Minggu, 12 Juli 2009

Belajar Mengarang

Cukup sering orang bertanya bagaimana caranya jadi pengarang kepada saya. Pertanyaan yang agak sulit saya jawab, karena saya “menjadi pengarang” dengan learning by doing. Saya tidak pernah ikut kursus, tidak pernah benar-benar hafal apa bedanya deskripsi, narasi, persuasi, dkk itu, dan tidak pernah benar-benar punya guru juga. Tapi secara umum, inilah yang saya lakukan.

1.Fokus
Maksudnya, kamu mau jadi pengarang apa? Zaman sekarang pengarang dan jenisnya tumbuh kayak jamur di musim penghujan (hah, ungkapannya lame banget!) Ada pengarang novel, ada pengarang blog, ada pengarang artikel di koran, ada pengarang cerita sinetron, ada pengarang skenario film. Masing-masingnya masih bercabang lagi, ada pengarang cerita horor, ada pengarang artikel olahraga, ada pengarang artikel perjalanan, ada pengarang ulasan gadget terbaru, and so on, and so on. Banyak banget. Kamu mau yang mana? Tentu kamu harus pilih mana yang paling kamu suka. Mana yang paling kamu kenal. Zaman saya baru lulus SMA dulu, saya suka banget sama musik dan cerita fiksi, jadi saya pengin banget kerja di Rolling Stone, jadi penulis musik yang kerjanya ngeliput konser-konser (imbas kebanyakan baca HAI yang waktu itu asyik banget juga sih.) So, saat itu saya fokus untuk jadi penulis artikel musik. Saya mendengarkan banyak kaset (yap, masih zaman kaset) dan berusaha memberi komentar cerdas bagi apa yang saya dengar. Saya juga banyak membaca soal musik masa kini dan sejarahnya. Blablabla... Pokoknya itu “era musik” dalam hidup saya.

2.Jangan berhenti, terus menulis
Begitu berhenti, mulai lagi akan terasa kaku. Contoh paling jelas yang saat ini saya alami. Mengurus anak membuat saya berhenti nge-blog. Alhasil, tulisan pun menurun dalam hal kualitas dan kuantitasnya.
Sebaliknya, tahun 2005, saat saya mengalami ledakan kreatifitas, tulisan mengalir tiada henti. Cerpen-cerpen saya beberapa berhasil dipublikasikan, meskipun bukan di media kelas satu juga. Artikel-artikel perjalanan saya pun beberapa berhasil nampang di majalah.
Jadi, teruslah menulis, mau itu cuma catatan harian, mau itu tulisan serius. Atau bahkan daftar belanja sekalipun. Menulis membuat kamu berpikir, dan semakin banyak kamu berpikir semakin lancar kamu menulis. Ini efek bola salju yang diinginkan, bukan?

3.Be creative
Lihat ungkapan “jamur di musim penghujan” di poin 1? Basi banget, kan? Mestinya kamu bisa lebih kreatif dari saya dan menciptakan ungkapan baru untuk “banyak banget”. Apa kek, laron ngerubungin lampu, misalnya. Atau ikan teri dalam tampah di pasar. Atau beras di lumbung. Apa pun deh. Terus terang tahun-tahun belakangan ini kreatifitas saya menurun drastis. Zaman saya masih kuliah dulu, saya bisa menciptakan ucapan yang benar-benar asyik dalam kartu ulang tahun untuk teman-teman saya. Sekarang? Bah, paling-paling saya cuma bilang “semoga segala yang indah-indah ya!” Menyedihkan.

4.Baca, baca, baca
Terutama bacaan yang ingin kamu jadikan sasaran. Maksud saya, kalau kayak saya zaman dulu itu, pengin jadi penulis musik, ya kamu mesti banyak-banyak baca soal musik. Kalau pengin jadi pengarang novel kayak Agatha Christie, ya bacalah novel-novel dia. Kalau pengin jadi penulis politik, bacalah buku “Interview with History”-nya Oriana Fallaci atau biografinya Barrack Obama. Selain itu baca juga artikel-artikel atau buku-buku yang menunjang. Semakin banyak kamu membaca, semakin banyak pengetahuan kamu, dan semakin kaya dan asyik tulisan kamu nanti.

5.Riset
Mungkin contoh riset yang bagus adalah Bilangan Fu-nya Ayu Utami. Bukan sekadar membaca dan meng-google, Ayu Utami sekalian jadi pemanjat tebing. Cuma mungkin riset dia agak terlalu lama sih. Lama atau cepatnya riset ini ya mesti tergantung sama jenis tulisan juga. Misalnya wartawan yang nulis soal meninggalnya Michael Jackson kemarin paling-paling mengambil bahan tulisannya dari artikel-artikel yang dia google, tapi kalau kamu mau menulis soal kisah cinta atlet berkuda gitu mungkin ya kamu mesti belajar naik kuda juga, sama kayak Ayu Utami belajar panjat tebing. Anyway, sebenarnya riset Ayu Utami tidak sekadar panjat tebingnya sih, tapi juga soal keadaan sosial politik agama seksualitas dll dsb.
Selain riset bacaan, tontonan, dll., kamu juga mesti jadi pengamat kehidupan. After all, itu kan yang akan kamu tulis?

