Sabtu, 29 November 2008

Menerjemahkan Tintin

Menerjemahkan Tintin adalah salah satu pekerjaan “me and my big mouth”. Saat kantor saya membeli hak terbit seri legendaris ini, saya dengan pede jaya mengatakan ingin menerjemahkan satu atau dua buku dalam seri ini. Akhirnya saya menerjemahkan 12 dari 24 judul seri ini. Wow, saya sendiri pun heran.

Jelas itu pekerjaan besar yang penuh darah dan air mata. Semangat kerja memang menggebu di awal, tapi sampai tengah semangat itu sudah berubah jadi semangat marah-marah. Ada banyak komplikasi yang merupakan rahasia dapur kantor sehingga tidak bisa dibuka di sini (atau di mana pun), yang akhirnya membuat saya—yang tadinya hanya mau menerjemahkan satu atau dua judul bagian akhir seri—jadi menerjemahkan 6 judul pertama.

Masih bersemangat terutama karena Tintin di Tanah Sovyet dan Tintin di Congo itu judul “baru”--alias belum pernah saya baca, saya mulai mengerjakan terjemahannya dengan lumayan giat. Terjemahan diperiksa teman di kantor dan dikomentari terlalu kaku. Waduh, bagaimana ya? Menurut saya kekakuan itu terjadi karena saya mengikuti gaya bahasa Hergé apa adanya. Tidak bisa dipungkiri bahwa pada judul-judul awal, Tintin memang kaku dan terasa sangat kuno—which is true, karena buku-buku awal itu terbit sekitar tahun 1940-an, sehingga dengan sendirinya gaya berbahasanya sangat berbeda dengan gaya berbahasa kita zaman sekarang.

Masalah berikut muncul saat proses setting. Format Tintin yang diambil (=disuruh ambil) kantor saya adalah format kecil, seukuran buku tulis AA, 18 x 22 cm. Berbeda dengan ukuran aslinya yang sebesar kertas A4. Dengan sendirinya semua kalimat yang saya terjemahkan—apalagi biasanya panjang terjemahan bahasa Indonesia 1,5 kali bahasa aslinya—tidak muat dalam kotak-kotak dan balon-balon percakapan. Editing dalam artian pemenggalan dan penjagalan besar-besaran dilakukan pada terjemahan saya.

Dummy Tintin di Congo siap dan dibawa oleh rekan kantor saya ke Frankfurt Buchmesse 2007 untuk approval dari pemegang hak terbit Tintin. Terjemahan tentu saja tidak dikomentari, karena mereka tidak mengerti bahasa Indonesia, tapi tampilan dikritik habis-habisan. Mulailah perjalanan penuh darah dan air mata demi tampilan gambar, warna, jenis font yang sesuai dengan keinginan pihak sananya. Tapi itu cerita lain.

Selesai dari Frankfurt, dummy Tintin tersebut jatuh ke tangan bos-bos di kantor saya. Terjemahan kembali dikritik terlalu kaku dan tidak lucu. Apa ada yang mau beli kalau begitu? Solusinya, terjemahan Tintin mana pun akan diperiksa oleh setidaknya 3 orang, demi validitas kelucuan terjemahan itu. Gawat betul! Dengan sendirinya, Tintin di Congo yang sebetulnya sudah diseparasi dan siap cetak, kembali diacak-acak, dipotong, ditempel, diganti, dan disesuaikan.

Sementara itu datang kabar kami tidak bisa memakai nama-nama tokoh yang sudah akrab di telinga Indonesia. Hak cipta nama-nama tersebut dipegang oleh penerbit Tintin di Inggris. Sebal. Kami dianjurkan memakai nama-nama asli versi Belgia/Prancis atau menciptakan nama-nama sendiri. Jalan tengahnya, ada nama-nama versi asli yang kami pertahankan (Tintin, Haddock, tentu saja, lalu Dupond-Dupont, Nestor, Abdallah, Alcazar), ada yang kami pelesetkan sedikit dari versi asli (Milo dari Milou), dan ada yang kami ciptakan seperti Lionel Lakmus dari Tryphon Tournesol (kami ambil kesamaan huruf awal. Tournesol bisa berarti kertas lakmus, penanda asam-basa yang menggambarkan keilmiahan karakter ini, tapi bisa juga berarti bunga matahari yang menandakan keceriaan karakter sang profesor), Pietro Maxx (nama di edisi aslinya Seraphin Lampion, yang sepertinya mengacu pada minyak lampu), dan si tukang daging Fillets. Perdebatan menentukan nama-nama ini lumayan panjang juga, karena kami berusaha mencari nama yang terdengar lucu bagi publik Indonesia, tapi tidak akan terdengar aneh bila dikenakan pada karakter Eropa-Belgia/Prancis.

