mencuri perhatian editor?

Jawabannya jadilah kreatif. Kamu bisa mengirim naskah kamu dalam amplop khusus. Atau kamu bisa menjilid naskah kamu dengan rapi, bukan sekadar dengan lakban hitam. Kamu juga bisa menyertakan desain cover yang lucu. Selain itu tidak usah terpaku pada jenis font yang dianjurkan. Sebenarnya yang dianjurkan adalah font yang enak dibaca, dan font yang enak dibaca bukan hanya Times New Roman ukuran 12 poin.

Tapi bila menjilid dengan ring besi rasanya terlalu mahal, atau mencetak cover desain pribadi terlalu rumit, apa yang bisa kamu lakukan? Sederhana saja sebetulnya. Jadilah penulis yang rapi. Kirimkan naskah yang bersih dari kesalahan ejaan. Bila saat kamu periksa ulang hasil cetakan ternyata masih ada kesalahan, jangan di-tip-ex lalu diperbaiki dengan tulisan tangan, tapi print ulang halaman tersebut. Gunakan printer dengan tinta memadai sehingga hasil cetakannya tegas dan bersih, enak dilihat. Susun semua kelengkapan dengan runut dan rapi. Misalnya, data diri, sinopsis, baru kemudian masuk ke isi novel.

Bila mendesain dan menghias memang bukan sisi kuatmu (tentu saja kalau bisa mendesain, kamu jadi desainer grafis, bukan pengarang), gunakan yang memang menjadi bakatmu untuk mencuri perhatian editor. Tulislah data diri kamu semenarik mungkin. Saya pernah membaca curriculum vitae yang dibuat seolah si penulisnya sedang menjadi terdakwa di pengadilan—kreatif dan menarik sekali, kan? Kadang data diri yang lucu dan menarik (sebutkan saja semua pengalaman kamu terutama yang mendukung novel kamu) sudah membuat “a foot in the door” bagi novel kamu.

Selanjutnya tentu saja sinopsis. Sinopsis pendek sangat penting. Panjangnya sekitar setengah halaman atau 3-5 alinea saja. Buatlah semenarik mungkin. Tokoh-tokoh dan poin-poin penting cerita harus ada. Tunjukkan di mana serunya novel kamu. Saat menulis sinopsis pendek ini, bayangkan si pembaca ada di toko buku yang hiruk-pikuk dengan pilihan beragam buku. Bagaimana cara kamu menariknya untuk membeli buku kamu?

Lalu karena kiriman naskah ini ditujukan untuk dibaca editor, ada baiknya juga kamu sertakan sinopsis panjang. Sinopsis panjang ini isinya lebih mendetail, menguraikan seluruh alur cerita, dan membeberkan rahasianya, tapi panjangnya jangan lebih dari 3 halaman. Jangan membuat si editor belum-belum sudah bosan dengan tulisan yang berpanjang-panjang.

Dan akhirnya, menginjak bagian yang paling penting: naskah. Bila kamu sudah melakukan saran saya di atas, yaitu mengirimkan naskah yang “bersih”, maka secara sekilas tampilan naskah kamu pasti sudah lumayan enak dilihat. Selanjutnya, harap kamu perhatikan bahwa novel biasa menggunakan indent paragraph, bukan hanging. Perhatikan juga kebiasaan penerbit tujuan kamu dalam hal ejaan, bahasa selingkung, gaya penulisan percakapan, dll. Bila kamu sanggup, terapkan gaya penerbit tersebut pada naskah kamu.

Editor pasti lebih senang menilai naskah yang bersih dan menarik, dan dengan begitu tentu saja kans tembusnya naskah kamu untuk diterbitkan jadi lebih besar.

Jadilah Pembaca

Minggu lalu seorang sahabat saya menyatakan dia ingin menulis buku. Tentu saja saya sambut baik keinginan itu, siapa tahu cocok, saya bisa merekomendasikan buku karyanya itu ke kantor, lalu terbit, dan terjadilah yang namanya win-win situation—semua senang.

Maka kami membahas buku yang ingin dia tulis tersebut, yang adalah buku kumpulan resep. Dalam bayangannya, dia ingin membuat buku hard cover ukuran besar, dan memuat sekitar 100 resep. Tapi dia ingin menujukan buku tersebut bagi ibu-ibu muda yang baru menikah dan belajar masak.

