Senin, 16 Januari 2012

Do the Talk

Haaaaiii... Sudah lama ya saya tidak sempat menulis blog, ada beberapa pekerjaan kejar tayang selain tentu saja liburan akhir tahun (Nggak... saya nggak ke mana-mana, bahkan staycation pun gagal memberi suatu pengalaman yang lumayan menarik, karena kami hanya ke mal, ke mal, dan ke mal lagi... Very not inspiring as a self-claimed travel writer). Selama masa-masa tidak sempat menulis itu, sebenarnya ada beberapa pengalaman yang ingin saya share di blog ini. Salah satunya adalah MENULIS PERCAKAPAN.

Hah?

Betul. Masalahnya begini, kemarin-kemarin ini saya kebetulan mengedit naskah novel pengarang Indonesia. Kebetulan naskah ini punya masalah yang sama dengan banyak naskah lain yang pernah saya tangani: adegan percakapannya parah banget. Maksudnya parah bukan percakapannya bolong-bolong, atau tokoh A bertanya tokoh B tidak menjawab, tapi nyaris tidak ada keterangan apa pun tentang nuansa, situasi, latar belakang, perasaan-perasaan si tokoh-tokoh yang terlibat dalam percakapan itu. Jadi percakapan dalam novel hanya terdiri atas kalimat-kalimat dalam tanda petik yang sambung-menyambung berderetan ke bawah. Ini menyebalkan saya sebagai editor, karena saya jadi harus memoles banyak sekali (atau mengembalikan naskah ke pengarang, yang artinya memperlama waktu penerbitan).

Masih bingung? Begini contohnya (contoh ini murni karangan saya, bukan mengutip dari novel mana pun):
Ani masuk kelas dan meletakkan tasnya di bangku. Budi mengekor di belakangnya.
“Hai, Ani!”
“Hai, Budi. Selamat pagi...”
“Kamu sudah buat PR fisika belum?”
“Sudah sih, tapi aku bingung yang nomor empat...”
“Wah, asyik... Aku boleh pinjam gak?”
“Yah, jangan dooong... Buat PR sendiri, kenapa sih?”
“Ah, kamu nggak asyik ah, anaknya! Hei, Cici sudah buat PR fisika, belum?”
“Belum tuh...”
“Wah, kalian payah ah, aku mau ke kantin aja, sarapan!”
“Hei, ikut dooong!”

Nah, setelah “Hai, Ani” dan “Hai, Budi” sebenarnya jelas nggak sih siapa yang ngomong? Nggak jelas, kan... Apalagi setelah tokoh ketiga, si Cici, memasuki arena percakapan dan percakapan menjadi panjang. Gawat, gawat, gawat. Semakin nggak jelas. Itu masih percakapan pendek, bagaimana percakapan dalam novel yang sering kali panjangnya berhalaman-halaman?

Pengarang sering kali merasa sudah cukup memaparkan dan menjelaskan adegan-adegan yang ada di dalam kepalanya. Padahal belum cukup. Pembaca bukanlah pengarang, pembaca tidak tinggal dalam kepala pengarang, dan pembaca buku bukanlah pembaca pikiran. Dengan demikian pengarang yang ingin naskahnya dinikmati pembaca punya kewajiban untuk menggambarkan sejelas mungkin adegan-adegan dan percakapan-percakapan dalam novelnya. Pendeknya, jangan membuat bingung pembaca. Bermurah-hatilah dengan kata-kata dan huruf-huruf, buatlah deskripsi sebaik mungkin dan sejelas mungkin. Ajaklah pembaca masuk ke alam pikiranmu, wahai Pengarang! Ajak mereka ikut merasakan terik matahari atau sepoi angin, buat mereka ikut merasakan kemarahan dan kekesalan si tokoh, buat mereka juga tersipu-sipu saat si tokoh melirik pujaan hatinya.

Anyway, coba bandingkan adegan si Ani, si Budi, dan si Cici kalau sudah dipermak seperti ini:
Ani masuk kelas dan meletakkan tasnya di bangku. Budi mengekor di belakangnya.
“Hai, Ani!” sapa Budi dengan mata berbinar nakal.
“Hai, Budi. Selamat pagi...,” jawab Ani sambil duduk di bangkunya. Wajahnya datar-datar saja.
“Kamu sudah buat PR fisika belum?” tanya Budi sambil nangkring di meja Ani. Sikapnya sih sok cuek, tapi sebenarnya dadanya berdebar-debar. Budi bahkan merasa wajahnya agak menghangat, padahal pagi berhujan ini lumayan dingin.
“Sudah sih, tapi aku bingung yang nomor empat...,” jawab Ani, tetap dengan datar.
“Wah, asyik... Aku boleh pinjam gak?” seru Budi gembira. Seruannya mengisi kelas yang baru berisi beberapa murid saja.
“Yah, jangan dooong... Buat PR sendiri, kenapa sih?” Kali ini Ani melirik Budi, bahkan sedikit mendelik. Dia memang pintar, tapi pelit meminjamkan pekerjaannya. Bukannya pelit sih, tapi Ani merasa tiap murid harus berusaha mengerjakan PR-nya sendiri, kalau tidak kapan pintarnya?
“Ah, kamu nggak asyik ah, anaknya! Hei, Cici sudah buat PR fisika, belum?” Budi cemberut dan melorot turun dari meja Ani, langsung mengalihkan perhatiannya pada Cici yang baru masuk kelas.
“Belum tuh...,” jawab Cici santai.
“Wah, kalian payah ah, aku mau ke kantin aja, sarapan!” Budi berbalik dan berjalan ke pintu kelas.
“Hei, ikut dooong!” Tak diduga, Ani bangkit dari bangkunya dan mengejar Budi.

Percakapan yang sudah ditambah-tambahi ini lebih “seru”, kan? Pembaca bisa menangkap bahwa si Budi sebenarnya mungkin ada hati pada si Ani, dan mungkin perasaan itu tidak bertepuk sebelah tangan. Nuansa kelas di pagi hari saat murid-murid mulai berdatangan lumayan ada, dan perasaan-perasaan tokoh-tokoh juga digambarkan.

Saya bisa membayangkan dalam alam pikiran pengarang percakapan Ani dan Budi ini memang terjadi begitu saja. Pagi yang hujan, suasana kelas yang masih sepi, semua mengabur menjadi latar belakang, yang penting adalah dua tokoh utama si Ani dan si Budi. Dalam alam pikiran pengarang, Ani dan Budi berbalasan kata-kata secara langsung. Dan perasaan si Budi yang berdebar-debar, wah, itu kan sudah jelas banget... (dalam pikiran si pengarang).

Semua itu memang sudah jelas bagi si pengarang, tapi belum tentu pembaca bisa menangkap dan mengertinya.

Memang perlu latihan dan latihan serta kejelian untuk menangkap “bolong” ini. Selain itu, tentu saja pembaca awal sangat membantu untuk memberitahu di mana saja letak “bolong” pada naskah. Orang-orang dekat biasanya mau menyediakan waktu untuk menjadi pembaca awal. Mintalah para pembaca awal ini untuk mencermati “bolong” seperti ini.

Semoga obrolan pagi ini lumayan berguna ya... Sampai nanti!

1 komentar:

SparklingRain mengatakan...

Thank you so much for making the time to read this helpful post!
Ditunggu posting lainnya tentang writing tips ya...

http://imo.thejakartapost.com/sparklingrain