Menginjak Kepiting Bercapit Emas, terjadi diskusi lagi soal umpatan-umpatan Kapten Haddock yang legendaris itu. Jelas kami tidak bisa dan tidak akan menggunakan umpatan terjemahan Indira yang sudah berurat berakar bagi pembaca Indonesia. Kami harus menciptakan umpatan-umpatan kami sendiri. Daftar umpatan pun dibuat. Arti dalam bahasa Prancis dan Inggris dicari, lalu padanan yang paling pas dalam bahasa Indonesia pun diciptakan. Maka lahirlah topan geledek, kepiting kurus kering, dan susu basi.

Dalam proses penerjemahan 12 judul Tintin itu, mau tak mau saya cek dan cek ulang edisi bahasa Prancis dan bahasa Inggris-nya (saya bisa berbahasa Prancis, tapi tetap saya lebih fasih berbahasa Inggris). Bahkan kadang-kadang saya memerlukan mengecek edisi Indira, sekadar membandingkan atau mencegah kesamaan pilihan kata—yang terkadang terpaksa tidak terelakkan juga, terutama untuk balon-balon kata yang singkat seperti jawaban ya/tidak. Ini sih keterlaluan kalau masih harus dibedakan juga.

Mengerjakan seri ini membuat saya membaca semua judul Tintin dalam waktu yang singkat. Saya jadi bisa mengerti perubahan karakter gambar Hergé, perubahan ideologinya, perubahan pola pikirnya seiring dengan perubahan zaman itu sendiri. Hergé ternyata karakter luar biasa yang memiliki wawasan serta ketertarikan pada banyak hal. Kepiawaiannya menyampaikan kritik politik dan wacananya tentang ilmu pengetahuan yang dapat dia paparkan dalam gambar serta humor, sangat hebat.

Perkembangan dan kesamaan karakter tokoh dalam seri ini juga menjadi jelas bagi saya. Sungguh lucu mengingat waktu kecil saya membaca dan membaca ulang buku-buku Tintin tapi saya tidak pernah menyadari detail-detail seperti kesialan Kapten Haddock atau perseteruan Milo dengan si kucing siam. Dulu saya tidak mengamati pola berulang yang ada dalam setiap buku. Saya membaca dan menikmatinya begitu saja.

Bila ditanya buku mana yang paling mudah pengerjaannya, mungkin bagi saya Laut Merah. Sebenarnya saya menyesal dengan penjudulan yang terasa terlalu menggampangkan ini. Di awal pengerjaan seri ini, karena harus memberi laporan pada pihak sana, saya terpaksa memberi judul semua buku, tanpa waktu panjang untuk berpikir atau meneliti lebih lanjut soal latar belakang tiap judul, sehingga saya langsung menempelkan judul Laut Merah bagi buku ini. Sebenarnya waktu kecil buku ini salah satu Tintin favorit saya. Saat mengerjakannya saya baru menyadari betapa rapi dan enak dinikmati gambar-gambarnya, ceritanya pun sangat dalam, kompleks, tapi tetap lucu. Saya merasa terjemahan saya cukup terjaga dan bagus untuk Tintin yang satu ini.

Yang paling gagal? Tentu saja Tintin di Congo. Tintin pertama yang saya kerjakan, dan selain alasan kekakuan bahasa yang sudah saya ajukan di depan tadi, isu yang diangkat dalam buku ini pun kurang saya sukai. Pada kenyataannya, buku ini memang kontroversial dan beberapa toko buku bahkan tidak mau memajangnya di rak buku anak.

Tintin yang sebenarnya ingin saya terjemahkan? Mungkin Tintin di Tibet. Meskipun sebenarnya saya takut pada yeti, tapi Tintin di Tibet adalah salah satu Tintin yang paling indah.

Tintin yang paling saya sukai? Sulit menjawabnya, hampir semua Tintin saya suka. Tapi utamanya karena saya penggemar seri ini sejak kecil, saya lebih menyukai gambarnya daripada ceritanya, sehingga saya lebih menyukai Tintin yang dibuat belakangan. Mungkin kembali lagi ke Laut Merah dan Tintin di Tibet.

Pada akhirnya, Tintin mungkin seri yang akan terus hidup. Orangtua memberikan buku ini untuk dibaca anaknya, dan pada gilirannya si anak akan memberikan pada anaknya lagi. Isu-isu yang diangkat Tintin mungkin mulai ketinggalan zaman sekarang, tapi bila ditempatkan dalam konteks sejarah dan mengingat nilai-nilai universal seperti persahabatan, keadilan, dan keberanian yang dibawanya, Tintin tidak akan pernah mati.

2 komentar:

Anung mengatakan...

Salam kenal ya mbak. Silakan kunjungi blog saya di bahasaku.blogspot.com.

FP mengatakan...

Omigod, Donna! Gw lagi browsing tentang penerjemahan (old passion revived!), siapa sangka kesandung di blog elo! :-D What a coincidence! Apa kabar, Don? Ada rencana ke Itali lagi? ;-)
-Fairly-