Waduh, saya langsung menebak bahwa sahabat saya ini kurang mengenal target market-nya. Sekarang bayangkan dulu buku hard cover berukuran besar yang luks, isinya 100 resep sehingga tentu cukup tebal. Bayangkan harganya. Saya taksir harganya mungkin sekitar Rp100.000.

Setelahnya bayangkan ibu muda yang baru belajar masak. Buku macam apa yang akan dia beli? Mungkin buku tipis yang bisa dilipat dan dibawa ke dapurnya untuk disandarkan di dinding, tempat dia bisa membaca langkah demi langkah memasak yang harus dia lakukan. Mungkin buku yang spesifik membahas jenis masakan tertentu seperti masakan sayuran, masakan ayam, atau masakan sea food. Dan karena dia ibu muda yang mungkin baru menikah dan mungkin keuangan keluarganya belum stabil, maka saya rasa dia akan memilih membeli buku masak yang range harganya sekitar Rp15.000-30.000.

Sekarang apa hubungannya ilustrasi ini dengan judul posting di atas? Kembali ke pemikiran saya bahwa sahabat saya itu tidak mengenal target market-nya. Menurut saya, setiap pengarang harus mengerti target tulisannya. Pengarang novel remaja mesti mengenal dunia remaja. Pengarang novel percintaan harus kenal dunia ibu-ibu atau perempuan dewasa muda yang banyak membeli jenis novel begitu. Pengarang travel writings harus tahu kesukaan para backpacker. Dan sebagainya.

Sebelum mulai menulis, sebaiknya seorang penulis menempatkan diri atau membayangkan dirinya menjadi pembaca buku yang akan ditulisnya itu. Atau okelah, kalau terlalu lama membayang-bayangkan nanti ide tulisannya lenyap. Jadi, oke, buatlah dulu tulisan itu. Tumpahkanlah dulu semua keluar. Setelahnya, sebelum minta pendapat orang terdekat (bukankah pembaca pertama selalu orang-orang terdekat?), coba bayangkan diri kamu jadi pembacanya. Bukan sebagai diri kamu—kamu harus keluar dari diri kamu, harus jadi orang lain (karena pengarang kadang tidak bisa melihat lubang-lubang pada tulisannya sendiri). Bayangkan diri kamu ada di toko buku dan melihat buku karya kamu itu sudah terbit dan dipajang di rak. Apa yang akan kamu lakukan? Apakah kamu akan mengambilnya? Membaca sinopsisnya? Atau... melewatinya begitu saja?

Kalau kira-kira yang terjadi yang terakhir, waks! Pahitnya, lebih baik kamu simpan saja naskah itu. Tapi yang lumayan asem saja, yah, kamu jadi bisa melontarkan pertanyaan, kenapa kira-kira naskah itu jadi naskah yang dilewati? Dari situ mungkin kamu bisa memperbaikinya.

Dari sudut pandang pembaca/pembeli buku, kamu bisa mendapat poin-poin penting bagi naskah kamu. Kamu bisa menelaah ulang apakah tema yang kamu angkat dalam tulisan kamu cukup menarik? Apakah pembaca mendapat keuntungan tertentu setelah membaca karya kamu (tambahan pengetahuan atau kepuasan)? Apakah cover yang kamu bayangkan cukup eye-catching untuk bersaing dengan ribuan atau bahkan jutaan buku lain di toko buku? Apakah sinopsis yang kamu rancang bisa menarik perhatian calon pembaca sehingga mau membeli buku kamu? Bahkan sampai ke hal-hal praktis seperti apakah buku ini nanti akan terlalu tebal sehingga pembaca malas mulai membacanya (meskipun Twilight Saga sudah begitu ngetop, salah satu teman tetap malas membacanya karena melihat ketebalannya), apakah kamu bisa minta pada penerbit untuk men-setting ukuran khusus sehingga buku kamu gampang dibawa-bawa oleh pembaca? Atau apakah kamu bisa minta jenis kertas khusus sehingga buku kamu ringan bila dibawa atau harganya bisa lebih murah?

Semua ini akan lebih membantu kamu saat mencipta. Kamu jadi punya bayangan yang utuh akan karya akan akan kamu ciptakan, dalam bahasan ini adalah buku yang kamu karang. Kalau kamu punya gambaran yang utuh, kamu akan lebih semangat mengerjakan naskah kamu, dan naskah kamu juga akan lebih mudah tembus ke penerbit. Jadilah pembaca pertama naskah kamu sendiri, bayangkan kekurangan dan kelebihannya, dan selamat berkarya!