6.Ambil jarak dan terima kritik
Kalau tulisan kamu sekadar artikel, yang artinya masa hidupnya agak pendek, maka mungkin kamu tidak sempat ambil jarak. Tapi kamu tetap bisa terima kritik. Biasanya saya agak manyun kalau dikritik... hehehe... Tapi setelahnya, saya biasa akan memikirkan kritik itu lagi dan berusaha menerapkannya pada tulisan berikutnya.
Lain halnya kalau yang kamu tulis itu novel panjang. Dalam bukunya, On Writing, Stephen King mengaku bahwa setelah selesai menulis satu novel, dia akan menggudangkan naskah itu paling tidak selama enam bulan. Selama enam bulan itu dia berusaha tidak memikirkan novel tersebut. Dia akan menulis novel baru, jalan-jalan, main-main, nonton film, ngapain aja deh asalkan tidak berkaitan dengan novel itu. Setelah ada jarak, baru dia membuka lagi novel yang bersangkutan. Biasa dia jadi punya perspektif baru tentang novel itu, dan bisa melakukan autokritik yang bagus. Dia bisa melihat kelemahan-kelemahan novel itu, dan memperbaikinya. Dia bisa melihat bagian-bagian yang harus ditambah, simpul yang masih belum erat, dll. Masalahnya, saya tahu banget para pengarang Indonesia—terutama yang muda-muda ini, semuanya tidak sabaran!

7.Jejaring dan teman-teman
SKSD alias sok-kenal-sok-dekat sering kali berguna juga untuk membuat tulisan kamu jadi dimuat. Pertama kali saya berhasil menulis dan dimuat di majalah karena awalnya saya menulis surat pada redaktur majalah yang saya kagumi. Bukan hanya itu, dengan SKSD-nya, saya lalu menelepon redaktur yang bersangkutan, menanyakan apakah dia sudah menerima surat dan contoh tulisan saya. Berikutnya, saya mendapat order untuk membuat tulisan bagi dia! Yay!
Di luar urusan muat-memuat dan terbit-menerbitkan tulisan, teman-teman juga berguna sekali sebagai pembaca pertama. Siapa lagi korban kita kalau bukan mereka? Sahabat saya dengan tanpa perasaannya berkata, “Lo harus bercerita dong, Say...” saat saya minta dia membaca novel saya (yang sampai sekarang belum terbit juga) Kejamnya dirinya! Tapi dia membuat saya kemudian menyadari novel itu masih kurang berdaging.

8.Kirim-kirim
Jangan malu-malu untuk mengirim tulisan. Risiko paling jelek apaan sih? Setelah setahun tidak ada kabar, tulisan kamu terus ditolak? Biasaaaaaaa... Yang penting kamu tidak mati, kan? Masih ada napas berarti masih ada kesempatan buat menulis lagi. Jangan berhenti! Maju terus!
Yang penting dalam hal kirim-mengirim ini, perhatikan karakter penerbit yang kamu tuju. Kalau kamu menulis artikel berbau agama, jangan kirim ke majalah remaja (kecuali memang untuk edisi khusus hari raya agama yang bersangkutan). Kalau kamu menulis artikel tentang memancing ya jangan dikirim ke majalah ibu-ibu. Tanpa menunggu berbulan-bulan, artikel kamu pasti ditolak.
Itu cuma contoh ekstrem. Perhatikan detailnya, perhatikan tema apa yang biasa diterbitkan, perhatikan gaya penulisan yang diterbitkan. Buka situs penerbit tujuan kamu, cari tahu syarat-syarat mengirim naskah ke sana. Dan akhirnya, kirimkan naskah yang “bersih”. Soal naskah yang bersih ini pernah saya bahas dalam posting sebelumnya.

Jadi, mungkin tips-tips ini agak basi. Tapi inti besarnya adalah, jangan menyerah dan terus berlatih! Tetap semangat!

3 komentar:

NOOR'S mengatakan...

Salam kenal aja bu...barangkali suatu saat saya minta masukan/kritikan pada ibu Editor tentang apa yang saya tulis. makasih tipsnya...

Donna mengatakan...

Silakan saja ya... :)

Lea Willsen mengatakan...

Saya jg org yg blajar menulis scara otodidak, tanpa terlalu byk teori yg hrs dihafal terlebih dahulu.. Dlm hal ni, mungkin mnurut saya, yg lbh berperan tu adalah insting, niat, semangat, n keberanian utk mlakukan eksperimen. :)