Senin, 03 November 2008

Why Bella Swann?

Iya nih, why, oh, why? Kalau judul Why Jacob Black? pada posting sebelumnya lebih mengacu ke “Kenapa dia tidak bisa dicintai juga (selain mencintai Edward)?” maka judul pada posting ini lebih ke jeritan hati: “Kok Bella? Kok cewek lenje itu yang jadi pusat cinta Edward dan Jacob? Why, oh, why?

Hayo, ngaku aja, siapa yang nggak (sempat) bete pas baca sikap Bella yang plintat-plintut? Lemah? Selalu butuh diselamatkan? Kebanyakan depresi sendiri? Blahblahblah.

Yang pasti saya sempet kesel banget sama tokoh ini. Ya ampun(g) (saking keselnya sampe pake g), apa cewek ini nggak bisa lebih kuat sedikit ya personafikasinya? Selain itu kenapa Edward (kemudian Jacob) bisa naksir dia? Apa kelebihannya? Plis deh! Cantik kagak, lemah iya...

Atau mungkin kata kuncinya di “lemah” itu tadi? Biar gimanapun, cowok pasti pengin dong jadi pahlawan buat ceweknya. Dus, cewek lemah jadi punya banyak cowok, karena, duh, dia kan lemah jadi butuh diselamatkan!!!

Tapi kata Stephenie Meyer, Bella sedikit-banyak adalah personafikasi dirinya sendiri (baca www.stepheniemeyer.com---jadi kayaknya yang bete sama Bella bukan cuma saya seorang, hehehe). Jadi menurut Meyer, dia pun cewek biasa-biasa aja, tapi pas kuliah di kota kecil (Meyer asalnya tinggal di Houston juga, sama kayak Bella) di bagian tengah Amerika Serikat, tiba-tiba dia jadi pusat perhatian. Bukan karena dia keren dan cantik, tapi karena sebagai anak yang berasal dari kota besar dia punya sesuatu yang “lebih”. Mungkin kalau ngomong versi lokalnya bisa kayak anak Jakarta tiba-tiba pindah ke Jogja ya? (Jadi inget My Friends, My Dreams-nya Ken Terate, Gramedia, 2005---lho kok promosi?)

Berikutnya, Meyer menjustifikasi daya tarik Bella dengan hal-hal supranatural: aromanya yang manis, yang sangat menggelitik nafsu vampir Edward. Tapi rupanya Edward bisa mengendalikan rasa hausnya dan mengubahnya jadi rasa cinta. Kalau saja Meyer tidak sepiawai itu menceritakan kisah cinta mereka, sangat mungkin Twilight cuma akan jadi buku sampah.

Tapi kembali ke masalah cinta yang manusiawi, dalam hal cinta Bella dan Jacob, pepatah Jawa-lah yang terjadi: witing tresna jalaran saka kulina... Saat Edward pergi, Bella menghabiskan banyak waktu bersama Jacob, dan otomatis banyak bersama jadi banyak curhat. Dan dekatlah mereka. Saat dua pribadi sudah terbuka, nggak masalah sama penampilan dll., cinta bisa tumbuh. (Apaan sih? Hihihi...)

Dan kembali ke pribadi Bella yang selalu perlu diselamatkan itu (bahkan dari membuka kado sekalipun!), apa nggak bisa ya Meyer membuat tokoh yang lebih kuat dan menyenangkan? Kuat sungguhan, nggak lenje, nggak plintat-plintut, nggak “sok” kuat?

Satu posting resensi Twilight Saga dari salah satu teman blogger menyebutkan kurang-lebih, “memang begitulah remaja, sikapnya masih selalu berganti-ganti dan suka merengek, dan Meyer bisa menggambarkannya dengan baik.” Hmm... ini jelas melihat tokoh ini dari sudut pandang yang baru. Dan membuat saya jadi ingat salah satu tokoh fiksi remaja yang sempat booming sekitar empat tahun yang lalu: Putri Amelia Mignonette Thermopolis Grimaldi dari Genovia alias Mia Thermopolis alias Putri Mia.

Sempat bergaul sangat akrab dengan Putri Mia, saya tahu betul betapa plin-plan sikapnya, betapa senangnya dia merengek dan mengeluh, betapa kepinginnya dia memiliki segalanya. Tapi di sisi lain, Putri Mia juga (setelah terdesak, mengeluh, pusing, dll, dsb) bisa punya sikap dan menunjukkan kekuatan serta kelebihannya.

Sebetulnya Bella Swann juga begitu. Ada sisi-sisi cerita yang mengungkapkan kekuatan dan keberaniannya. Tapi... (ya, masih ada tapi) tetap saja dia rasanya terlalu “biasa” bagi Edward dan Jacob. At least, bagi saya.

1 komentar:

Dewi mengatakan...

Review Anda tentang Bella sama dengan pendapat saya...
Kadang sebel juga..kenapa pengarangnya ga nyiptain tokoh yang lebih kuat dikit gitu..biar jadi panutan buat remaja-remaja yang baca buku ini..
kalau digambarkan lemah gini, kan yang baca jadi ikutan pake trik ini biar cowok pada suka.
Apa memang mesti lemah ya..biar diuber-uber banyak cowok.. ?