Menerjemahkan Tintin

Menerjemahkan Tintin adalah salah satu pekerjaan “me and my big mouth”. Saat kantor saya membeli hak terbit seri legendaris ini, saya dengan pede jaya mengatakan ingin menerjemahkan satu atau dua buku dalam seri ini. Akhirnya saya menerjemahkan 12 dari 24 judul seri ini. Wow, saya sendiri pun heran.

Jelas itu pekerjaan besar yang penuh darah dan air mata. Semangat kerja memang menggebu di awal, tapi sampai tengah semangat itu sudah berubah jadi semangat marah-marah. Ada banyak komplikasi yang merupakan rahasia dapur kantor sehingga tidak bisa dibuka di sini (atau di mana pun), yang akhirnya membuat saya—yang tadinya hanya mau menerjemahkan satu atau dua judul bagian akhir seri—jadi menerjemahkan 6 judul pertama.

Masih bersemangat terutama karena Tintin di Tanah Sovyet dan Tintin di Congo itu judul “baru”--alias belum pernah saya baca, saya mulai mengerjakan terjemahannya dengan lumayan giat. Terjemahan diperiksa teman di kantor dan dikomentari terlalu kaku. Waduh, bagaimana ya? Menurut saya kekakuan itu terjadi karena saya mengikuti gaya bahasa Hergé apa adanya. Tidak bisa dipungkiri bahwa pada judul-judul awal, Tintin memang kaku dan terasa sangat kuno—which is true, karena buku-buku awal itu terbit sekitar tahun 1940-an, sehingga dengan sendirinya gaya berbahasanya sangat berbeda dengan gaya berbahasa kita zaman sekarang.

Masalah berikut muncul saat proses setting. Format Tintin yang diambil (=disuruh ambil) kantor saya adalah format kecil, seukuran buku tulis AA, 18 x 22 cm. Berbeda dengan ukuran aslinya yang sebesar kertas A4. Dengan sendirinya semua kalimat yang saya terjemahkan—apalagi biasanya panjang terjemahan bahasa Indonesia 1,5 kali bahasa aslinya—tidak muat dalam kotak-kotak dan balon-balon percakapan. Editing dalam artian pemenggalan dan penjagalan besar-besaran dilakukan pada terjemahan saya.

Dummy Tintin di Congo siap dan dibawa oleh rekan kantor saya ke Frankfurt Buchmesse 2007 untuk approval dari pemegang hak terbit Tintin. Terjemahan tentu saja tidak dikomentari, karena mereka tidak mengerti bahasa Indonesia, tapi tampilan dikritik habis-habisan. Mulailah perjalanan penuh darah dan air mata demi tampilan gambar, warna, jenis font yang sesuai dengan keinginan pihak sananya. Tapi itu cerita lain.

Selesai dari Frankfurt, dummy Tintin tersebut jatuh ke tangan bos-bos di kantor saya. Terjemahan kembali dikritik terlalu kaku dan tidak lucu. Apa ada yang mau beli kalau begitu? Solusinya, terjemahan Tintin mana pun akan diperiksa oleh setidaknya 3 orang, demi validitas kelucuan terjemahan itu. Gawat betul! Dengan sendirinya, Tintin di Congo yang sebetulnya sudah diseparasi dan siap cetak, kembali diacak-acak, dipotong, ditempel, diganti, dan disesuaikan.

Sementara itu datang kabar kami tidak bisa memakai nama-nama tokoh yang sudah akrab di telinga Indonesia. Hak cipta nama-nama tersebut dipegang oleh penerbit Tintin di Inggris. Sebal. Kami dianjurkan memakai nama-nama asli versi Belgia/Prancis atau menciptakan nama-nama sendiri. Jalan tengahnya, ada nama-nama versi asli yang kami pertahankan (Tintin, Haddock, tentu saja, lalu Dupond-Dupont, Nestor, Abdallah, Alcazar), ada yang kami pelesetkan sedikit dari versi asli (Milo dari Milou), dan ada yang kami ciptakan seperti Lionel Lakmus dari Tryphon Tournesol (kami ambil kesamaan huruf awal. Tournesol bisa berarti kertas lakmus, penanda asam-basa yang menggambarkan keilmiahan karakter ini, tapi bisa juga berarti bunga matahari yang menandakan keceriaan karakter sang profesor), Pietro Maxx (nama di edisi aslinya Seraphin Lampion, yang sepertinya mengacu pada minyak lampu), dan si tukang daging Fillets. Perdebatan menentukan nama-nama ini lumayan panjang juga, karena kami berusaha mencari nama yang terdengar lucu bagi publik Indonesia, tapi tidak akan terdengar aneh bila dikenakan pada karakter Eropa-Belgia/Prancis.

Menginjak Kepiting Bercapit Emas, terjadi diskusi lagi soal umpatan-umpatan Kapten Haddock yang legendaris itu. Jelas kami tidak bisa dan tidak akan menggunakan umpatan terjemahan Indira yang sudah berurat berakar bagi pembaca Indonesia. Kami harus menciptakan umpatan-umpatan kami sendiri. Daftar umpatan pun dibuat. Arti dalam bahasa Prancis dan Inggris dicari, lalu padanan yang paling pas dalam bahasa Indonesia pun diciptakan. Maka lahirlah topan geledek, kepiting kurus kering, dan susu basi.

Dalam proses penerjemahan 12 judul Tintin itu, mau tak mau saya cek dan cek ulang edisi bahasa Prancis dan bahasa Inggris-nya (saya bisa berbahasa Prancis, tapi tetap saya lebih fasih berbahasa Inggris). Bahkan kadang-kadang saya memerlukan mengecek edisi Indira, sekadar membandingkan atau mencegah kesamaan pilihan kata—yang terkadang terpaksa tidak terelakkan juga, terutama untuk balon-balon kata yang singkat seperti jawaban ya/tidak. Ini sih keterlaluan kalau masih harus dibedakan juga.

Mengerjakan seri ini membuat saya membaca semua judul Tintin dalam waktu yang singkat. Saya jadi bisa mengerti perubahan karakter gambar Hergé, perubahan ideologinya, perubahan pola pikirnya seiring dengan perubahan zaman itu sendiri. Hergé ternyata karakter luar biasa yang memiliki wawasan serta ketertarikan pada banyak hal. Kepiawaiannya menyampaikan kritik politik dan wacananya tentang ilmu pengetahuan yang dapat dia paparkan dalam gambar serta humor, sangat hebat.

Perkembangan dan kesamaan karakter tokoh dalam seri ini juga menjadi jelas bagi saya. Sungguh lucu mengingat waktu kecil saya membaca dan membaca ulang buku-buku Tintin tapi saya tidak pernah menyadari detail-detail seperti kesialan Kapten Haddock atau perseteruan Milo dengan si kucing siam. Dulu saya tidak mengamati pola berulang yang ada dalam setiap buku. Saya membaca dan menikmatinya begitu saja.

Bila ditanya buku mana yang paling mudah pengerjaannya, mungkin bagi saya Laut Merah. Sebenarnya saya menyesal dengan penjudulan yang terasa terlalu menggampangkan ini. Di awal pengerjaan seri ini, karena harus memberi laporan pada pihak sana, saya terpaksa memberi judul semua buku, tanpa waktu panjang untuk berpikir atau meneliti lebih lanjut soal latar belakang tiap judul, sehingga saya langsung menempelkan judul Laut Merah bagi buku ini. Sebenarnya waktu kecil buku ini salah satu Tintin favorit saya. Saat mengerjakannya saya baru menyadari betapa rapi dan enak dinikmati gambar-gambarnya, ceritanya pun sangat dalam, kompleks, tapi tetap lucu. Saya merasa terjemahan saya cukup terjaga dan bagus untuk Tintin yang satu ini.

Yang paling gagal? Tentu saja Tintin di Congo. Tintin pertama yang saya kerjakan, dan selain alasan kekakuan bahasa yang sudah saya ajukan di depan tadi, isu yang diangkat dalam buku ini pun kurang saya sukai. Pada kenyataannya, buku ini memang kontroversial dan beberapa toko buku bahkan tidak mau memajangnya di rak buku anak.

Tintin yang sebenarnya ingin saya terjemahkan? Mungkin Tintin di Tibet. Meskipun sebenarnya saya takut pada yeti, tapi Tintin di Tibet adalah salah satu Tintin yang paling indah.

Tintin yang paling saya sukai? Sulit menjawabnya, hampir semua Tintin saya suka. Tapi utamanya karena saya penggemar seri ini sejak kecil, saya lebih menyukai gambarnya daripada ceritanya, sehingga saya lebih menyukai Tintin yang dibuat belakangan. Mungkin kembali lagi ke Laut Merah dan Tintin di Tibet.

Pada akhirnya, Tintin mungkin seri yang akan terus hidup. Orangtua memberikan buku ini untuk dibaca anaknya, dan pada gilirannya si anak akan memberikan pada anaknya lagi. Isu-isu yang diangkat Tintin mungkin mulai ketinggalan zaman sekarang, tapi bila ditempatkan dalam konteks sejarah dan mengingat nilai-nilai universal seperti persahabatan, keadilan, dan keberanian yang dibawanya, Tintin tidak akan pernah mati.

Vanishing Acts~Jodi Picoult

Memiliki anak benar-benar membuat saya bisa menghayati novel ini. Premis dasarnya, “kalau kau harus melanggar hukum demi anakmu, akankah kau melakukannya?” benar-benar jadi pertanyaan besar bagi semua orangtua.

Alkisah Delia Hopkins yang tinggal di New Hampshire punya kehidupan yang sempurna. Dia dibesarkan oleh ayah yang mengasihinya (Andrew), punya tunangan yang pengacara (Eric), punya putri berusia 5 tahun dari tunangannya itu (Sophie), dan sahabat masa kecil yang setia (Fitz). Dia juga punya pekerjaan Search-and-Rescue, mencari orang hilang dengan bantuan anjingnya, Greta.

Tapi saat Delia mempersiapkan pernikahannya, datang kejutan besar yang memorakporandakan hidupnya. Andrew ditahan dengan tuduhan menculik Delia waktu kecil. Awalnya Delia tidak percaya dan meminta Eric membela ayahnya, tapi kemudian terungkap Andrew memang membawa pergi Delia dari ibu kandungnya saat Delia berusia 4 tahun. Apa alasan Andrew? Ibu kandung Delia ternyata pemabuk, dan tidak bisa mengurus dirinya sendiri, apalagi mengurus anak kecil. Tapi apakah itu sudah cukup untuk membawa pergi Delia, memisahkannya dari ibu kandungnya? Pengadilan bergulir di negara bagian Arizona, tempat kejadian perkara. Delia bertemu lagi dengan ibunya, belajar lagi tentang masa lalunya yang hilang, berpusar dalam pertanyaan-pertanyaan, juga mengkaji ulang hubungannya dengan Eric dan Fitz, dan perannya sebagai ibu Sophie. Dia merasa kehilangan dirinya, mempertanyakan jati dirinya yang sesungguhnya.

Metafora-metafora yang digunakan Jodi Picoult dalam novel ini (dan sepertinya pada novel-novelnya yang lain juga) sangat kuat dan menyentuh. Misalnya Delia yang bekerja mencari orang hilang, tapi ternyata dirinya sendiri “hilang”. Lalu pernikahan Delia dan Eric yang terus-menerus tertunda karena ternyata Eric pemabuk—sementara Delia dibawa pergi dari ibunya karena wanita itu pemabuk.

Novel-novel Jodi Picoult selalu menyentuh masalah keluarga dan mempertanyakan hal-hal besar yang bisa terjadi di keseharian kita. Meskipun demikian tema yang diangkatnya sangat tidak umum. Misalkan saja dalam My Sister's Keeper, Jodi Picoult mengangkat tema anak yang dilahirkan untuk menjadi penolong kakaknya yang sakit-sakitan. Ini tema yang sangat khusus, tapi bukannya tidak mungkin terjadi dalam kehidupan nyata. Demikian pula tema dalam Vanishing Acts ini, penculikan oleh orangtua kandung sendiri, yang bukannya mustahil terjadi dalam hidup sehari-hari. Jodi juga sangat piawai meramu emosi-emosi yang mungkin muncul dan dialami oleh tokoh-tokoh ceritanya. Sisi keseharian tema tapi keuletan Jodi mengolahnya ini membuat saya jadi mengaguminya. Inilah pengarang profesional yang bukan sekadar menuliskan ide, tapi mengolah, meriset, mengulik segala sisi ide itu sebelum merangkaikannya menjadi narasi yang indah dan membuai pembacanya.

Senin, 03 November 2008

Why Bella Swann?

Iya nih, why, oh, why? Kalau judul Why Jacob Black? pada posting sebelumnya lebih mengacu ke “Kenapa dia tidak bisa dicintai juga (selain mencintai Edward)?” maka judul pada posting ini lebih ke jeritan hati: “Kok Bella? Kok cewek lenje itu yang jadi pusat cinta Edward dan Jacob? Why, oh, why?

Hayo, ngaku aja, siapa yang nggak (sempat) bete pas baca sikap Bella yang plintat-plintut? Lemah? Selalu butuh diselamatkan? Kebanyakan depresi sendiri? Blahblahblah.

Yang pasti saya sempet kesel banget sama tokoh ini. Ya ampun(g) (saking keselnya sampe pake g), apa cewek ini nggak bisa lebih kuat sedikit ya personafikasinya? Selain itu kenapa Edward (kemudian Jacob) bisa naksir dia? Apa kelebihannya? Plis deh! Cantik kagak, lemah iya...

Atau mungkin kata kuncinya di “lemah” itu tadi? Biar gimanapun, cowok pasti pengin dong jadi pahlawan buat ceweknya. Dus, cewek lemah jadi punya banyak cowok, karena, duh, dia kan lemah jadi butuh diselamatkan!!!

Tapi kata Stephenie Meyer, Bella sedikit-banyak adalah personafikasi dirinya sendiri (baca www.stepheniemeyer.com---jadi kayaknya yang bete sama Bella bukan cuma saya seorang, hehehe). Jadi menurut Meyer, dia pun cewek biasa-biasa aja, tapi pas kuliah di kota kecil (Meyer asalnya tinggal di Houston juga, sama kayak Bella) di bagian tengah Amerika Serikat, tiba-tiba dia jadi pusat perhatian. Bukan karena dia keren dan cantik, tapi karena sebagai anak yang berasal dari kota besar dia punya sesuatu yang “lebih”. Mungkin kalau ngomong versi lokalnya bisa kayak anak Jakarta tiba-tiba pindah ke Jogja ya? (Jadi inget My Friends, My Dreams-nya Ken Terate, Gramedia, 2005---lho kok promosi?)

Berikutnya, Meyer menjustifikasi daya tarik Bella dengan hal-hal supranatural: aromanya yang manis, yang sangat menggelitik nafsu vampir Edward. Tapi rupanya Edward bisa mengendalikan rasa hausnya dan mengubahnya jadi rasa cinta. Kalau saja Meyer tidak sepiawai itu menceritakan kisah cinta mereka, sangat mungkin Twilight cuma akan jadi buku sampah.

Tapi kembali ke masalah cinta yang manusiawi, dalam hal cinta Bella dan Jacob, pepatah Jawa-lah yang terjadi: witing tresna jalaran saka kulina... Saat Edward pergi, Bella menghabiskan banyak waktu bersama Jacob, dan otomatis banyak bersama jadi banyak curhat. Dan dekatlah mereka. Saat dua pribadi sudah terbuka, nggak masalah sama penampilan dll., cinta bisa tumbuh. (Apaan sih? Hihihi...)

Dan kembali ke pribadi Bella yang selalu perlu diselamatkan itu (bahkan dari membuka kado sekalipun!), apa nggak bisa ya Meyer membuat tokoh yang lebih kuat dan menyenangkan? Kuat sungguhan, nggak lenje, nggak plintat-plintut, nggak “sok” kuat?

Satu posting resensi Twilight Saga dari salah satu teman blogger menyebutkan kurang-lebih, “memang begitulah remaja, sikapnya masih selalu berganti-ganti dan suka merengek, dan Meyer bisa menggambarkannya dengan baik.” Hmm... ini jelas melihat tokoh ini dari sudut pandang yang baru. Dan membuat saya jadi ingat salah satu tokoh fiksi remaja yang sempat booming sekitar empat tahun yang lalu: Putri Amelia Mignonette Thermopolis Grimaldi dari Genovia alias Mia Thermopolis alias Putri Mia.

Sempat bergaul sangat akrab dengan Putri Mia, saya tahu betul betapa plin-plan sikapnya, betapa senangnya dia merengek dan mengeluh, betapa kepinginnya dia memiliki segalanya. Tapi di sisi lain, Putri Mia juga (setelah terdesak, mengeluh, pusing, dll, dsb) bisa punya sikap dan menunjukkan kekuatan serta kelebihannya.

Sebetulnya Bella Swann juga begitu. Ada sisi-sisi cerita yang mengungkapkan kekuatan dan keberaniannya. Tapi... (ya, masih ada tapi) tetap saja dia rasanya terlalu “biasa” bagi Edward dan Jacob. At least, bagi saya.